Teori kritis atau teori kritik
masyarakat (kritische theorie der gesellschaft) adalah produk dari sekelompok
neo-Marxis Jerman yang tidak puas terhadap teori Marxian (Bernstein, 1995;
Kellner, 1993), khususnya kecenderungan teori ini yang mengarah pada determinisme
ekonomi. Pemikiran Karl Marx tentang
kritis atas kapitalisme berupa determinisme ekonomi menjadi titik bidik para
ilmuwan kritis Mazhab Frankfrut melalui teori kritis. Katakanlah, sebagai
sebuah kritik atas pemikiran Karl Marx. Hakikat kapitalisme yang didominasi
oleh kelas berkuasa masih menjadi aktor sentral dan berperan penuh dalam
“penindasan” terhadap kelas mayoritas. Kata “penindasan” yang ditulis dengan
tanda petik mengisyaratkan dampak penindasan kepemimpinan budaya yang cenderung
bersifat kekerasan simbolik—meminjam istilah Pierre Bourdieu.
Ritzer dan Goodman memilah teori
kritis menjadi enam titik bidik: kritik atas teori Marxian, kritik atas
positivisme, kritik atas sosiologi, kritik atas masyarakat modern, kritik atas
kebudayaan, dan kritik atas “industri pengetahuan”. Pada bagian ini, titik
bidik yang dimaksudkan Ritzer dan Goodman adalah tema-tema yang menjadi
perhatian lantaran dianggap terlalu asyik dengan keilmuannya hingga mengabaikan
fungsi sosial. Dalam bahasa lain, para
ilmuwan Mazhab Frankfrut sangat berhasrat menggelorakan perubahan pada
wilayah-wilayah pengetahuan dan keadaan sosial yang saat dianggap mapan. Kritik
atas teori Marxian, kritik atas positivisme, dan kritik atas sosiologi
wilayah-wilayah pengetahuan yang pada kurun itu dianggap tidak membangun
perubahan selain sekadar menjaga “kedigjayaan” pada pola-pola pemikiran yang
telah dibangunnya.
Teori Marxian dituding tetap
asyik mempersoalkan determinisme ekonomi yang dilakukan oleh pihak kapitalis,
tanpa berbuat lebih banyak lagi di tingkat aplikasi atau social. Positivisme
atau positivistik dituduh masih terpaku pada pola-pola kajian yang bersifat
objektif yang bersandarkan pada angka-angka statistik dan belum menyentuh
wilayah lain yang bersifat subjektif. Padahal, di luar kedasyatan angka-angka,
para ilmuwan Mazhab Frankfrut menilai, ada cara lain (secara subjektif) untuk
mengurai berbagai permasalahan di bidang pengetahuan, serta berbuat lebih
sebagai manfaat sosial. Pun demikian dengan
sosiologi—ibu dari seluruh ilmu sosial—yang masih asyik di menara
gadingnya tanpa berkeinginan untuk segera turun dan membedah fenomena-fenomena
di tengah masyarakat, seraya menggulirkan manfaat sosial.
Sedangkan tiga poin terakhir,
yakni kritik atas masyarakat modern, kritik atas kebudayaan, dan kritik atas
“industri pengetahuan”, lebih merupakan bangunan-bangunan keresahan atas
situasi social yang saat itu tengah berkembang (khususnya di Jerman semasa
rezim Nazi berkuasa). Keajegan masyarakat modern dengan segala hiruk-pikuk di
dalamnya, pada masa itu (bahkan masa sekarang) merupakan konflik sosial yang
sangat serius dan perlu didorong ke sebuah perubahan demi terciptanya situasi
yang menyehatkan masyarakat. Kritik atas poin ini mengingatkan saya pada poin
pertama yang bernuansakan kekecewaan atas kesenjangan yang terjadi antara kelas
atas dan kelas bawah, serta ancaman masyarakat konsumtif dengan segala
prilakunya. Apresiasi dan penghargaan atas produk-produk kebudayaan adiluhung
yang digerus produk-produk budaya popular juga menjadi persoalan penting. Dan
poin terakhir, dunia pendidikan (pedagogi) yang menggeliat menjadi sebuah
industri (pada era sekarang juga makin kentara) juga menjadi tema
“keprihatinan”.
Tentang Cultural Studies
Cultural studies sebagai sebuah
disiplin diperkenalkan pada era 1960-an, dengan didirikannya Birmingham Centre
for Contemporary Cultural Studies (BCCCS) oleh Richart Hoggart di University of
Birmingham di Birmingham, Inggris, pada 1964. Cultural studies mempertautkan
berbagai sudut pandang dalam membongkar fenomena-fenomena budaya popular, yakni
ideologis, politis, ekonomis, sosiologis, kulturalis, dan strukturalis.
Artinya, katakanlah ketika kita dihadapkan pada kegiatan penelitian dengan
pendekatan cultural studies, dengan sendirinya kita akan melakukan pembongkaran
atas objek penelitian dengan menggunakan
enam sudut pandang tersebut dan metode-metode yang dikembangkan dalam
sudut pandang itu.
Misalnya, A tengah meneliti
fenomena X dengan pendekatan cultural studies. Untuk memperoleh jawaban
penelitian secara ideologis, politis, ekonomis, sosiologis, kulturalis, dan
strukturalis, maka ia mesti melakukan studi pustaka dan wawancara mendalam demi
memenuhi standar teknik pengumpulan data dan teknik analisis data dari sisi
ideologis, politis, ekonomis, sosiologis, kulturalis, dan strukturalis tentang
fenomena X. Bahkan, khusus untuk sisi struktural yang menguraikan sistem
bahasa, ia juga mesti menggunakan metode-metode analisis tertentu. Misalnya,
analisis semiotika versi Ferdinand de Saussure atau Charles Sanders Peirce atau
Roland Barthes yang masih strukturalis.
Dan pendekatan cultural studies
yang mempertautkan enam sudut pandang itu akan mengantarkan kita pada dua
persoalan besar yang menjadi wilayah penelitian, yakni era modern dan era
post-modern. Masing-masing wilayah memberikan tema-tema kajian dengan pendekatan
cultural studies tersebut.
“Sebagai sebuah
disiplin, secara genealogis, cultural studies berkembang tidak atas tuntutan
teoritis semata (pure science), tetapi atas dasar sebuah kebutuhan ideologis.
Ia berkembang dengan berlandas pada pertanyaan-pertanyaan praktis/ideologis
yang mempertanyakan dan mengintrogasi makna kebudayaan dan sifat
universalitasnya; mengangkat isu-isu mengenai formasi sosial, kekuasaan budaya,
hegemoni budaya, dominasi, dan regulasi yang menggerakkan resistensi, subversi,
dan perjuangan kultural (cultural struggle),” tambah Piliang. “Cultural studies merupakan kecenderungan
cara berpikir, model analisis, atau model pemahaman yang berkembang dengan
mengombinasikan berbagai teori dan metode yang telah ada atau sedang berkembang
sehingga bersifat sangat dinamis, terus bergerak, dan terus menjadi
(becoming).”
Kelincahan menembus ranah budaya dengan berbagai sudut
pandang itu, dengan teks di dalamnya, membuat cultural studies pun dijadikan
kendaraan untuk memasuki wilayah ilmu komunikasi.
Kajian Media dalam Cultural Studies
Pada modul sebelumnya telah
dipaparkan bahwa dalam konteks penelitian media, determinisme ekonomi (seperti
disinggung oleh Karl Marx dan menjadi tema kritik Mazhab Frankfrut)
bermetamorfosis menjadi hegemoni—seperti diuraikan dalam teori hegemoni Antonio
Gramsci. Dominic Strinati, mengutip gagasan Marx yang ditulis dalam The German
Ideology (pertama kali diterbitkan pada 1845/1846), menunjukkan keterkaitan
determinisme ekonomi dan hegemoni:
Gagasan-gagasan kelas penguasa,
di segala zaman merupakan gagasan-gagasan yang berkuasa: misalnya kelas, yang
merupakan kekuatan material yang didominasi di dalam masyarakat, pada saat yang
sama sekaligus merupakan kekuatan intelektualnya. Kelas yang memiliki
sarana-sarana produksi material yang tersedia baginya, pada saat yang sama
mengendalikan berbagai sarana produksi mental, sehingga gagasan-gagasan mereka
yang tidak memiliki sarana-sarana produksi mental, pada umumnya, tunduk padanya
… individu-individu yang mengisi kelas penguasa … kekuasaan sekaligus sebagai
para pemikir, sebagai penghasil gagasan, serta mengatur produksi maupun
penyebaran gagasan pada zamannya. Sebagai akibatnya, gagasan-gagasan mereka
adalah gagasan yang berkuasa pada zamannya.
Penyataan Marx di atas menunjukkan dua poin penting
kekuasaan, yakni kekuatan material dan kekuatan intelektual (yang oleh Gramsci
disebut hegemoni). Dengan kedua modal itu, kelas berkuasa akan menguasai kelas
yang tidak memiliki keduanya. Melalui teori hegemoninya, Gramsci memaparkan
lebih rinci soal kelas penguasa yang dimaksud, bentuk gagasan yang dimaksud,
dan target kelas yang bakal dikuasai. Dan, menurut saya, kedua poin penting
kekuasaan itu merupakan “persoalan besar dalam filsafat”—seperti digariskan
Horkheimer dalam tiga tema besar pemikiran teori kritis—untuk dikaji melalui
program penelitian interdisipliner, sekaligus merumuskan teori masyarakat yang
memungkinkan perubahan ekonomi, budaya, dan kesadaran.
Selain itu, saya juga menggarisbawahi dua kategori kritik
teori kritis seperti yang dikemukakan oleh Ritzer dan Goodman, yakni kritik
atas masyarakat modern dan kritik atas kebudayaan. Kedua hal itu sangat
bersentuhan dengan persoalan pergeseran determinisme ekonomi menuju hegemoni
seperti telah diuraikan di atas. Teknologi modern menjadi kendaraan paling
ampuh untuk membangun totalitarianisme dan mengontrol massa secara tanpa sadar,
bahkan menyenangkan. Industri kebudayaan melahirkan budaya massa yang palsu dan
membodohi. Teori kritis senantiasa berusaha melihat pergeseran determinisme
ekonomi menjadi kepemimpinan kebudayaan itu yang semakin lama kian tak
terbendung. Sedangkan cultural studies membukanya lagi menjadi lebih telanjang
melalui pembacaan-pembacaan atas teks dan relasi kekuasaan di belakangnya.
Adorno dan Horkheimer mengembangkan pendekatan sosiologis
Marxis terhadap studi media pada waktu Institut für Sozialforschung (Institut
Penelitian Sosial) berada di New York.
Mereka melihat media sebagai industri budaya yang mempertahankan relasi
kuasa dan muncul untuk mengurangi “standar resistensi” estetika budaya dengan
memopulerkan tipe-tipe budaya tertentu. Nilai yang diabadikan oleh media
bertentangan dengan nilai-nilai dasar tradisi Pencerahan. Massa “dibodohi” oleh
banalitas media. Pendekatan ini sangat
memperlihatkan nuansa hegemoni seperti digagas Gramsci berkat kehadiran relasi
kuasa dan pemaksaan budaya dengan pengurangan standar resistensi estetikanya.
Pendekatan ini makin memperjelas bentuk “hegemoni” kelas minoritas yang tak
lebih dari sebuah banalitas atau keremehtemahan. Dalam bahasa yang lebih
vulgar: sampah!
Meski Adorno dan Horkheimer tidak menyebutkan spesifikasi
media yang dimaksud, saya sangat berkeyakian, hal ini sangat mengarah pada
media televisi. Douglas Kellner (1990) secara terang-terangan menawarkan teori
kritis atas televisi. Kendati meletakkan karyanya pada aspek budaya yang
menjadi pokok perhatian Mazhab Frankfrut, Kellner mengambil tradisi Marxian
lainnya untuk menyajikan konsep yang lebih menyeluruh tentang industri
pertelevisian. Ia mengkritik mazhab kritis karena mengabaikan analisis
terperinci atas ekonomi politik media, dan mengonseptualisasikan budaya massa
semata-mata sebagai instrumen ideologi kapitalis. Selain merupakan industri
kebudayaan, Kellner menghubungkan televisi dengan kapitalisme korporat dan
sistem politik. “Televisi bukan sesuatu yang monolitik atau dikendalikan oleh
kekuatan korporat koheren, namun sekadar sebagai media massa yang sangat
konfliktual tempat bertemunya kekuatan ekonomi, politik, sosial, dan kultural,”
jelasnya (Kellner, 1990: 14).
Gagasan Kellner di atas makin memperjelas arah titik bidik
teori kritis terhadap media televisi. Bila Adorno dan Horkheimer melihatnya
sebagai industri budaya yang mempertahankan relasi kuasa dan muncul untuk
mengurangi “standar resistensi” estetika budaya dengan mempopulerkan tipe-tipe
budaya banalitas, maka Kellner makin memperjelas kenyataan lain di balik budaya
banalitas tadi, yakni sebagai buah dari pertarungan kekuatan ekonomi, politik,
sosial, dan kultural. Menurut Kellner, kapitalisme korporat (meso) dan sistem
politik (makro) berperan penuh atas penyajikan budaya yang dimaksud (mikro).
Dalam bahasa yang lebih sederhana, kekuatan ekonomi, politik, sosial, dan
kultural, menjadi aspek-aspek yang tidak boleh diabaikan dalam meneliti media
televisi menurut paradigma teori kritis.
Kellner telah menunjukkan sejumlah ciri terkait legitimasi
ideologi (bahkan ia tidak menempatkan tanda petik) sebagai kiblat masyarakat
kapitalis untuk menunjukkan hegemoninya. “Para pakar teori kritis menganalisis
semua artefak budaya media massa dalam konteks produksi industrialis, di mana
artefak-artefak industri budaya menunjukkan ciri-ciri yang sama dengan berbagai
produk produksi massal yang lain: pengkomoditasan (komodifikasi), penstandaran
(standarisasi), dan pengadaan besar-besaran (massifikasi). Namun, beragam
produk industri budaya memiliki fungsi khusus, yaitu menyediakan legitimasi
ideologis atas berbagai masyarakat kapitalis yang ada dan untuk menyatukan para
individu dalam kerangka kerja budaya massa dan masyarakat,” tegas Kellner.
Menurut Yasraf Amir Piliang, media merupakan ruang yang
menyediakan pertukaran ide-ide itu melalui bahasa dan simbol-simbol yang
diproduksi dan disebarluaskan. “Media membentuk sebuah tempat berlangsungnya
perang bahasa dan perang simbol (symbolic battle field), untuk memperebutkan
penerimaan publik atas gagasan-gagasan ideologis yang diperjuangkan. Dan di
dalamnya sebuah ide hegemonik mendapatkan tandingan oleh pelbagai hegemoni
tandingan lainnya (counter hegemony),” paparnya.
Lebih jauh lagi, Piliang juga mengutip kritik Kellner soal
telavisi yang dihubungkan dengan demokrasi dalam sistem politik, yakni sebagai
ancaman bagi demokrasi, individualitas, dan kebebasan, serta mengajukan saran
(misalnya, akuntabilitas yang lebih demokratis, akses dan partisipasi warga
negara yang lebih besar, lebih banyak keragaman dalam televisi). Kata kunci atas batasan tersebut adalah
ekonomi politik media yang dijiwai hegemoni media—oleh Idi Subandi Ibrahim
fungsi ini dianggap sangat berkepentingan dalam melayani kepentingan kuasa dan
kapital.
Bila pembahasan tentang teori kritis mengarah pada
“metamorfosis” determinisme ekonomi menjadi hegemoni—sekaligus mempertautkan
relasi pemikiran Karl Marx dan teori kritis, maka pembahasan tentang cultural
studies membangun perkelidan “metamorfosis” determinisme ekonomi menjadi
hegemoni ini dalam rupa relasi kekuasaan. Inilah kata kunci atas pembahasan
tentang kajian media dengan pendekatan cultural studies!
Raymond Williams dalam Television: Technology and Cultural
Form (1975) berpendapat bahwa teknologi seperti televisi harus dipahami sebagai
hasil dari kekuatan-kekuatan sejarah yang muncul dari kepentingan kelas borjuis
di dalam kapitalisme maju sembari mengapresiasi nilai-nilai komunitarian dan
demokrasis dari kebanyakan khalayak televisi.
Dalam konteks televisi, cultural studies mempertautkan
kritik teori kritis terhadap masyarakat modern dan kebudayaan yang diwujudkan
industri budaya dengan kekuasaan politik di balik industri budaya itu, termasuk
artefak budaya yang diproduksinya. Dan industri budaya popular adalah buah yang
harus muncul dari pertemuan kritik teori kritis itu dan kekuasaan politik yang
menjadi kritik cultural studies terhadap budaya.
“Budaya pop merupakan tempat di mana hegemoni muncul, dan
wilayah di mana hegemoni berlangsung. Ia bukan ranah di mana sosialisme, sebuah
kultur sosialis—yang telah terbentuk sepenuhnya—dapat sungguh-sungguh
‘diperlihatkan’. Namun, ia adalah salah satu tempat di mana sosialisme boleh
jadi diberi legalitas. Itulah mengapa ‘budaya pop’ menjadi sesuatu yang
penting,” jelas Stuart Hall.
Kesimpulannya, di balik pemikiran-pemikiran ideologis,
politis, sosiologis, kulturalis, strukturalis, dan juga poststrukturalis
(pengembangan pembacaan atas sistem bahasa secara strukturalis hingga mengurai
relasi kekuasaan di dalamnya), dalam memaknai kata kunci “budaya”, pendekatan
cultural studies dalam penelitian media televisi berujung pada pembacaan atas
hegemoni dan relasi kekuasaan—perhatikan Gambar 4.
Pada tahap sebelumnya, pemikiran Karl Marx dengan
kapitalisme dan determinisme ekonomi “mendorong” para ilmuwan teori kritis
memunculkan teori hegemoni Antonio Gramsci. Pada akhirnya, pembahasan cultural
studies menempatkan hegemoni dan relasi kekuasaan sebagai muara dalam kajian
media secara cultural studies.[]
No comments:
Post a Comment