Translate

Wednesday, March 25, 2015

Teori Kritis Dalam Cultural Studies

Teori kritis atau teori kritik masyarakat (kritische theorie der gesellschaft) adalah produk dari sekelompok neo-Marxis Jerman yang tidak puas terhadap teori Marxian (Bernstein, 1995; Kellner, 1993), khususnya kecenderungan teori ini yang mengarah pada determinisme ekonomi.  Pemikiran Karl Marx tentang kritis atas kapitalisme berupa determinisme ekonomi menjadi titik bidik para ilmuwan kritis Mazhab Frankfrut melalui teori kritis. Katakanlah, sebagai sebuah kritik atas pemikiran Karl Marx. Hakikat kapitalisme yang didominasi oleh kelas berkuasa masih menjadi aktor sentral dan berperan penuh dalam “penindasan” terhadap kelas mayoritas. Kata “penindasan” yang ditulis dengan tanda petik mengisyaratkan dampak penindasan kepemimpinan budaya yang cenderung bersifat kekerasan simbolik—meminjam istilah Pierre Bourdieu.  
Ritzer dan Goodman memilah teori kritis menjadi enam titik bidik: kritik atas teori Marxian, kritik atas positivisme, kritik atas sosiologi, kritik atas masyarakat modern, kritik atas kebudayaan, dan kritik atas “industri pengetahuan”. Pada bagian ini, titik bidik yang dimaksudkan Ritzer dan Goodman adalah tema-tema yang menjadi perhatian lantaran dianggap terlalu asyik dengan keilmuannya hingga mengabaikan fungsi sosial.  Dalam bahasa lain, para ilmuwan Mazhab Frankfrut sangat berhasrat menggelorakan perubahan pada wilayah-wilayah pengetahuan dan keadaan sosial yang saat dianggap mapan. Kritik atas teori Marxian, kritik atas positivisme, dan kritik atas sosiologi wilayah-wilayah pengetahuan yang pada kurun itu dianggap tidak membangun perubahan selain sekadar menjaga “kedigjayaan” pada pola-pola pemikiran yang telah dibangunnya.
Teori Marxian dituding tetap asyik mempersoalkan determinisme ekonomi yang dilakukan oleh pihak kapitalis, tanpa berbuat lebih banyak lagi di tingkat aplikasi atau social. Positivisme atau positivistik dituduh masih terpaku pada pola-pola kajian yang bersifat objektif yang bersandarkan pada angka-angka statistik dan belum menyentuh wilayah lain yang bersifat subjektif. Padahal, di luar kedasyatan angka-angka, para ilmuwan Mazhab Frankfrut menilai, ada cara lain (secara subjektif) untuk mengurai berbagai permasalahan di bidang pengetahuan, serta berbuat lebih sebagai manfaat sosial. Pun demikian dengan  sosiologi—ibu dari seluruh ilmu sosial—yang masih asyik di menara gadingnya tanpa berkeinginan untuk segera turun dan membedah fenomena-fenomena di tengah masyarakat, seraya menggulirkan manfaat sosial.
Sedangkan tiga poin terakhir, yakni kritik atas masyarakat modern, kritik atas kebudayaan, dan kritik atas “industri pengetahuan”, lebih merupakan bangunan-bangunan keresahan atas situasi social yang saat itu tengah berkembang (khususnya di Jerman semasa rezim Nazi berkuasa). Keajegan masyarakat modern dengan segala hiruk-pikuk di dalamnya, pada masa itu (bahkan masa sekarang) merupakan konflik sosial yang sangat serius dan perlu didorong ke sebuah perubahan demi terciptanya situasi yang menyehatkan masyarakat. Kritik atas poin ini mengingatkan saya pada poin pertama yang bernuansakan kekecewaan atas kesenjangan yang terjadi antara kelas atas dan kelas bawah, serta ancaman masyarakat konsumtif dengan segala prilakunya. Apresiasi dan penghargaan atas produk-produk kebudayaan adiluhung yang digerus produk-produk budaya popular juga menjadi persoalan penting. Dan poin terakhir, dunia pendidikan (pedagogi) yang menggeliat menjadi sebuah industri (pada era sekarang juga makin kentara) juga menjadi tema “keprihatinan”.

Tentang Cultural Studies
Cultural studies sebagai sebuah disiplin diperkenalkan pada era 1960-an, dengan didirikannya Birmingham Centre for Contemporary Cultural Studies (BCCCS) oleh Richart Hoggart di University of Birmingham di Birmingham, Inggris, pada 1964. Cultural studies mempertautkan berbagai sudut pandang dalam membongkar fenomena-fenomena budaya popular, yakni ideologis, politis, ekonomis, sosiologis, kulturalis, dan strukturalis. Artinya, katakanlah ketika kita dihadapkan pada kegiatan penelitian dengan pendekatan cultural studies, dengan sendirinya kita akan melakukan pembongkaran atas objek penelitian dengan menggunakan  enam sudut pandang tersebut dan metode-metode yang dikembangkan dalam sudut pandang itu.
Misalnya, A tengah meneliti fenomena X dengan pendekatan cultural studies. Untuk memperoleh jawaban penelitian secara ideologis, politis, ekonomis, sosiologis, kulturalis, dan strukturalis, maka ia mesti melakukan studi pustaka dan wawancara mendalam demi memenuhi standar teknik pengumpulan data dan teknik analisis data dari sisi ideologis, politis, ekonomis, sosiologis, kulturalis, dan strukturalis tentang fenomena X. Bahkan, khusus untuk sisi struktural yang menguraikan sistem bahasa, ia juga mesti menggunakan metode-metode analisis tertentu. Misalnya, analisis semiotika versi Ferdinand de Saussure atau Charles Sanders Peirce atau Roland Barthes yang masih strukturalis.
Dan pendekatan cultural studies yang mempertautkan enam sudut pandang itu akan mengantarkan kita pada dua persoalan besar yang menjadi wilayah penelitian, yakni era modern dan era post-modern. Masing-masing wilayah memberikan tema-tema kajian dengan pendekatan cultural studies tersebut.
 “Sebagai sebuah disiplin, secara genealogis, cultural studies berkembang tidak atas tuntutan teoritis semata (pure science), tetapi atas dasar sebuah kebutuhan ideologis. Ia berkembang dengan berlandas pada pertanyaan-pertanyaan praktis/ideologis yang mempertanyakan dan mengintrogasi makna kebudayaan dan sifat universalitasnya; mengangkat isu-isu mengenai formasi sosial, kekuasaan budaya, hegemoni budaya, dominasi, dan regulasi yang menggerakkan resistensi, subversi, dan perjuangan kultural (cultural struggle),” tambah Piliang.  “Cultural studies merupakan kecenderungan cara berpikir, model analisis, atau model pemahaman yang berkembang dengan mengombinasikan berbagai teori dan metode yang telah ada atau sedang berkembang sehingga bersifat sangat dinamis, terus bergerak, dan terus menjadi (becoming).”
Kelincahan menembus ranah budaya dengan berbagai sudut pandang itu, dengan teks di dalamnya, membuat cultural studies pun dijadikan kendaraan untuk memasuki wilayah ilmu komunikasi.

Kajian Media dalam Cultural Studies
Pada modul sebelumnya telah dipaparkan bahwa dalam konteks penelitian media, determinisme ekonomi (seperti disinggung oleh Karl Marx dan menjadi tema kritik Mazhab Frankfrut) bermetamorfosis menjadi hegemoni—seperti diuraikan dalam teori hegemoni Antonio Gramsci. Dominic Strinati, mengutip gagasan Marx yang ditulis dalam The German Ideology (pertama kali diterbitkan pada 1845/1846), menunjukkan keterkaitan determinisme ekonomi dan hegemoni:
Gagasan-gagasan kelas penguasa, di segala zaman merupakan gagasan-gagasan yang berkuasa: misalnya kelas, yang merupakan kekuatan material yang didominasi di dalam masyarakat, pada saat yang sama sekaligus merupakan kekuatan intelektualnya. Kelas yang memiliki sarana-sarana produksi material yang tersedia baginya, pada saat yang sama mengendalikan berbagai sarana produksi mental, sehingga gagasan-gagasan mereka yang tidak memiliki sarana-sarana produksi mental, pada umumnya, tunduk padanya … individu-individu yang mengisi kelas penguasa … kekuasaan sekaligus sebagai para pemikir, sebagai penghasil gagasan, serta mengatur produksi maupun penyebaran gagasan pada zamannya. Sebagai akibatnya, gagasan-gagasan mereka adalah gagasan yang berkuasa pada zamannya.
Penyataan Marx di atas menunjukkan dua poin penting kekuasaan, yakni kekuatan material dan kekuatan intelektual (yang oleh Gramsci disebut hegemoni). Dengan kedua modal itu, kelas berkuasa akan menguasai kelas yang tidak memiliki keduanya. Melalui teori hegemoninya, Gramsci memaparkan lebih rinci soal kelas penguasa yang dimaksud, bentuk gagasan yang dimaksud, dan target kelas yang bakal dikuasai. Dan, menurut saya, kedua poin penting kekuasaan itu merupakan “persoalan besar dalam filsafat”—seperti digariskan Horkheimer dalam tiga tema besar pemikiran teori kritis—untuk dikaji melalui program penelitian interdisipliner, sekaligus merumuskan teori masyarakat yang memungkinkan perubahan ekonomi, budaya, dan kesadaran.
Selain itu, saya juga menggarisbawahi dua kategori kritik teori kritis seperti yang dikemukakan oleh Ritzer dan Goodman, yakni kritik atas masyarakat modern dan kritik atas kebudayaan. Kedua hal itu sangat bersentuhan dengan persoalan pergeseran determinisme ekonomi menuju hegemoni seperti telah diuraikan di atas. Teknologi modern menjadi kendaraan paling ampuh untuk membangun totalitarianisme dan mengontrol massa secara tanpa sadar, bahkan menyenangkan. Industri kebudayaan melahirkan budaya massa yang palsu dan membodohi. Teori kritis senantiasa berusaha melihat pergeseran determinisme ekonomi menjadi kepemimpinan kebudayaan itu yang semakin lama kian tak terbendung. Sedangkan cultural studies membukanya lagi menjadi lebih telanjang melalui pembacaan-pembacaan atas teks dan relasi kekuasaan di belakangnya.
Adorno dan Horkheimer mengembangkan pendekatan sosiologis Marxis terhadap studi media pada waktu Institut für Sozialforschung (Institut Penelitian Sosial) berada di New York.  Mereka melihat media sebagai industri budaya yang mempertahankan relasi kuasa dan muncul untuk mengurangi “standar resistensi” estetika budaya dengan memopulerkan tipe-tipe budaya tertentu. Nilai yang diabadikan oleh media bertentangan dengan nilai-nilai dasar tradisi Pencerahan. Massa “dibodohi” oleh banalitas media.  Pendekatan ini sangat memperlihatkan nuansa hegemoni seperti digagas Gramsci berkat kehadiran relasi kuasa dan pemaksaan budaya dengan pengurangan standar resistensi estetikanya. Pendekatan ini makin memperjelas bentuk “hegemoni” kelas minoritas yang tak lebih dari sebuah banalitas atau keremehtemahan. Dalam bahasa yang lebih vulgar: sampah!
Meski Adorno dan Horkheimer tidak menyebutkan spesifikasi media yang dimaksud, saya sangat berkeyakian, hal ini sangat mengarah pada media televisi. Douglas Kellner (1990) secara terang-terangan menawarkan teori kritis atas televisi. Kendati meletakkan karyanya pada aspek budaya yang menjadi pokok perhatian Mazhab Frankfrut, Kellner mengambil tradisi Marxian lainnya untuk menyajikan konsep yang lebih menyeluruh tentang industri pertelevisian. Ia mengkritik mazhab kritis karena mengabaikan analisis terperinci atas ekonomi politik media, dan mengonseptualisasikan budaya massa semata-mata sebagai instrumen ideologi kapitalis. Selain merupakan industri kebudayaan, Kellner menghubungkan televisi dengan kapitalisme korporat dan sistem politik. “Televisi bukan sesuatu yang monolitik atau dikendalikan oleh kekuatan korporat koheren, namun sekadar sebagai media massa yang sangat konfliktual tempat bertemunya kekuatan ekonomi, politik, sosial, dan kultural,” jelasnya (Kellner, 1990: 14).
Gagasan Kellner di atas makin memperjelas arah titik bidik teori kritis terhadap media televisi. Bila Adorno dan Horkheimer melihatnya sebagai industri budaya yang mempertahankan relasi kuasa dan muncul untuk mengurangi “standar resistensi” estetika budaya dengan mempopulerkan tipe-tipe budaya banalitas, maka Kellner makin memperjelas kenyataan lain di balik budaya banalitas tadi, yakni sebagai buah dari pertarungan kekuatan ekonomi, politik, sosial, dan kultural. Menurut Kellner, kapitalisme korporat (meso) dan sistem politik (makro) berperan penuh atas penyajikan budaya yang dimaksud (mikro). Dalam bahasa yang lebih sederhana, kekuatan ekonomi, politik, sosial, dan kultural, menjadi aspek-aspek yang tidak boleh diabaikan dalam meneliti media televisi menurut paradigma teori kritis.
Kellner telah menunjukkan sejumlah ciri terkait legitimasi ideologi (bahkan ia tidak menempatkan tanda petik) sebagai kiblat masyarakat kapitalis untuk menunjukkan hegemoninya. “Para pakar teori kritis menganalisis semua artefak budaya media massa dalam konteks produksi industrialis, di mana artefak-artefak industri budaya menunjukkan ciri-ciri yang sama dengan berbagai produk produksi massal yang lain: pengkomoditasan (komodifikasi), penstandaran (standarisasi), dan pengadaan besar-besaran (massifikasi). Namun, beragam produk industri budaya memiliki fungsi khusus, yaitu menyediakan legitimasi ideologis atas berbagai masyarakat kapitalis yang ada dan untuk menyatukan para individu dalam kerangka kerja budaya massa dan masyarakat,” tegas Kellner.
Menurut Yasraf Amir Piliang, media merupakan ruang yang menyediakan pertukaran ide-ide itu melalui bahasa dan simbol-simbol yang diproduksi dan disebarluaskan. “Media membentuk sebuah tempat berlangsungnya perang bahasa dan perang simbol (symbolic battle field), untuk memperebutkan penerimaan publik atas gagasan-gagasan ideologis yang diperjuangkan. Dan di dalamnya sebuah ide hegemonik mendapatkan tandingan oleh pelbagai hegemoni tandingan lainnya (counter hegemony),” paparnya. 
Lebih jauh lagi, Piliang juga mengutip kritik Kellner soal telavisi yang dihubungkan dengan demokrasi dalam sistem politik, yakni sebagai ancaman bagi demokrasi, individualitas, dan kebebasan, serta mengajukan saran (misalnya, akuntabilitas yang lebih demokratis, akses dan partisipasi warga negara yang lebih besar, lebih banyak keragaman dalam televisi).  Kata kunci atas batasan tersebut adalah ekonomi politik media yang dijiwai hegemoni media—oleh Idi Subandi Ibrahim fungsi ini dianggap sangat berkepentingan dalam melayani kepentingan kuasa dan kapital. 
Bila pembahasan tentang teori kritis mengarah pada “metamorfosis” determinisme ekonomi menjadi hegemoni—sekaligus mempertautkan relasi pemikiran Karl Marx dan teori kritis, maka pembahasan tentang cultural studies membangun perkelidan “metamorfosis” determinisme ekonomi menjadi hegemoni ini dalam rupa relasi kekuasaan. Inilah kata kunci atas pembahasan tentang kajian media dengan pendekatan cultural studies!
Raymond Williams dalam Television: Technology and Cultural Form (1975) berpendapat bahwa teknologi seperti televisi harus dipahami sebagai hasil dari kekuatan-kekuatan sejarah yang muncul dari kepentingan kelas borjuis di dalam kapitalisme maju sembari mengapresiasi nilai-nilai komunitarian dan demokrasis dari kebanyakan khalayak televisi.
Dalam konteks televisi, cultural studies mempertautkan kritik teori kritis terhadap masyarakat modern dan kebudayaan yang diwujudkan industri budaya dengan kekuasaan politik di balik industri budaya itu, termasuk artefak budaya yang diproduksinya. Dan industri budaya popular adalah buah yang harus muncul dari pertemuan kritik teori kritis itu dan kekuasaan politik yang menjadi kritik cultural studies terhadap budaya.
“Budaya pop merupakan tempat di mana hegemoni muncul, dan wilayah di mana hegemoni berlangsung. Ia bukan ranah di mana sosialisme, sebuah kultur sosialis—yang telah terbentuk sepenuhnya—dapat sungguh-sungguh ‘diperlihatkan’. Namun, ia adalah salah satu tempat di mana sosialisme boleh jadi diberi legalitas. Itulah mengapa ‘budaya pop’ menjadi sesuatu yang penting,” jelas Stuart Hall.
Kesimpulannya, di balik pemikiran-pemikiran ideologis, politis, sosiologis, kulturalis, strukturalis, dan juga poststrukturalis (pengembangan pembacaan atas sistem bahasa secara strukturalis hingga mengurai relasi kekuasaan di dalamnya), dalam memaknai kata kunci “budaya”, pendekatan cultural studies dalam penelitian media televisi berujung pada pembacaan atas hegemoni dan relasi kekuasaan—perhatikan Gambar 4.
Pada tahap sebelumnya, pemikiran Karl Marx dengan kapitalisme dan determinisme ekonomi “mendorong” para ilmuwan teori kritis memunculkan teori hegemoni Antonio Gramsci. Pada akhirnya, pembahasan cultural studies menempatkan hegemoni dan relasi kekuasaan sebagai muara dalam kajian media secara cultural studies.[] 

No comments:

Post a Comment