Gerakan Sosial dan Perubahan
Sosial
Mustain
mashud
Untuk melihat
dinamika perlawanan rakyat diperlukan
landasan teoritis dan praktis bagi peran rakyat sipil terorganisir (organized
civil society) dalam transformasi sosial dalam konteks Dunia Ketiga. Transformasi sosial didefinisikan sebagai penciptaan hubungan ekonomi,
politik, kultural dan lingkungan yang
secara mendasar baru dan lebih baik. Dalam hal ini transformasi sosial dianggap
sebagai salah satu model atau bentuk alternatif tentang perubahan sosial yang
merupakan tujuan utama dari gerakan sosial. Dalam konteks Dunia Ketiga, studi
tentang gerakan sosial dan transformasi sosial tidak bisa dipisahkan dari
masalah pembangunan (Bonner, 1990).
Oleh karena itu studi mengenai transformasi sosial juga dimaksudkan untuk
mencari alternatif terhadap gagasan “pembangunan” yang selama dua dasawarsa ini
telah menjadi “agama sekuler baru” bagi berjuta-juta rakyat di negeri Dunia
Ketiga. Pada dasarnya pembangunan diterima oleh birokrat, akademisi maupun
aktivis LSM tanpa mempertanyakan landasan ideologis maupun diskursusnya. Namun,
pertanyaan terhadap ide pembangunan bukanlah semata-mata mengenai soal
metodologi ataupun soal pendekatan serta teknik pelaksanaan pembangunan Tetapi
yang perlu dipertanyakan secara teoritis justru pembangunan itu sendiri
dianggap sebagai suatu gagasan yang kontroversial[1] (Faqih, 1996:29).
Gerakan sosial yang terjadi di Dunia ketiga seringkali berkaitan secara
tidak langsung dengan pendekatan perubahan sosial yang dominan (mainstream approach),
yakni perubahan sosial yang direkayasa oleh negara, melalui apa yang disebut
sebagai pembanguan (Development). Pada umumnya pelbagai studi tersebut
dimaksudkan memahami watak perlawanan dan kritik terhadap modernisasi, yaitu
suatu skenario yang diasumsikan dan dirancang untuk membawa kemajuan dan
kemakmuran di Dunia Ketiga. Namun pembangunan dipandang rakyat ternyata justru
sebagai penyebab kemacetan ekonomi, krisis ekologis, serta berbagai
kesengsaraaan rakyat di Dunia Ketiga.
Pertumbuhan Jumlah organisasi gerakan sosial di Dunia Ketiga khususnya LSM
di Indonesia, tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan sejarah diskursus
pembangunan. Keberaaan LSM dan organisasi sosial di Indonesia senantiasa
berkaitan dengan masalah-masalah pembangunan. Sehingga di banyak negara Dunia
Ketiga istilah LSM/NGO selalu berkonotasi organisasi “pembangunan” non
pemerintah (Fakih, 1996).
Konflik antara rakyat (petani) dan perkebunan PTP XII secara langsung
berarti juga masuknya sistem ekonomi kapitalis ke masyarakat yang berbasis
pertanian. Masuknya sistem ekonomi kapitalis ini juga berarti mulai diperkenal kannya
sistem ekonomi uang. Sistem ekonomi kapitalis dan moneterisasi yang
dibawa masuk perkebunan ke masyarakat pertanian telah banyak mempengaruhi pola
hubungan sosial dari komunalisme ke pola hubungan rasional, seperti terlihat
dari cara persewan tanah memberikan buruh secara upahan dengan uang tunai (fress
money) yang semuanya itu lebih mengedepankan petimbangan-pertimbangan
legal-formal.
Diintroduksinya sistem ekonomi perkebunan yang kapitalistik ke kehidupan
rakyat petani telah menyebabkan terjadinya perubahan sosial yang mendasar.
Misalnya, munculnya stratifikasi sosial baru, yaitu pengusaha sebagai kelompok
minoritas elit ekonomi-politik dan kelompok buruh (pekerja)/penduduk pribumi.
Mereka terbentuk dalam status ikatan sosial yang didasarkan pada ikatan
ketergantungan antara majikan dan pekerja sebagai ikatan patron-klien
(Kusbandriyo, 1996).
Pihak perkebunan telah mendayagunakan sistem ekonomi modern yang kapitalistik
sementara pada saat yang sama rakyat tetap dengan sistem ekonomi pertanian yang
tradisional. Maka, terbangunlah – sebagaimana dikemukakan Booke-- dualisme
ekonomi. Dualisme ekonomi ini, menurut Paige (1975) dalam bukunya Agrarian
Revolution: Social Movement and Export Agriculture in the Undedevelopment World,
mengakibatkan rendahnya subsistensi petani penggarap dan kemudian berdampak
pada perbedaan-perbedaan konsep secara mendasar antara pihak perkebunan dan
rakyat dalam memandang masalah status tanah dan pengusahaannya. Dalam sejarah
perkebunan yang bersifat kontraktual dan kapitalistik selain amat jarang
terjadi kepentingan petani diperhatikan sebagaimana semestinya, para petani
juga diposisikan sangat rendah (Lanberger, sebagaimana dikutip Kusbandrijo,
1996). Menurut Paige (1975), tuntutan ekonomi komersial untuk mengejar
keuntungan cenderung untuk menguasai sebanyak mungkin surplus keuntungan dari
pada berbagi keuntungan dengan petani atau buruh tani.
Perbedaan kepentingan ini sangat
rentan terhadap militansi dan radikalisme petani, baik yang diam-diam maupun
terbuka yang merupakan bentuk mekanisme survival petani untuk mempertahankan
kehidupannya sekaligus menuntut keadilan. Menurut Lanberger (1981) berbagai
tekanan yang dilakukan oleh perkebunan yang menggunakan model ekonomi
kapitalistik tersebut memposisikan rakyat petani sebagai klas masyarakat
pinggiran, marjinal dan inferior yang dalam prosesnya menjadikan sikap
mereka gampang bereaksi secara kolektif.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Scott (1993) bahwa posisi petani yang terpojokkan akan dengan
gampangnya melakukan pembrontakan secara kolektif.
Ketika ekspansi statis mencapai puncaknya karena keterbatasan lahan, maka
strategi untuk memelihara homogenitas sosial diarahkan pada dinamika internal
komunitas sebagaimana dikemukakan Gerzt[2]. Di tengah proses berbagi kemiskinan ini sesungguhnya mulai berkembang
adanya pelapisan sosial berdasarkan penguasaan tanah juga mulai kelihatan kata
Prof Sayogjo dalam Kata Pengantarnya dalam bukunya Gerzt. Seiring dengan itu,
juga tengah berlangsung adanya perbedaan akses atas penguasaan tanah main
dominan menjadi dasar differensiasi sosial (Kano, 1984), bahkan konflik di
pedesaan kemudian seringkali berpangkal pada masalah penguasaan tanah (Lyon,
1984).
Dominasi barat dan perubahan yang menyertainya menyebabkan goyahnya tatanan
masyarakat tradisional beserta nilai-nilai tradisinya. Kondisi demikian menjadi
ladang sumber bagi munculnya gerakan sosial. Karena itu, gerakan sosial
acapkali merupakan ledakan ketegangan pertentangan dan permusuhan dalam
masyarakat. Sebagai aktifitas kolektif gerakan sosial bertujuan untuk
mewujudkan tatanan masyarakat yang dicita-citakan dalam (setidaknya) menolak
suatu perubahan yang seringkali dilakukan dengan jalan radikal. (Sartono, 1987:
151-152).
Selain berupa radikalisasi, bentuk perlawanan rakyat juga bis dilakukan
dengan perlawanan terselubung atau pembangkangan-pembangkangan (Siahaan, 1997).
Termasuk pembangkangan di sini adalah penipuan, pemalsuan, kebodohan yang
dibuat-buat, pembelotan, pencurian kecil-kecilan, penyerangan, pelanggaran,
pembakaran rumah dengan sengaja, penyelundupan dan pembunuhan secara diam-diam.
Tindakan ini dilakukan sebagai alternatif untuk menentang secara
terang-terangan dan atau terlalu riskan
untuk mengadakan tantangan terbuka ( Scott, 1989).
4.2. TEORI GERAKAN
SOSIAL
Setiap gerakan sosial mempunyai ciri hampir sama yakni kemampuan
partisipasinya untuk membangkitkan rasa
rela berkorban, kecenderungan bertindak secara kompak, fanatis, kebencian,
antusiasme, intoleransi dan kesetiaan tunggal. Peserta gerakan sosial adalah
orang-orang yang kecewa dan tidak puas (Eric Hoffer, 1988). Dalam kondisi
demikian telah terjadi depriviasi relatif, yaitu ketidaksesuaian antara
harapan dan kenyataan yang dihadapi (Sylvia, 1984).
Studi tentang gerakan sosial dapat dianalisis dengan menggunakan dua
perpesktif teori sosiologi: (1) perspektif struktural fungsional dan (2)
perspektif struktural konflik Perspektif pertama terdiri dari
pelbagai teori yang cenderung melihat gerakan sosial sebagai masalah, atau
sebagai gejala penyakit masalah kerakyatan. Herbele (1951), dalam bukunya Social
Movement : An Introduction to Political Sociology, mengkonsepkan
bahwa gerakan sosial pada dasarnya adalah bentuk perilaku politik kolektif
non-kelembagaan yang secara potensial berbahaya karena mengancam stabilitas
cara hidup yang mapan. Sementara itu, Sosiolog lainnya, misalnya Fruer (1969),
cenderung melihat gerakan sosial sebagai “Konflik generasi”.
Lipset (1967) dengan analisis sosiologisnya menganggap bahwa gerakan sosial
merupakan bagian generasi baru yang memperjuangkan pengakuan, dan perlunya
menentang orang tua mereka dan “kemapanan” yang tidak memberi pengakuan kepada
mereka. Sementara itu Maslow (1962) mencoba menggabungkan analisis psikologis
dan struktural. Ia melihat gerakan mahasiswa dan gerakan sosial lainnya sebagai
mewakili suatu generasi baru dengan kebutuhan yang lebih tinggi yang, tepatnya
karena mereka muncul dalam kesenangan kelas menengah, berada dalam posisi mencari
nilai-nilai pascamateri, berkaitan dengan tujuan pemenuhan kebutuhan diri
(sendiri) dan tujuan yang lebih altruistik yang berhubungan dengan kualitas
hidup. Akhirnya, Keniston (1965) menganggap gerakan mahasiswa sebagai anggota
kelas menengah yang teralienansi.
Berbagai teori mengenai gerakan sosial
tersebut berakar dan dipengaruhi oleh teori sosiologi dominan, fungsionalisme.
Fungsionalisme seringkali juga disebut sebagai “fungsionalisme struktural”
karena penekanannya pada keperluan, atau “kebutuhan” sistem sosial fungsional
yang harus dipernuhinya ileh bagoan-bagiannya sebagai upaya untuk
mempertahankan kelangsungan dan struktur yang ada. Fungsionalisme melihat
rakyat dan pranata sosial sebagai sistem dimana seluruh bagiannya saling bergantung
satu sama lain dan bekerja bersama guna menciptakan keseimbangan. Dengan
demikian keseimbangan merupakan unsur kunci dalam fungsionalisme. Salah satu
proposisi terpenting fungsionalisme adalah, akan selalu ada reorganisasi
dikarenakan kebutuhan memperbaiki keseimbangan. Dalam menganalisis bagaimana
sistem sosial mempertahankan dan memperbaiki keseimbangan, mereka condong
menggunakan nilai-nilai yang dimiliki atau standar sifat yang diterima secara
umum sebagai konsep sentral. Fungsionalisme menekankan kesatuan rakyat dan apa
yang dimiliki bersama oleh anggotanya. Itulah sebabnya maka penganut
fungsionalisme condong melihat gerakan sosial sebagai negatif, yakni
menimbulkan konflik yang akan mengganggu harmoni rakyat.
Meskipun fungsionalisme sebagai aliran pemikiran mengklaim sebagai teori
perubahan, tetapi kalau dilihat asumsi dasarnya maka sesungguhnya
fungsionalisme bersandar kepada gagasan status quo. Oleh sebab itu
fungsionalisme lebih merupakan teori stabilitas sosial dan konsensus normatif.
Doktrin ini dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa rakyat adalah bagian dari
suatu sistem yang saling bergantung dan berkesesuaian satu sama lain, atau
sekurang-kurangnya dalam proses saling penyesuaian diri kembali secara
terus-menerus. Dengan alasan ini, fungionalisme melihat konflik sebagai sesuatu
yang harus dihindari. Talcott Parsons, yang dikenal sebagai bapak
fungsionalisme, dalam berbagai karya awalnya tentang perubahan sosial dengan
jelas menekankan perlunya keseimbangan. Ia menyetujui perubahan di dalam sistem,
dan bukan perubahan sistem sosial. Sesungguhnya gagasan Parsons adalah tentang
perubahan yang bersifat perlahan-lahan dan teratur yang senantiasa
menyeimbangkan kembali (re-equibrium), dan hal ini menghasilkan suatu
keadaan semacam keseimbangan, meknisme penguasaan, ketegangan dan kekacauan
ketika membahas konflik dan perubahan.
Perspektif kedua melihat
gerakan sosial sebagai sesuatu yang baik dan karena, positif dan konstruktif
bagi perubahan sosial. Perspektif teori Konflik ini dibangun dengan berdasar
pada tiga asumsi dasar. Pertama, setiap individu dalam masyarakat akan selalu
berusaha untuk memenuhi apa yang mnjadi kebutuhannya. Kedua, kekuasaan
dipandang sebagai inti dari struktur sosial sehingga setiap orang akan saling
berusaha mendapatkannya. Ketiga, nilai
dan gagasan dipandang sebagai instrumen konflik yang digunakan antar kelompok
kepentingan untuk mencapai tujuan masing-masing dari pada sebagai instrumen
untuk mempertahankan identitas dan mempersatukan (tujuan) rakyat.
Teori konflik mulanya berakar dalam
Marxisme tradisional yang didasarkan pada asumsi bahwa revolusi adalah suatu
kebutuhan. Sebab, kondisi masyarakat (proletar) telah semakin memburuk terutama
dalam hubungan produksi yang memunculkan masa krisis ekonomi, depresi dan
kehancuran. Namun dalam perkembangannya, cara berpikir Marxisme tradisional ini
banyak dikritik oleh generasi baru
marxis seperti golongan Kiri baru (New Left), maupun dari teoritisi
non-Marxian terhadap Marxisme yang mekanistik tersebut. Kaum Kiri Baru
mengajukan analisis alternatif yang menekankan perhatian kepada peran manusia
sebagai agen, termasuk ideologi, kesadaran kritis dan pendidikan, dalam
mentrasformasikan krisis ekonomi menjadi krisis umum. Mereka menolak gagasan
bahwa perekonomian adalah sesuatu yang esensial dan faktor menentukan bagi
perubahan sosial. Mereka juga menolak gagasan determinisme historis yang
mengagungkan manusia sebagai faktor penting di antara banyak faktor lainnya
yang saling bergantung secara dialektis. Pendekatan ini
dipengaruhi oleh Antonio Gramsci dan teoritisi kiri lain (Eyerman dan Jamison,
1991; Epstein, 1991).
Teori baru yang diajukan para
pengritik Marxisme tradisional didasarkan pada argumen bahwa gerakan sosial
yang terjadi pada tahun 1970-an dan 1980-an bukanlah perjuangan kelas dalam
pengertian sebagaimana didefinisikan Marxisme tradisional. Gerakan anarkisme,
gerakan spiritualitas, gerakan feminisme, gerakan hak azasi manusia dan hak-hak
sipil, gerakan anti perang dan anti nuklir, gerakan sosial berbasis komunitas
dan gerakan pecinta lingkungan (environmentalist) serta gerakan LSM
maupun berbagai gerakan sosial lainnya adalah sebagian gerakan yang tidak
berkaitan secara langsung dengan perjuangan kelas dari kelas buruh. Dengan
demikian para teoritisi tersebut merumuskan kerangka kerja yang memandang
gerakan sebagai sesuatu yang berkaitan antar kelompok atau kepentingan sosial
lain sambil melekatkan proses kerakyatan yang lebih luas (Mallet,1976;
Gorz,1967). Touraine (1971) juga menegaskan bahwa dalam gerakan rakyat
pascaindustri, gerakan kelas buruh atau gerakan serikat buruh tidak berada lagi
di pusat konflik rakyat. Touraine menyatakan bahwa “kelas buruh bukan lagi
pelaku sejarah yang istimewa, bukan karena gerakan buruh karena lemah atau tunduk kepada
strategi partai politik tertentu; tetapi lebih dikarenakan penggunaan kekuasaan
di dalam perusahaan kapitalis tidak lagi menempatkan seseorang pada pusat
sistem ekonomi dan konflik sosialnya”(Touraine, 1971).
Ada konsensus umum yang muncul di kalangan mereka yang tertarik mengamati
gerakan sosial, termasuk kaum Marxis sendiri, bahwa kaum proletar industri di
negara-negara kapitalis maju bukan lagi merupakan kekuatan revolusioner yang
potensial untuk perubahan sosial. Gagasan perubahan sosial mereka tidak lagi memperhatikan revolusi kelas buruh, atau
bahkan kelas buruh secara keseluruhan. Escobar dan Alvarez (1992) dalam
pengamatannya terhadap gerakan sosial di negara-negara Dunia Ketiga Kontemporer
juga menemukan bahwa gerakan sosial itu beralih dari perjuangan kelas ekonomi
yang terbatas ke transformasi sosial yang lebih luas.
Escobar dan alvarez selanjutnya
berpendapat bahwa teori-teori baru tentang gerakan sosial justru melihat
gerakan sosial sebagai usaha untuk menghasilkan transformasi mendasar dalam
hakikat praktik politik maupun teori tentang gerakan sosial itu sendiri. Mereka
juga menjelaskan bahwa salah satu ciri gerakan sosial baru adalah penolakannya
atas analisis sosial yang didasarkan kepada pembagian ruang politik menjadi dua
kubu yang saling bertentangan secara tegas ( borjuis dan proletar). Dalam situasi baru, keberagaman aktor sosial memapankan kehadiran ruang
automi mereka dalam lingkungan sosial dan politik yang terfragmentasi .
Berdasarkan analisis dan pengamatan mereka, dipahami bahwa untuk menilai dampak
gerakan sosial maka gerakan sosial harus ditempatkan dalam konteks proses
demokratisasi yang sangat luas. Proses demokratisasi ini merupakan proses
transformasi sosial atas aspek-aspek kultural, sosial, ekonomi, dan politik,
maupun kehidupan lainnya (Faqih, 1996).
Antonio Gramsci adalah pemikir politik yang sangat mempengaruhi pendekatan
kedua ini yakni teori perubahan sosial yang nonreduksionis, khususnya teori
mengenai hegemoni (hegemoni theory) dengan mengatakan bahwa kelas buruh
tidak lagi dianggap sebagai pusat gerakan revolosioner. Dengan demikian Gramsci
membuka kemungkinan memasukkan kelompok-kelompok baru ini ke dalam kategori
kelas buruh. Ia juga membuat teorisasi tentang kemungkinan menciptakan aliansi
antara unsur kelas buruh dan kelompok lainnya, dan menekankan transformasi
kesadaran sebagai bagian proses revolusioner. Laclau dan Mouffe (1985)
memperluas teori Gramsci dengan mengangggap “gerakan sosial baru” sebagai model
dalam pencarian alternatif atas kemacetan pendekatan Marxisme tradisional.
Para pemikir pasca Marx, seperti Femia (1979) dan Gramsci (1891-1937)
misalnya, dapat dipandang sebagai pemikir politik terpenting. Gagasannya yang
cemerlang tentang hegemoni dianggap merupakan landasan paradigma alternatif
terhadap teori Marxis tradisional mengenai paradigma super struktur dasar.
Teori-teorinya muncul sebagai kritik sekaligus alternatif bagi pendekatan dan
teori perubahan sosial sebelumnya yang didominasi oleh determinisme kelas dan
ekonomi Marxisme tradisional.
Analisis
Gramscian dianggap signifikan untuk keperluan studi ini dikarenakan perlunya
pemahaman komprehensif tentang peran masa depan gerakan sosial dan pendidikan
massa dalam formasi sosial kapitalis Dunia Ketiga, khususnya di Indonesia di
mana kapitalisme sedang dalam proses menemukan kemapanannya. Selain itu,
pendekatan Gramscian juga tepat karena analisisnya –khususnya terhadap NGO--
yang bergaya nondeterministik dan antiredoksionisme, terutama karena Gramsci
muncul sebagai kritik terhadap kebanyakan penganut Marxisme pada waktu itu yang
umumnya berdeterminis ekonomi dan redoksionis kelas. Pengaruh determinisme
ekonomi atas pendekatan analisis sosial mainstream yakni Developmentalisme
maupun pengaruhnya kepada gerakan LSM di Indonesia menjadikan pendekatan
nonredoksionis Gramsci lebih mengenai sasaran (Faqih, 1999).
Untuk memahami mengapa dan apa masalah yang ditimbulkan oleh pendekatan
redoksionisme, secara singkat akan dikupas kembali bagaimana reduksionisme
mempengaruhi teori-teori Marxis maupun non-Marxis. Misalnya, marxisme
tradisional memandang munculnya kelas buruh revolusioner akan mampu merobohkan
kapitalisme. Setidak-tidaknya sepanjang tahun 1930an perspektif ini menjadi
kerangka kerja untuk memahami berbagai gerakan di negara-negara kapitalis maju,
di mana perjuangan kelas buruh merupakan hal yang sentral. Marxisme tradisional
juga menyediakan teori untuk memahami struktur rakyat dan suatu pedoman
strategi. Teori-teori tersebut didasarkan atas keyakinan bahwa aspek ekonomi
dari realitas sosial menentukan aspek-aspek nonekonomi, khususnya berbgai aspek
politik dan kultural kehidupan sosial (Resnick dan Wolf, 1989).
Marxisme tradisional didominasi oleh gagasan determinisme ekonomi dan
determinisme humanis yang sering dinamai sebagai Marxisme “klasik’ atau aliran
“resmi” tentang marxisme. Mereka yakin bahwa Mark dipahami telah menemukan
kebenaran, bahwa aspek ekonomi dalam kehidupan sosial menentukan aspek
nonekonomi. Dengan kata lain, teori Marxis yang dominan ini secara serentak
mengklaim dan “membuktikan” keterkaitannya dengan dunia nyata. Pendukung aliran
determinisme ekonomi Marxis ini selalu berusaha menguraikan bagaimana proses
determinasi bekerja dalam situasi konkret dan mereka tidak mempercayai
teori-teori “keliru” alternatif tentang realitas sosial. Dengan demikian
epistemologi esensialis merupakan suatu keyakinan yang mempengaruhi banyak
teori baik di kalangan Marxis maupun di luar Marxis (Resnick dan Wolf, 1989).
Tradisi inilah yang banyak mempengaruhi teori-teori perubahan sosial (Faqih,
1996).
Teori kelas sebagai salah satu pendekatan dalam Marxisme tradisional
menempatkan perjuangan kelas sebagai hal sentral, faktor esensial dan
menentukan dalam perubahan sosial. Pendekatan ini cenderung melihat rakyat
kapitalis dari perspektif perekonomian di mana rakyat kapitalis sebagai kelas
utama, yaitu sebagai kelas yang mengekploitasi. Oleh karena itu, dari
perspektif ini, rakyat terdiri atas unsur esensial yaitu dasar (base) dan
superstruktur (superstructure). Unsur dasar, yaitu ekonomi, dianggap
sebagai landasan sehingga merupakan faktor yang secara esensial menetukan
rakyat maka dianggap sebagai faktor terpenting dalam proses perubahan. Dengan
demikian berarti bahwa ekonomi merupakan faktor esensial dalam perubahan
sosial. Sementara itu bagi esensialis dan reduksionis, superstruktur yang
terdiri atas pendidikan, kultur dan ideologi berada ditempat kedua karena
faktor tersebut ditentukan oleh perekonomian. Perekonomian kelas dianalisis
dengan melihat cara produksi (modes of production). Jadi, menurut
pendekatan ini, perubahan sosial diturunkan menjadi perjuangan kelas di mana
kelas yang dieksploitasi berjuang melawan eksploitasi dari kelas kapitalis.
Dengan kata lain, pada dasarnya perubahan sosial itu merupakan pengubahan cara
produksi rakyat. Itulah sebabnya maka, menurut paradigma ini, aspek esensial
perubahan sosial adalah revolusi kelas buruh.
Dengan demikian determinisme ekonomi
dianggap sebagai landasan gerakan sosial Marxis tradisional. Analisis ini
didasarkan kepada interprestasi tertentu terhadap materialisme historis Marx.
Materialisme historis dianggap merupakan teori empiris yang didasarkan kepada
anggapan bahwa struktur ekonomi rakyat yang diangkat melalui hubungan
produksinya adalah landasan nyata rakyat. Hubungan produksi itu dianggap
merupakan dasar munculnya semua bentuk kesadaran sosial. Oleh karenanya
diyakini bahwa jalan umum sejarah manusia tergantung pada pertumbuhan atau
kekuatan produktif. Kekuatan produktif akan meliputi, di antara hal-hal
lainnya, alat produksi, pengetahuan, buruh, ketrampilan dan pengalaman. Dalam
formasi sosial kapitalis, cara produksi yang terdiri atas hubungan produksi dan
kekuatan produksi (buruh) --menurut pandangan ini -- dianggap mengangkat dasar
seluruh perkembangan sosial. Kekuatan
produksi (buruh) dianggap sebagai instrumen produksi, dan hubungan produksi
mencakup hubungan sosial antar pekerja dan juga antara pekerja dan alat
produksi. Hubungan-hubungan ini menghasilkan kelas pemilik modal (kapitalis)
dan kelas buruh yang tidak memiliki modal apapun. Kepentingan material yang
berbeda dari kelas-kelas itu memecah dan mengarahkan perjuangannya, yang
ditandai sebagai perjuangan kelas. Sejarah setiap rakyat adalah sejarah
perjuangan kelas. Keberhasilan atau kegagalan akhir suatu kelas ditentuan oleh
hubungannya dengan kekuatan produktif. Kelas yang memenangkan perjuangan adalah
kelas yang memiliki alat produki karena secara ekonomi lebih baik dan juga
memiliki kekuatan tawar menawar yang lebih baik.
Berdasarkan paradigma ini kelas buruh dilihat
sebagai pusat perubahan dalam teori perubahan sosial bagi kalangan Marxis
tradisional dan perannya dalam gerakan sosial dianggap esensial. Dengan
demikian, kelas buruh didudukkan sebagai unsur utama dalam proses perubahan.
Jadi, menurut pandangan Marxisme tradisional, ada beberapa ciri teori gerakan
sosial dan organisasi gerakan sosial. Pertama, gerakan sosial dilihat
sebagai gerakan kelas buruh dari buruh pabrik di perkotaan atau petani tak
bertanah atau buruh tani di pedesan. Kedua, sebagai akibat anggapan
pertama, perjuangan atau gerakan nonkelas, seperti gerakan lingkungan, gerakan
perempuan dan feminis serta jenis gerakan nonkelas lainnya, berada di luar
teori ini. Ketiga, titik perhatian utama teori-teori ini adalah terhadap
hubungan proletar kelas buruh dan kelas kapitalis ketimbang kepada hegemoni
ideologis dan kultural, pendidikan, gender dan lingkungan.
Pendekatan inilah yang ditolak oleh
kaum nonreduksionis dan antiesensialis. Para teoritisi antiesensialis memiliki
kesamaan dalam penolakannya terhadap esensialisme, determinisme atau
reduksionisme. Mereka adalah di antara sedikit teoritisi yang memandang rakyat
dengan menggunakan perspektif materialis dialektis.
Mereka memandang bahwa posisi epistemologi Marxisme sesungguhnya antiesensialis.
Sekalipun memiliki pendekatan dan penjelasan yang berbeda atas posisi
antiesealisnya, mereka mempunyai prinsip yang sama yakni penolakan atas asumsi
apapun bahwa kompleksitas dapat direduksi kepada penyederhanaan sebab dan
akibat. Mereka menganggap bahwa setiap sebab itu sendiri adalah akibat dan
demikian sebaliknya. Mereka menolak mencari sebab esensial kejadian apapun
karena mereka tidak mempercayai adanya penyebab esensial. Dalam pandangan
mereka teori tidak memiliki esensi, sebagaimana dalam empirisme, bukan juga
teori adalah esensi sebagaimana diyakini dalam rasionalisme. Jadi, posisi
epistomologis teori anti esensialisme ini mengganti esensialisme dengan
komitmen mereka kepada dialektika.
Tradisi pemikiran dialektis diangkat oleh sarjana-sarjana radikal dan
kritis seperti Luka, Gramsci, Althusser, Resnick dan Wolf, Korsh, Adono,
Habermas, Horkheimer, Marcuse, hingga saat ini. Teori-teori antiesensialis
mengajukan konsep overdeterminasi sebagai alternatif bagi esensialisme. Mereka
menggunakan overdeterminasi sebagai pengganti “dialektika”, karena istilah
dialektika telah dijinakkan dan digunakan secara luas dengan pengertian yang
berbeda. Overdeterminisme merujuk kepada bagaimana keberadaan entitas
tertentu --dalam pengertian bahasa,
politik, pengetahuan, eksploitasi, rakyat yang saling menentukan. Karena
masing-masing dipahami berada dengan cara ini, tak satupun yang kebal dari
determinasi emacam itu. Entitas-entitas tersebut saling mempengaruhi (overdetermin)
terhadap eksistensi lainnya.
Dengan kata lain, tidak ada satu entitas pun yang dianggap “lebih
menetukan” ketimbang yang lain. Selanjutnya bahwa asal–usul, esensi, tidak
dapat mereproduksi diri sendiri. Dengan begitu overdeterminasi berarti bahwa
setiap proses dalam rakyat saling ditentukan secara bersama oleh semua entitas.
Dengan pendekatan ini berarti bahwa perubahan sosial adalah hasil interaksi
seluruh aspek rakyat, ketimbang akibat dari beberapa sebab “esensial” atau
aspek seperti yang diyakini oleh kaum esensialis. Dalam epistemologi
overdeterminis, tidak ada pertanyaan untuk mereduksi pada kausalitas, karena
overdeterminisme merupakan epistemologi antiesensialis (Renick dan Wolf, 1988)
Menurut teori anti esensialis ini,
proses teori ditentukan oleh keseluruhan dari banyak proses lainnya. Penekanan
teori ini terhadap ekonomi pada umumnya dan kepada kelas khususnya, hanyalah
dianggap sebagai pintu masuk belaka. Dalam epistomologi overdeterminis ini--
materialisme dialektis-- menghindari argumen yang meletakkan entitas apa saja,
misalnya kelas, sebagai esensi realitas sosial. Konsep hegemoni Gramsci pada
dasarnya adalah ekspresi posisi antiesensialis-determinis dan kritik terus
menerus kepada dan formulasi alternatif
bagi determinisme ekonomi. Jadi penganut antiesensialis tidak mengakui
aspek esensi atau asal-usul, telos, ataupun subyek. Menurut teori ini, tidak ada teori --termasuk teori Marxis itu sendiri
sebagai esensi perkiraan menjadi esensi realitas. Tidak ada kebenaran absolut tunggal diakui. Dengan kata lain, teori
antiesensialis menolak segala jenis argumen deterministik, misalnya
determinisme ekonomi atau determinisme kelas, seperti dalam tradisi Marxis
klasik. Rakyat adalah totalitas yang bersifat mempengaruhi satu sama lain dalam
satu totalitas (Faqih, 1996).
Konseptualisasi esensialisme dan antiesensialisme yang bertentangan ini
mempengaruhi berbagai aksi individu dan
organisasi gerakan sosial dalam melakukan perubahan sosial. Mereka yang percaya
bahwa aspek ekonomi sebagai faktor yang “menetukan”, cenderung menempatkan
masalah ekonomi sebagai akar segala masalah sosial. Dengan penempatan seperti
itu, mereka cenderung memecahkan masalah-masalah rakyat dengan berupaya
mengubah aspek-aspek ekonomi sebagai penentu. Dengan kata lain, mereka tidak
melihat pentingnya aspek-aspek kehidupan lainnya, seperti hegemoni kultural dan
politik, penindasan gender, dan pengetahuan/kekuasaan serta diskursus, sebagai
bentuk, sebagai bentuk dominasi yang melanggengkan eksploitasi ekonomi. Di
lain pihak, mereka yang menganggap ‘hegemoni” sebagai satu-satunya penyebab
masalah sosial, cenderung mengabaikan kelas sebagai determinan penting dalam
menciptakan masalah-masalah sosial. Teori esensialis ini memberi andil atas
tumbuhnya cara berpikir dogmatis dan fanatis dalam rakyat karena pendukung teori
ini yakin bahwa mereka telah menemukan “kebenaran absolut”. Teori ini juga
menyebabkan sagnasi dengan penolakan terhadap diskusi dan analisis alternatif.
Cara berpikir esensialis juga mengandung bahaya penciptaan intoleransi politik
dan kultural dikarenakan sifat fanatisnya. Materialisme dialektis atau
overdeterminisme diciptakan untuk menghindarkan fanatisme ini dan menciptakan
rakyat demokratis yang sejati.
Bagi Gramsci, kelas dianggap sebagai salah satu dari banyak entitas dalam
rakyat (seperti ekonomi, politik, kultur, gender dan lingkungan) yang saling
bergantung satu sama lain. Dalam teori nonreduksionisnya tentang eksploitasi,
kelas ekonomi tidak lagi dianggap sebagai dasar rakyat. Teorinya secara tidak
langsung menyatakan bahwa perubahan sosial adalah hasil dari interakasi
seluruh aspek rakyat ketimbang merupakan konsekuensi dari satu sebab atau aspek
“esensial “ tertentu. Dalam perspektif Gramscian, kelas buruh tidak lagi
dianggap sebagai pemeran utama dalam gerakan utama sosial.
Namun sebaliknya, ada gejala baru dalam analisis gerakan sosial dan
perubahan dari analisis perjuangan menuju ke analisis yang didasarkan pada non
kelas. Epstein (1991) sosial baru (New Social Movement) di Amerika
Serikat. Ia mencatat bahwa gejala ini merupakan lemahnya kepentingan gerakan
sosial baru dan terbatasnya ruang lingkup kepentingan aksi gerakan mereka.
Banyak diantara gerakan menengah, misalnya gerakan lingkungan/ekologi, gerakan
perdamaian, gerakan konsumen, gerakan aksi langsung dan jenis gerakan lainnya.
Gerakan-gerakan tersebut cenderung memisahkan diri dari perjuangan kelas. Pada
saat yang sama beberapa gerakan sosial di Dunia Ketiga, seperti gerakan
lingkungan, gerakan perempuan maupun gerakan LSM juga bermasalah karena
mengucilkan gerakan buruh.
Dengan demikian tipe gerakan yang disebut tipe gerakan
sosial baru tersebut pada umumnya tidak berhubungan dengan gerakan buruh. Kalau
demikian pada dasarnya gerakan sosial baru itupun merupakan bentuk lebih lanjut
dari gerakan reduksionis, atau jenis esensialisme yang lain. Dalam kajian ini
penulis bermakksud mengonstruksi suatu teori baru tentang gerakan sosial yang
tidak menurunkan fenomena sosial ke ekonomi dan juga tidak mengabaikan
eksploitasi kelas dan ekonomi. Tujuan utama buku ini adalah bukanlah menemukan
satu teori yang benar untuk mengganti teori yang salah, tetapi membangun suatu
teori yang akan memberikan pedoman yang lebih luas bagi proses transformasi
sosial.
Teori baru ini sangat dipengaruhi oleh
dua pemikir. Pertama, seperti diungkapkan terdahulu, oleh Antonio Gramsci,
terutama kritiknya atas “determinisme ekonomi” dan konsep hegemoninya; kedua
oleh, oleh seorang pemikir Prancis yaitu Louis Althusser, khususnya konsep
overdeterminismenya sebagai teori antiesensialisme, antireduksionisme dan
antideterminisme. Sebelun menguraikan bagaimana perubahan sosial berlangsung
dalam konteks hegemoni dan bagaimana perubahan sosial cocok dengan semangat
dialektika atau konsep overdeterminisme Althusser dam konsep hegemoni Gramsci.
Konsep overdeterminisme digunakan oleh
banyak pemikir misalnya Sigmund Freud, Georg Lukacks dan Louis Althusser.
Resnick dan Wolf (1987) adalah diantara sedikit ekonom determinisme. Mereka
menggunakan istilah tersebut, yang dipinjam dari Althusser, dalam konteks perdebatan
tentang dialektis. Merka berpendapat bahwa overdeterminasi, sebagaimana
dilawankan dengan determinasi dan determinisme, menentang segala bentuk
reduksionisme atau esensialisme. Overdeterminasi adalah penolakan atas segala
praanggapan bahwa kompleksitas dapoat diturunkan kepada penyederhanaan bentuk
sebab dan akibat. Sebaliknya overdeterminasi beranggapan bahwa setiap unsur
dalam konteks kejadian apapun memainkan peran tersendiri dalam penentuan
kejadian itu. Setiap sebab adalah sebab itu sendiri dan juga akibat, demikian
sebaliknya. Oleh karena itu, tidak ada satu hal pun yang menjadi esensi dari
sesuatu, atau dengan kata lain tidak ada pernyataan bahwa sesuatu “lebih” atau
“kurang” ditentukan oleh suatu proses tertentu dalam rakyat.
Sedangkan istilah hegemoni, yang
digunakan dalam buku ini erat kaitannya dengan apa yang dipikirkan oleh Antonio
Gramsci. Menurut Gramsci, negara kapitalis industri membutuhkan kelas buruh
yang terlatih dan termotivasi. Untuk itu dibutuhkan tipe dominasi baru yang
disebutnya hegemoni (Gramsci, 1971). Dengan hegemoni, secara tidak langsung
berarti bahwa paksaan (coersion) bukan lagi alat kontrol sosial yang
memadai; karena dengan hegemoni memungkinkan kelas buruh dibuat memihak dan
tunduk kepada (menyetujui) sistem yang ada. Williams (1960) secara praktis
mendefinisikan konsep hegemoni sebagai: Suatu tatanan dimana cara hidup dan
pemikiran kelompok tertentu menjadi dominan, dimana suatu konsep realitas
disebarkan ke seluruh rakyat dalam seluruh kelembagaan dan kehidupan
pribadinya, yang mempengaruhi seluruh cita rasa , moralitas, kebiasaan, prinsip
agama dan politik, dan seluruh hubungan sosial, terutama dalam pengertian
intelektual dan moral. (Williams, 1960 ,hal.387).
Dalam kaitan dengan studi mengenai gerakan
sosial dan perubahan sosial konsep hegemoni dianggap sebagai inti pemikiran
politik Gramsci. Namun masalahnya Gramsci tidak mendefinisikannya dengan jelas
dalam tulisannya. Penggunaan definisi Williams membantu kita untuk memahami
konsep hegemoni Gramsci. Walaupun hegemobi diperoleh melalui persetujuan dan
penggunaan paksaan oleh satu kelas atas yang lainnya, persetujuan dalam proses
hegemonik memainkan peranan sangat penting. Hegemoni dibakukan melalui banyak
cara dimana pranata rakyat sipil membentuk persepsi tentang realitas sosial.
Bagi Gramsci, hegemoni adalah bentuk kontrol dan kekuasaan yang sangat penting.
Dengan demikian kekuasaan hegemonik lebih merupakan kekuasaan melalui
“persetujuan”, yang mencakup beberapa jenis penerimaan intelektual atau emosional
atas tatanan sosial-politik yang ada. Menurut Femia (1975), gagasan Gramsci
tentang hegemoni menitik-beratkan pada superfisialitas persetujuan di dalam
sistem kapitalis dimana persetujuan itu mencangkup bentuk komitmen aktif maupun
pasif. Persetujuan sebagaimana dikonseptualisasi oleh Gramsci, adalah ungkapan
intelektual dan arah modal melalui mana perasaan massa secara tetap terikat
dengan ideologi dan kepemimpinan politik negara sebagai ungkapan keyakinan dan
aspirasinya. (Femia, 1975, hal. 29-48).
Dalam
menggambarkan bagaimana hegemoni bekerja, Gramsci mengambil contoh dari
demokrasi di Barat: pengguanan hegemoni yang “normal” atas daerah klasik
regim parlementer sekarang bercirikan penggabungan antara kekuatan dan
persetujuan, yang keseimbangan antara satu sama lainnya secara timbal balik,
tanpa kekuatan mendominasi secara luas atas persetujuan. Tentu saja upayanya
selalu dibuat untuk memastikan bahwa kekuatan akan muncul berdasarkan
majoritas. (Gramsci, 1971: 90).
Dalam konteks Dunia Ketiga saat ini,
hegemoni mengambil bentuk dalam konsep Pembangunan. Escobar (1992) berpendapat
bahwa ide Pembangunan berhasil dalam menciptakan keberagaman antagonisme dan
identitas ( kaum petani yang diperbedakan, kaum marginal perkotaan, kelompok
“tradisional”, perempuan dan lain-lain ) yang, dalam banyak contoh,menjadi
subyek perjuangan dalam bidang nya masing-masing (Gramsci, 1971: 60).
Oleh karena itu, bagi Gramsci,
pendidikan, kultur, dan kesadaran adalah daerah perjuangan yang penting.
Sebenarnya konsep hegemoni adalah inti teori perubahan sosial Gramsci, karena
hegemoni adalah bentuk kekuasaan kelompok dominan yang digunakan untuk
membentuk kesadaran kelompok subordinat. Bagaimana hegemoni bekerja, dan
bagaimana ideologi hegemonik dimasukkan ke dalam kesadaran merupakan hal yang
rumit. Tetapi Gramsci seperti sepenuh hati percaya terhadap kuatnya kesadaran
kritis individu, dan dia menolak gagasan determinisme historis ekonomi.
Formulasi Gramsci tetap memakai gagasan kelas buruh sebagai pusat gerakan
revolusioner, tetapi tetap membuka kemungkinan memasukkan kelmpok baru dalam
kategori kelas buruh, menciptakan suatu aliansi antara unsur kelas buruh dengan
kelompok lain, dan menekankan transformasi kesadaran sebagai bagian dari proses
revolusioner.
4.3. TEORI CIVIL
SOCIETY
Sejarah bangsa Indonesia bisa jadi sejarah kehidupan warganya yang hampir
tidak pernah mengenal kebebasan diri warga itu sendiri. Mereka hidup dalam
sangkar budaya feodalisme, cengkeraman kolonialisme dan kemudian kekuasaan
birokrasi negara. Manusia-manusia yang menjadi warga negara Indonesia dalam
sejarahnya hampir selalu hidup dalam suasanan terpasung oleh kekuatan-kekuatan
sekitarnya sehingga hampir tidak pernah mampu dan berkesempatan menikmati
kebebasan sebagai manusia (civil right)
Sejak kolonialisme Belanda selain tidak cukup menyediakan infrastruktur sosial yang memadai
terhadap kemungkinan tumbuhnya institusi sosial sukarela, pluralisme dan
transaksi sosial lintas kultural, juga ada upaya sistematik menghambat munculnya
civil society [3]. Meski setelah politik etis, ada banyak muncul pribumi terdidik, namun
jumlahnya sangat tidak memadai khususnya terhadap gagasan-gagasan politik
kebangsaan Indonesia. Kecuali kesadaran nasionalisme (1928) dan gagasan
nasionalisme generasi kedua (1945) tidak didukung oleh tersedianya forum dan
media yang memungkinkan elemen-elemen manjemuk dalam civil society berinteraksi
dalam kerangka negara bangsa (nation state) yang modern (Sparringa, 2000).
Baru antara 1950-1958 ada indikasi kuat mulai berlangsungnya interaksi
antar elemen-elemen majemuk dalam rakyat dalam ruang publik yang amat dinamis
karena melibatkan proses-proses negosiasi-renegosiasi dan posisi-reposisi di
antara nilai-nilai lokal, partikular dan universal. Perkembangan civil society
tersebut terhambat oleh demokrasi
terpimpin (1959-1965), sebab kompetisi antar aliran idiologi (Islam,
tradisional ortodoks, nasionalis, sosial-demokrat dan komunis) tenggelam[4] oleh besarnya kehendak negara yang
selain mengeliminasi polarisasi dan devisi sosial di rakyat, juga mengarahkan
politik massa ke elitis (Sparringa, 2001).
Walaupun melalui motivasi yang
berbeda, perubahan politiknya selanjutnya memperburuk perkembangan civil
society. Hadirnya rejim Orde Baru telah amat menghancurkan kemungkinan
elemen-elemen penting dalam Civil Society di Indonesia untuk melanjutkan
proses pertumbuhannya. Kebijakan yang amat sistematis yang ditempuh oleh Orde
Baru untuk melakukan depolitisasi politik massa dan politik aliran menggenapkan
kesempurnaan proses-proses politik yang dasar-dasarnya telah diletakkan
sebelumnya oleh pemerintahan kolonial. Orde Baru, dalam pemahaman sosiologis,
merupakan fenomena negara yang amat hegemonik karena amat berhasil
mengintegrasikan elemen-elemen penting civil society ke dalam wilayah negara. Interaksi di antara
elemen-elemen majemuk yang memungkinkan berkembangnya ruang publik bagi
perkembangan sebuah rakyat plural praktis tidak banyak berkembang, bahkan
hancur, karena adopsi cara pandang Orde Baru yang melihat kesempatan semacam
itu lebih mungkin menghasilkan disintegrasi sosial daripada stabilitas
sosial --sebuah paradigma yang kemudian
diketahui amat menyesatkan karena stabilitas sosial yang dibangun dengan cara
meniadakan kemajemukan itu justru menimbulkan komplikasi yang amat serius di
kemudian hari (Sparringa, 2001).
Sebagaimana diketahui dari kesejarahan
bangsa-bangsa yang telah maju dan demokratis, keberadaan civil society
yang kuat merupakan salah satu landasan pokok bagi ditegakkannya sistem politik
demokrasi. Civil society di sini didefinisikan sebagai wilayah kehidupan
sosial yang terorganisasi dengan ciri-ciri kesukarelaan, keswadayaan,
keswasembada an dan kemandirian berhadapan dengan negara. Dengan tumbuh dan
berkembangnya civil society yang kuat maka dimungkinkan pencegahan
terhadap dampak-dampak negatif dari dua kekuatan tersebut sehingga kehidupan
demokratis rakyat tetap terjaga. Dari pihak negara, kemungkinan monopoli atau
dominasinya akan mengakibatkan hilangnya kemandirian pribadi dan merosotnya
karsa-karsa bebas di dalamnya yang sebetulnya sangat penting bagi kehidupan
demokrasi. Dampak negatif dari negara yang
terlalu intervensionis adalah ketergantungan yang sangat tinggi dari
kelompok-kelompok dalam rakyat dan pribadi-pribadi kepadanya (Hikam, 1999).
Namun, dampak negatif dari kekuatan
ekonomi pasar pada masyarakat kapitalistik menyebabkan atomisasi dan pasifikasi
rakyat yang mengakibatkan memudarnya perekat komunitas. Kapitalisme yang pada
intinya menuntut individu dibebaskan sepenuhnya agar dapat mencari kepuasaan,
pada gilirannya mendorong terjadinya kompetisi yang tidak sehat di dalam rakyat
serta memungkinkan melebarnya jurang yang memisahkan antara si kaya dan si
miskin. Sistem politik yang mengabaikan kenyataan seperti ini dan tidak mampu
melakukan pengawasan atasnya, kendatipun di luar tampak demokratis tetapi di
dalam sejatinya mengidap penyakit kronis yaitu alienasi kaum lapis bawah dan
kelangkaan partisipasi yang murni dari mereka.
Karena itu, untuk mengurangi dan
mengantisipasi ekses-ekses tersebut civil society menjadi penting. Ia
dapat menjadi benteng yang menolak intervensi negara yang berlebihan melalui
berbagai asosiasi, organisasi dan pengelompokan bebas di dalam rakyat serta
keberadaan ruang-ruang publik yang bebas (the free public sphare).
Melalui kelompok-kelompok mandiri itulah rakyat dapat memperkuat posisinya vis-Ã -vis
negara dan melakukan transaksi-transaksi wacana sesamanya. Sedangkan melalui
ruang publik bebas, rakyat sebagai warga negara yang berdaulat (baik individu maupun kelompok) dapat melakukan pengawasan
dan kontrol terhadap negara. Pers dan forum-forum diskusi bebas yang dilakukan
para cendekiawan, mahasiswa, pemimpin agama, dan sebagainya ikut berfungsi
sebagai pengontrol kiprah negara.
Dalam pada itu, civil society
yang didalamnya bermuatan nilai-nilai moral tertentu, akan dapat membentengi
rakyat dari gempuran sistem ekonomi pasar. Nilai-nilai itu adalah kebersamaan,
kepercayaan, tanggung jawab, toleransi, kesamarataan, kemandirian dan
seterusnya. Dengan masih kuatnya nilai
kepercayaan dan tanggung jawab publik, misalnya, maka akan dapat
dikekang sikap keserakahan individual yang dicoba untuk dikembangkan oleh
sistem ekonomi pasar melalui konsumerisme. Dengan diperkuatnya nilai toleransi
dan kesamarataan, maka akan dapat dikontrol kehendak eksploitatif yang menjadi motor kapitalisme.
Civil society baik pada tataran
institusional maupun nilai ideal menjadi landasan kuat bagi bangunan demokrasi
partisipatoris dan substantif, bukan hanya demokrasi prosedural dan formal
belaka. Civil society yang kuat akan mampu mendorong proses politik
bukan sebatas ritual atau rutinitas yang hampa makna, karena ia bukan selalu
mempertanyakan substansi dari setiap proses. Civil society juga akan
mendorong terciptanya sistem ekonomi yang peka terhadap distibusi bukan hanya
pertumbuhan, kesejahteraan umum bukan kesejahteraan perseorangan atau kelompok
tertentu, kelestarian bukan kehancuran ekosistem, dan tanggap terhadap
pengembangan si lemah ketimbang hanya mendukung pengembangan si
kuat.
Keberadaan civil society di
dalam rakyat modern tentu tak lepas dari hadirnya komponen-komponen struktural
dan kultural inheren di dalamnya. Komponen
pertama termasuk terbentuknya negara yang yang berdaulat, berkembangnya
ekonomi pasar, tersedianya ruang-ruang publik bebas, tumbuh dan berkembangnya
kelas menengah, dan keberadaan organisasi-organisasi kepentingan dalam rakyat.
Pada saat yang sama, civil society akan berkembang dan menjadi kuat
apabila komponen-komponen kultural yang menjadi landasannya juga kuat. Komponen
tersebut adalah pengakuan terhadap HAM dan perlindungan atasnya , khususnya hak
berbicara dan berorganisasi, siakp toleran antar individu dan kelompok dalam
rakyat, adanya tingkat kepercayaan publik (publik trust) yang tinggi
terhadap pranata-pranata sosial dan politik, serta kuatnya komitmen terhadap
kemandirian pribadi dan kelompok.
Jika kita melihat kondisi di negeri
kita, maka jelas kedua komponen tersebut sudah ada walaupun tidak setara,
pertumbuhan dan perkembangannya, bahkan terdapat komponen–komponen yang
mengalami hambatan. Misalnya, pertumbuhan negara dan ekonomi pasar yang sudah
begitu pesat tetapi pada saat yang sama ruang publik bebas yang masih lemah.
Pada tataran kultural, sejatinya telah memiliki landasan yang kuat. Pengakuan
atas pentingnya perlindungan ha-hak dasar secara eksplisit telah termaktub
dalam konstitusi. Begitu pula dengan berbagai ajaran agama-agama yang dipeluk
oleh bangsa Indonesia dan tradisi-tradisi yang dipraktekkan dalam hal toleransi
dan penghormatan terhadap kemajemukan.
Persoalan pemberdayaan civil
society di indonesia antara lain adalah bagaimana mempetakan secara
gamblang elemen-elemen mana yang harus ditunjang, baik pada tataran struktural
maupun kultural. Dalam hal pemberdayaan elemen struktural, perlu memulainya
dari pemahaman akan kekuatan dan kelemahan sruktur yang mendasari proses
perubahan melalui pembangunan dan modernisasi. Sementara itu pemberdayaan
elemen kultural berarti melakukan penemuan kembali (recovery) dan
penafsiran ulang (reinterpretation) terhadap khazanah nilai-nilai dan
tradisi milik rakyat serta melakukan pengambilan khazanah kultural dari luar
yang relevan sesuai dengan keperluan.
Strategi pemberdayaan civil society di Indonesia, menurut Hikam,
(1999) dapat dikembangkan melalui beberapa tahapan. Tahap Pertama adalah
pemetaan atau identifikasi permasalahan dasar menyangkut perkembangan civil
social, khususnya kelompok-kelompok strategis di dalamnya yang harus
mendapat prioritas. Pada tahap ini diupayakan penelitian atau kajian yang
begitu mendalam baik secara umum maupun khusus terhadap potensi yang ada dalam
rakyat untuk menumbuh-kembangkan civil society. Umpamanya pemetaan
terhadap segmen-segmen kelas menengah yang dianggap menjadi basis bagi
tumbuhnya civil society berikut organisasi di dalamnya. Kajian dan
penelitian semacam ini sangat penting agar dapat dengan segera dilakukan proses
recovery dan penetaan kembali setelah munculnya kesempatan karena
jatuhnya rezim otoriter di bawah Soeharto
Tahap Kedua, adalah menggerakkan potensi-potensi yang telah
ditemukan tersebut sesuai dengan bidang atau garapan masing-masing. Misalnya
bagaimana menggerakkan komunitas pesantren di wilayah-wilayah pedesaan agar
mereka dapat ikut memperkuat basis ekonomi dan sosial di lapisan bawah. Dalam
tahapan ini, jelas harus terjadi reorientasi dalam model pembangunan sehingga
proses penggerakan sumber daya di lapisan bawah tidak lagi berupa eksploitasi
karena pola top-down. Justru dalam tahapan ini sekaligus diusahakan
untuk menghidupkan dan mengaktifkan keswadayaan rakyat yang selama ini
terbungkam. Pendekatan-pendekatan partisipatoris harus dipakai dan dalam hal
ini bantuan dari lembaga –lembaga swadaya masyrakat (LSM) menjadi sangat
krusial. Tentu saja, LSM yang dimaksud disini bukanlah LSM yang hanya
berorientasi kepada program saja tetapi juga pada pemberdayaan.
Pada tingkat kelas menengah, tahapan
kedua ini diarahkan kepada penumbuhan kembali jiwa enterpreneur yang
sejati sehingga akan muncul sebuah kelas menengah yang mandiri dan tangguh.
Potensi demikian sudah cukup besar dengan semakin bertambah banyaknya generasi
muda yang berpendidikan tinggi dan berpengalaman dalam bisnis yang berlingkup
global.
Sementara itu, untuk memacu transformasi sosial menuju civil society
menurut Zald dan McCharty dalam bukunya Social Movements in a
Organizational Society (1987) dan Tarrow Struggle, Politics and Reforms
(1990) adalah melalui kependidikan terhadap organisasi gerakan sosial. Istilah
organisasi sosial didefinisikan sebagai kelompok yang memiliki kesadaran diri
yang bertindak in concerto untuk mengungkapkan apa yang dilihatnya
sebagai klaim-klaim penentang dengan kelompok elit, penguasa, atau kelompok
lain dengan klaim-klaim tersebut.
Namun, berbeda dengan konsep tersebut,
Smelser dalam bukunya Theory of
Collective Behaviour (1962) mendefinisikasn gerakan sosial sebagai
perilaku kolektif dimana rakyat ikut serta dalam usaha memperbaiki dan menyusun
kembali struktur sosial yang telah rusak. Demikian halnya dengan Mcphail
(sebagaimana dikutip Faqih, 1996) pada makalah yang berjudul “Toward Theory
of Collecitve Behaviour” yang pernah dipresentasikan dalam Simposium
tentang Interaksi Simbolik mengemukakan bahwa gerakan sosial adalah perilaku
kolektif yang berlangsung spontan dari pada direncanakan, tidak berstruktur
ketimbang diorganisasi, lebih emosional dari pada rasional dan menyebar dengan
kasar, lebih sebagai bentuk komunikasi yang paling dasar seperti reaksi yang
tidak berujung pangkal, rumor, imitasi, penyakit sosial dan keyakinan yang
digeneralisir dari pada jaringan komunikasi formal dan informal yang telah
dibentuk sebelumnya. Dalam buku ini, gerakan sosial justru dilihat sebaliknya,
yaitu sebagai gerakan yang diorganisir dengan tujuan, strategi dan metodologi yang
diformulasikan secara jelas dan sadar berdasarkan analisis sosial yang kuat.
Dari perspektif Gramscian, konsep
organisasi gerakan sosial dikategorikan sebagai rakyat sipil yang terorganisir.
Konsep rakyat sipil didasarkan pada analisis Gramsci tentang kepentingan
konfliktual dan dialektika atau kesatuan dalam keberbedaan antara negara dan
rakyat sipil. Dalam satu hal, analisis ini meruapakan bagian penolakannya atas
fokus yang sempit dimana unit analisis adalah kontradiksi dialektis antara buruh
dan kapitalis. Ia menggunakan istilah “negara” (state) dan “rakyat sipil” (civil
society) dalam analisanya tentang supremasi dan hegemoni. Dalam membahas
kaitan antara negara dan rakyat Gramsci (1971, seperti dikutip Faqih, 2000))
mengatakan:
Apa yang dapat kita kerjakan, sejenak, adalah menyediakan
dua “aras” superstruktur, satu yang disebut “rakyat sipil”, yakni ensemble
organisme yang biasanya disebut “privat”, dan aras yang lain yaitu “ rakyat
politik” atau “negara. Dua aras ini pada satu sisi dapat berhubungan dengan
fungsi hegemoni dimana kelomok dominan menjalankan seluruh rakyat dan di sisi
lain berhubungan dengan “dominasi langsung” atau perintah yang dijalankan
melalui negara dan pemerintahan “juridis”.
Mayarakat sipil berbeda dengan negara atau rakyat politik, adalah lingkup privat atau individu. Rakyat
sipil terdiri dari berbagai bentuk organisasi voluntir, dan merupakan dunia
politik utama, dimana semuanya itu berada dalam aktivitas ideologis dan intelektual
yang dinamis maupun konstruksi hegemoni. Selain itu, bagi Gramsci, rakyat sipil
adalah konteks di mana seseorang menjadi sadar, dan dimana seseorang pertama
kali ikut serta dalam aksi politik. Dengan demikian sipil adalah suatu agregasi
atau percampuran kepentingan, dimana kepentingan sempit ditransformasi menjadi
pandangan yang lebih universal sebagai ideologi dan dipakai atau diubah, bagi
Gramsci rakyat sipil adalah suatu dunia dimana rakyat membuat perubahan dan
menciptakan sejarah (Gramsci, 1971).
Dengan menggunakan konsep rakyat sipil model Gramscian ini bisa
dipergunakan untuk menganalisis keberadaan organisasi gerakan sosial,
mengonstruksi cara alternatif untuk melihat topologi gerakan sosial dan
organisasinya, termasuk didalamnya keberadaann LSM dalam suatu gerakan rakyat
dalam mengkonstruksi pembangunan. Sebab, pembangunan dianggap sebagai bentuk
baru hegemoni dominan di Dunia Ketiga. Guna membentuk hegemoni baru bekerja
dalam konteks Dunia Ketiga, tidak dapat dihindarkan untuk melihat diskursus
pembangunan secara sungguh-sungguh. Metodologi
Gramscian ini juga bisa dimanfaatkan secara kritis menganalisis posisi idelogis
dan politik LSM serta membuat peta untuk menempatkan gerakan LSM dan organisasi
gerakan sosial lainnya ke dalam dialektika antara rakyat sipil dan negara
menurut perspektif Gramscian. Dalam hal ini secara kritis menelaah peran
organisasi gerakan sosial dalam hubungannya dengan diskursus pembangunan, yaitu
apakah mereka harus dianggap sebagai bagian hegemoni pembangunan atau
tandingannya. Dngan demikian bisa konstruksi bahwa teori organisasi gerakan
sosial sebagai gerakan sosial kontra-hegemonik (Faqih, 2000).
Jika transformasi diartikan sebagai
proses penciptaan hubungan secara fundamental baru dan lebih baik maka rakyat
sipil bagi transformasi sosial berarti suatu proses perubahan oleh rakyat.
Dalam studi ini peran organisasi gerakan sosial Indonesia, ditempatkan dalam
proses transformasi. Dalam konteks hegemoni Modernisasi dan Developmentalisme,
sebetulnya penelitian ini juga mencoba memperhitungkan peran organisasi gerakan
sosial dalam melawan diskursus modernisasi dan pembangunan. Dari titik pangkal
ini terlihat peran kependidikan organisasi gerakan sosial dalam melawan
diskursus pembangunan. Tugas kependidikan utama dari organisasi gerakan sosial
akan bertindak sebagai gerakan kontra-diskursus.
Ada beberapa alasan mengapa organisasi
gerakan sosial adalah sarana yang tepat bagi gerakan kontra-diskursus dan
kontra-hegemonik. Organisasi gerakan sosial—yang dalam banyak kasus dimotori
LSM-- adalah organisasi yang mengajukan perubahan radikal pada aras akar
rumput. Para aktifis LSM juga mengklaim memberdayakan rakyat untuk mengontrol
dan menggunakan pengetahuannya sendiri. Kemungkinan organisasi gerakan sosial
menjadi gerakan kontra-hegemonik maupun gerakan kontra diskursus tergantung
pada komitmen aktifis gerakan sosial pada rakyat. Hal ini penting untuk melihat
bagaimana aktivis bekerja bersama-sama rakyat menciptakan paradigma dan
ideologinya sendiri maupun diskursus alternatif bagi transformasi sosial.
Untuk itu, perlu kajian tentang peran kelompok inti sebagai aktivis LSM
dalam proses transformasi sosial, komitmen kelompok studi LSM untuk menciptakan
ideologi yang lebih baik, teori dan solusi alternatif bagi masalah yang
diupayakan pemecahannya, maupun diskursus dan metodologi alternatif bagi
transformasi sosial. Selain ituperlu juga diperhatikan mengenai bagaimana
sekelompok aktivis LSM menciptakan ruang yang memungkinkan memunculkan
kesadaran kritis baik pada kalangan aktifis LSM sendiri maupun pada rakyat.
Memahami
landasan teoritis peran kependidikan organisasi gerakan sosial bermanfaat untuk
memahami bahwa teori pendidikan kritis dapat juga dikelompokkan sebagai teori
produksi dalam pendidikan. Teori produksi pendidikan yang juga sering disebut
dengan Teori Perlawanan adalah
teori yang memusatkan perhatian pada cara-cara dimana perlawanan termasuk
didalam proses pendidikan yang
menghasilkan pengertian dan kultur melalui perlawanannya maupun melalui
kesadaran kolektif dan individunya sendiri (Faqih, 1996). Teori yang
dikembangkan Paulo Freire dan Gramsci adalah termasuk dalam katagori teori
produksi ini. Tema utama teori produksi Freire
adalah peningkatan kesadaran kritis dimana manusia merupakan pusat dari
pendidikannya untuk perubahan. Peningkatan kesadaran kritis adalah proses
dimana peserta pendidikan mencapai tingkat kesadaran yang memungkinnya
memandang sistem dan struktur sosial yang kritis (Smith, 1976 sebagaimana
dikutip Faqih, 1999).
Dalam sebuah diskusi yang berlangsung
empat tahun lalu di Jakarta, beberapa penilaian bermunculan tentang istilah
tersebut: “konsep civil society berasal dari Barat,” “tidak perlu ada
dikotomi antara sipil dengan militer”,”tradisi kita belum mengenal apa yang
disebut civil culture,” dan bahwa pembicaraan tentang civil society ini
tampaknya lebih bersifat teoritis dan banyak sekali data empirisnya tidak ada.”1
Konsep atau teori tentang civil
society lebih merupakan persoalan modern. Konsep itu sebenarnya baru tumbuh
dan mengikuti perkembangan dari negara-negara modern. Karena itu studi
strategis untuk mengetahui lahirnya civil society harus dilihat
berdasarkan proses evolusi dan pertumbuhan negara (Ali, 1991). “Sementara itu,
dalam pandangan M. Syafi’i Anwar: “Untuk konteks Indonesia, saya ragu apakah
kebudayaan kita sudah mampu mengabsorb atau menerima dan memahami civil
society… Daniel [Dhakidae] bahwa hanya di Barat-lah konsep negara itu
tumbuh dan berkembang …Karena itu pembicaraan tentang civil society ini
tampaknya lebih bersifat teoritis dan data empirisnya tidak ada. . Ketika
konsep ini dicoba untuk dibumikan di Indonesia, ia segera dihadapkan oleh
hambatan kultural maupun konstitusional.”Lihat tanggapan dan komentar Fachri
Ali dan M. Syafi’I Anear ini dalam Laporan Seminar Mencari Konsep dan
KeberadaanCivil-Society di Indonesia, tidak diterbitkan, Jakarta, CESDA-LP3ES,
20September 1994, hlm.21-25.
http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id/
[1] Apakah pembangunan benar-benar merupakan jawaban untuk memecahkan masalah-masalah bagi
rakyat kebanyakan, atau semata-mata merupakan alat untuk menyembunyikan
penyakit sebenarnya yang lebih mendasar. Bagi penganut teori perubahan sosial
mainstream, teori perubahan sosial dominan
ini dianggap menjanjikan harapan. Namun banyak para pakar ilmu sosial secara
kritis meneliti dampak pembangunan, dan banyak penulis menganggap bahwa ide
pembangunan justru telah menciptakan kesengsaraan ketimbang memecahlan masalah
yang dihadapi rakyat Dunia Ketiga
[2] Menurut Gerzt, masyarakat Jawa, dibawah tekanan penduduk yang terus
bertambah sementara sumber daya (tanah) tetap, masyarakat desa Jawa tidak
terbelah menjadi dua yakni tuan tanah dan tuna kisma; melainkan tetap
mempertahankan homogenitas sosial-ekonominya dsengan cara membagi-bagi
“kue-ekonomi” yang ada, sehingga bagian yang diperoleh masing-masing makin lama
makin kecil. Fenomena inilah
yang kemudian disebut dengan pemerataan kemiskinan (sharred poverrty)
[3] Hal ini misalnya dapat dilihat dari
adanya pembedaan pekerjaan dan pemukiman berdasarkan ras dan etnis antara
Kolonial, Arab, Cina dan pribumi.
[4] Persaingan antar aliran ideologi dicegah
untuk berkembang melalui pengenalan kembali pada gagasan-gagasan nasionalisme
awal republik yang amat diwarnai oleh interpretasi Soekarno yang sampai
batas-batas tertentu merupakan usaha sinkretisme atas aliran-aliran ideologi
tersebut.
1 Menurut Fahri Ali: “… Konsep atau teori tentang civil
society lebih merupakan persoalan modern. Konsep itu sebenarnya baru tumbuh
dan mengikuti perkembangan dari negara-negara modern. Karena itu studi
strategis untuk mengetahui lahirnya civil society harus dilihat
berdasarkan proses evolusi dan pertumbuhan negara. Ada kesan bahwa kita lebih
banyak mencari persoalan tentang dasar-dasar pemikirran civil society
pada masyarakat kita, khususnya kekayaan tradisi, dan sebagainya.Saya setuju
apa yang dikemukakan oleh Daniel [Dhakidae] bahwa hanya di Barat-lah konsep
negara itu tumbuh dan berkembang …Karena itu pembicaraan tentang civil
society ini tampaknya lebih bersifat teoritis dan banyak sekali data
empirisnya tidak ada. “Sementara itu, dalam pandangan M. Syafi’I Anwar: “Untuk
konteks Indonesia, saya ragu apakah kebudayaan kita sudah mampu mengabsorb atau
menerima dan memahami civil society…Saya setuju dengan Fachri Ali yang
menyatakan bahwa konsep civil society berasal dari Barat. Dan, ketika
konsep ini dicoba untuk dibumikan di Indonesia, ia segera dihadapkan oleh
hambatan kultural maupun konstitusional.”Lihat tanggapan dan komentar Fachri
Ali dan M. Syafi’I Anear ini dalam Laporan Seminar Mencari Konsep dan
KeberadaanCivil-Society di Indonesia, tidak diterbitkan, Jakarta, CESDA-LP3ES,
20September 1994, hlm.21-25.
No comments:
Post a Comment