Translate

Wednesday, March 25, 2015

Gerakan Sosial dan Perubahan Sosial



 Gerakan Sosial dan Perubahan Sosial
Mustain mashud
Untuk melihat dinamika perlawanan rakyat diperlukan  landasan teoritis dan praktis bagi peran rakyat sipil terorganisir (organized civil society) dalam transformasi sosial dalam konteks Dunia Ketiga. Transformasi sosial didefinisikan sebagai penciptaan hubungan ekonomi, politik,  kultural dan lingkungan yang secara mendasar baru dan lebih baik. Dalam hal ini transformasi sosial dianggap sebagai salah satu model atau bentuk alternatif tentang perubahan sosial yang merupakan tujuan utama dari gerakan sosial. Dalam konteks Dunia Ketiga, studi tentang gerakan sosial dan transformasi sosial tidak bisa dipisahkan dari masalah pembangunan (Bonner, 1990).
Oleh karena itu studi mengenai transformasi sosial juga dimaksudkan untuk mencari alternatif terhadap gagasan “pembangunan” yang selama dua dasawarsa ini telah menjadi “agama sekuler baru” bagi berjuta-juta rakyat di negeri Dunia Ketiga. Pada dasarnya pembangunan diterima oleh birokrat, akademisi maupun aktivis LSM tanpa mempertanyakan landasan ideologis maupun diskursusnya. Namun, pertanyaan terhadap ide pembangunan bukanlah semata-mata mengenai soal metodologi ataupun soal  pendekatan   serta teknik pelaksanaan pembangunan Tetapi yang perlu dipertanyakan secara teoritis justru pembangunan itu sendiri dianggap sebagai suatu gagasan yang kontroversial[1] (Faqih, 1996:29).
Gerakan sosial yang terjadi di Dunia ketiga seringkali berkaitan secara tidak langsung dengan pendekatan perubahan sosial yang dominan (mainstream approach), yakni perubahan sosial yang direkayasa oleh negara, melalui apa yang disebut sebagai pembanguan (Development). Pada umumnya pelbagai studi tersebut dimaksudkan memahami watak perlawanan dan kritik terhadap modernisasi, yaitu suatu skenario yang diasumsikan dan dirancang untuk membawa kemajuan dan kemakmuran di Dunia Ketiga. Namun pembangunan dipandang rakyat ternyata justru sebagai penyebab kemacetan ekonomi, krisis ekologis, serta berbagai kesengsaraaan rakyat di Dunia Ketiga.
Pertumbuhan Jumlah organisasi gerakan sosial di Dunia Ketiga khususnya LSM di Indonesia, tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan sejarah diskursus pembangunan. Keberaaan LSM dan organisasi sosial di Indonesia senantiasa berkaitan dengan masalah-masalah pembangunan. Sehingga di banyak negara Dunia Ketiga istilah LSM/NGO selalu berkonotasi organisasi “pembangunan” non pemerintah (Fakih, 1996).
Konflik antara rakyat (petani) dan perkebunan PTP XII secara langsung berarti juga masuknya sistem ekonomi kapitalis ke masyarakat yang berbasis pertanian. Masuknya sistem ekonomi kapitalis ini juga berarti mulai diperkenal kannya sistem ekonomi uang. Sistem ekonomi kapitalis dan moneterisasi yang dibawa masuk perkebunan ke masyarakat pertanian telah banyak mempengaruhi pola hubungan sosial dari komunalisme ke pola hubungan rasional, seperti terlihat dari cara persewan tanah memberikan buruh secara upahan dengan uang tunai (fress money) yang semuanya itu lebih mengedepankan petimbangan-pertimbangan legal-formal.
Diintroduksinya sistem ekonomi perkebunan yang kapitalistik ke kehidupan rakyat petani telah menyebabkan terjadinya perubahan sosial yang mendasar. Misalnya, munculnya stratifikasi sosial baru, yaitu pengusaha sebagai kelompok minoritas elit ekonomi-politik dan kelompok buruh (pekerja)/penduduk pribumi. Mereka terbentuk dalam status ikatan sosial yang didasarkan pada ikatan ketergantungan antara majikan dan pekerja sebagai ikatan patron-klien (Kusbandriyo, 1996).
Pihak perkebunan telah mendayagunakan sistem ekonomi modern yang kapitalistik sementara pada saat yang sama rakyat tetap dengan sistem ekonomi pertanian yang tradisional. Maka, terbangunlah – sebagaimana dikemukakan Booke-- dualisme ekonomi. Dualisme ekonomi ini, menurut Paige (1975) dalam bukunya Agrarian Revolution: Social Movement and Export Agriculture in the Undedevelopment World, mengakibatkan rendahnya subsistensi petani penggarap dan kemudian berdampak pada perbedaan-perbedaan konsep secara mendasar antara pihak perkebunan dan rakyat dalam memandang masalah status tanah dan pengusahaannya. Dalam sejarah perkebunan yang bersifat kontraktual dan kapitalistik selain amat jarang terjadi kepentingan petani diperhatikan sebagaimana semestinya, para petani juga diposisikan sangat rendah (Lanberger, sebagaimana dikutip Kusbandrijo, 1996). Menurut Paige (1975), tuntutan ekonomi komersial untuk mengejar keuntungan cenderung untuk menguasai sebanyak mungkin surplus keuntungan dari pada berbagi keuntungan dengan petani atau buruh tani.
Perbedaan kepentingan  ini sangat rentan terhadap militansi dan radikalisme petani, baik yang diam-diam maupun terbuka yang merupakan bentuk mekanisme survival petani untuk mempertahankan kehidupannya sekaligus menuntut keadilan. Menurut Lanberger (1981) berbagai tekanan yang dilakukan oleh perkebunan yang menggunakan model ekonomi kapitalistik tersebut memposisikan rakyat petani sebagai klas masyarakat pinggiran, marjinal dan inferior yang dalam prosesnya menjadikan sikap mereka  gampang bereaksi secara kolektif. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Scott (1993) bahwa  posisi petani yang terpojokkan akan dengan gampangnya melakukan pembrontakan secara kolektif.
Ketika ekspansi statis mencapai puncaknya karena keterbatasan lahan, maka strategi untuk memelihara homogenitas sosial diarahkan pada dinamika internal komunitas sebagaimana dikemukakan Gerzt[2]. Di tengah proses berbagi kemiskinan ini sesungguhnya mulai berkembang adanya pelapisan sosial berdasarkan penguasaan tanah juga mulai kelihatan kata Prof Sayogjo dalam Kata Pengantarnya dalam bukunya Gerzt. Seiring dengan itu, juga tengah berlangsung adanya perbedaan akses atas penguasaan tanah main dominan menjadi dasar differensiasi sosial (Kano, 1984), bahkan konflik di pedesaan kemudian seringkali berpangkal pada masalah penguasaan tanah (Lyon, 1984).
Dominasi barat dan perubahan yang menyertainya menyebabkan goyahnya tatanan masyarakat tradisional beserta nilai-nilai tradisinya. Kondisi demikian menjadi ladang sumber bagi munculnya gerakan sosial. Karena itu, gerakan sosial acapkali merupakan ledakan ketegangan pertentangan dan permusuhan dalam masyarakat. Sebagai aktifitas kolektif gerakan sosial bertujuan untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang dicita-citakan dalam (setidaknya) menolak suatu perubahan yang seringkali dilakukan dengan jalan radikal. (Sartono, 1987: 151-152).
Selain berupa radikalisasi, bentuk perlawanan rakyat juga bis dilakukan dengan perlawanan terselubung atau pembangkangan-pembangkangan (Siahaan, 1997). Termasuk pembangkangan di sini adalah penipuan, pemalsuan, kebodohan yang dibuat-buat, pembelotan, pencurian kecil-kecilan, penyerangan, pelanggaran, pembakaran rumah dengan sengaja, penyelundupan dan pembunuhan secara diam-diam. Tindakan ini dilakukan sebagai alternatif untuk menentang secara terang-terangan  dan atau terlalu riskan untuk mengadakan tantangan terbuka ( Scott, 1989).

4.2. TEORI GERAKAN SOSIAL
Setiap gerakan sosial mempunyai ciri hampir sama yakni kemampuan partisipasinya untuk membangkitkan  rasa rela berkorban, kecenderungan bertindak secara kompak, fanatis, kebencian, antusiasme, intoleransi dan kesetiaan tunggal. Peserta gerakan sosial adalah orang-orang yang kecewa dan tidak puas (Eric Hoffer, 1988). Dalam kondisi demikian telah terjadi depriviasi relatif, yaitu ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan yang dihadapi (Sylvia, 1984).
Studi tentang gerakan sosial dapat dianalisis dengan menggunakan dua perpesktif teori sosiologi: (1) perspektif struktural fungsional dan (2) perspektif struktural konflik Perspektif pertama terdiri dari pelbagai teori yang cenderung melihat gerakan sosial sebagai masalah, atau sebagai gejala penyakit masalah kerakyatan. Herbele (1951), dalam bukunya Social Movement : An Introduction to Political Sociology, mengkonsepkan bahwa gerakan sosial pada dasarnya adalah bentuk perilaku politik kolektif non-kelembagaan yang secara potensial berbahaya karena mengancam stabilitas cara hidup yang mapan. Sementara itu, Sosiolog lainnya, misalnya Fruer (1969), cenderung melihat gerakan sosial sebagai “Konflik generasi”.
Lipset (1967) dengan analisis sosiologisnya menganggap bahwa gerakan sosial merupakan bagian generasi baru yang memperjuangkan pengakuan, dan perlunya menentang orang tua mereka dan “kemapanan” yang tidak memberi pengakuan kepada mereka. Sementara itu Maslow (1962) mencoba menggabungkan analisis psikologis dan struktural. Ia melihat gerakan mahasiswa dan gerakan sosial lainnya sebagai mewakili suatu generasi baru dengan kebutuhan yang lebih tinggi yang, tepatnya karena mereka muncul dalam kesenangan kelas menengah, berada dalam posisi mencari nilai-nilai pascamateri, berkaitan dengan tujuan pemenuhan kebutuhan diri (sendiri) dan tujuan yang lebih altruistik yang berhubungan dengan kualitas hidup. Akhirnya, Keniston (1965) menganggap gerakan mahasiswa sebagai anggota kelas menengah yang teralienansi.
         Berbagai teori mengenai gerakan sosial tersebut berakar dan dipengaruhi oleh teori sosiologi dominan, fungsionalisme. Fungsionalisme seringkali juga disebut sebagai “fungsionalisme struktural” karena penekanannya pada keperluan, atau “kebutuhan” sistem sosial fungsional yang harus dipernuhinya ileh bagoan-bagiannya sebagai upaya untuk mempertahankan kelangsungan dan struktur yang ada. Fungsionalisme melihat rakyat dan pranata sosial sebagai sistem dimana seluruh bagiannya saling bergantung satu sama lain dan bekerja bersama guna menciptakan keseimbangan. Dengan demikian keseimbangan merupakan unsur kunci dalam fungsionalisme. Salah satu proposisi terpenting fungsionalisme adalah, akan selalu ada reorganisasi dikarenakan kebutuhan memperbaiki keseimbangan. Dalam menganalisis bagaimana sistem sosial mempertahankan dan memperbaiki keseimbangan, mereka condong menggunakan nilai-nilai yang dimiliki atau standar sifat yang diterima secara umum sebagai konsep sentral. Fungsionalisme menekankan kesatuan rakyat dan apa yang dimiliki bersama oleh anggotanya. Itulah sebabnya maka penganut fungsionalisme condong melihat gerakan sosial sebagai negatif, yakni menimbulkan konflik yang akan mengganggu harmoni rakyat.
Meskipun fungsionalisme sebagai aliran pemikiran mengklaim sebagai teori perubahan, tetapi kalau dilihat asumsi dasarnya maka sesungguhnya fungsionalisme bersandar kepada gagasan status quo. Oleh sebab itu fungsionalisme lebih merupakan teori stabilitas sosial dan konsensus normatif. Doktrin ini dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa rakyat adalah bagian dari suatu sistem yang saling bergantung dan berkesesuaian satu sama lain, atau sekurang-kurangnya dalam proses saling penyesuaian diri kembali secara terus-menerus. Dengan alasan ini, fungionalisme melihat konflik sebagai sesuatu yang harus dihindari. Talcott Parsons, yang dikenal sebagai bapak fungsionalisme, dalam berbagai karya awalnya tentang perubahan sosial dengan jelas menekankan perlunya keseimbangan. Ia menyetujui perubahan di dalam sistem, dan bukan perubahan sistem sosial. Sesungguhnya gagasan Parsons adalah tentang perubahan yang bersifat perlahan-lahan dan teratur yang senantiasa menyeimbangkan kembali (re-equibrium), dan hal ini menghasilkan suatu keadaan semacam keseimbangan, meknisme penguasaan, ketegangan dan kekacauan ketika membahas konflik dan perubahan.
          Perspektif kedua melihat gerakan sosial sebagai sesuatu yang baik dan karena, positif dan konstruktif bagi perubahan sosial. Perspektif teori Konflik ini dibangun dengan berdasar pada tiga asumsi dasar. Pertama, setiap individu dalam masyarakat akan selalu berusaha untuk memenuhi apa yang mnjadi kebutuhannya. Kedua, kekuasaan dipandang sebagai inti dari struktur sosial sehingga setiap orang akan saling berusaha mendapatkannya. Ketiga,  nilai dan gagasan dipandang sebagai instrumen konflik yang digunakan antar kelompok kepentingan untuk mencapai tujuan masing-masing dari pada sebagai instrumen untuk mempertahankan identitas dan mempersatukan (tujuan) rakyat.
         Teori konflik mulanya berakar dalam Marxisme tradisional yang didasarkan pada asumsi bahwa revolusi adalah suatu kebutuhan. Sebab, kondisi masyarakat (proletar) telah semakin memburuk terutama dalam hubungan produksi yang memunculkan masa krisis ekonomi, depresi dan kehancuran. Namun dalam perkembangannya, cara berpikir Marxisme tradisional ini banyak dikritik oleh  generasi baru marxis seperti golongan Kiri baru (New Left), maupun dari teoritisi non-Marxian terhadap Marxisme yang mekanistik tersebut. Kaum Kiri Baru mengajukan analisis alternatif yang menekankan perhatian kepada peran manusia sebagai agen, termasuk ideologi, kesadaran kritis dan pendidikan, dalam mentrasformasikan krisis ekonomi menjadi krisis umum. Mereka menolak gagasan bahwa perekonomian adalah sesuatu yang esensial dan faktor menentukan bagi perubahan sosial. Mereka juga menolak gagasan determinisme historis yang mengagungkan manusia sebagai faktor penting di antara banyak faktor lainnya yang saling bergantung secara dialektis. Pendekatan ini dipengaruhi oleh Antonio Gramsci dan teoritisi kiri lain (Eyerman dan Jamison, 1991; Epstein, 1991).
         Teori baru yang diajukan para pengritik Marxisme tradisional didasarkan pada argumen bahwa gerakan sosial yang terjadi pada tahun 1970-an dan 1980-an bukanlah perjuangan kelas dalam pengertian sebagaimana didefinisikan Marxisme tradisional. Gerakan anarkisme, gerakan spiritualitas, gerakan feminisme, gerakan hak azasi manusia dan hak-hak sipil, gerakan anti perang dan anti nuklir, gerakan sosial berbasis komunitas dan gerakan pecinta lingkungan (environmentalist) serta gerakan LSM maupun berbagai gerakan sosial lainnya adalah sebagian gerakan yang tidak berkaitan secara langsung dengan perjuangan kelas dari kelas buruh. Dengan demikian para teoritisi tersebut merumuskan kerangka kerja yang memandang gerakan sebagai sesuatu yang berkaitan antar kelompok atau kepentingan sosial lain sambil melekatkan proses kerakyatan yang lebih luas (Mallet,1976; Gorz,1967). Touraine (1971) juga menegaskan bahwa dalam gerakan rakyat pascaindustri, gerakan kelas buruh atau gerakan serikat buruh tidak berada lagi di pusat konflik rakyat. Touraine menyatakan bahwa “kelas buruh bukan lagi pelaku sejarah yang istimewa, bukan karena gerakan   buruh karena lemah atau tunduk kepada strategi partai politik tertentu; tetapi lebih dikarenakan penggunaan kekuasaan di dalam perusahaan kapitalis tidak lagi menempatkan seseorang pada pusat sistem ekonomi dan konflik sosialnya”(Touraine, 1971).                                                                                                                                                                                                                                 
Ada konsensus umum yang muncul di kalangan mereka yang tertarik mengamati gerakan sosial, termasuk kaum Marxis sendiri, bahwa kaum proletar industri di negara-negara kapitalis maju bukan lagi merupakan kekuatan revolusioner yang potensial untuk perubahan sosial. Gagasan perubahan sosial mereka tidak lagi memperhatikan revolusi kelas buruh, atau bahkan kelas buruh secara keseluruhan. Escobar dan Alvarez (1992) dalam pengamatannya terhadap gerakan sosial di negara-negara Dunia Ketiga Kontemporer juga menemukan bahwa gerakan sosial itu beralih dari perjuangan kelas ekonomi yang terbatas ke transformasi sosial yang lebih luas.
           Escobar dan alvarez selanjutnya berpendapat bahwa teori-teori baru tentang gerakan sosial justru melihat gerakan sosial sebagai usaha untuk menghasilkan transformasi mendasar dalam hakikat praktik politik maupun teori tentang gerakan sosial itu sendiri. Mereka juga menjelaskan bahwa salah satu ciri gerakan sosial baru adalah penolakannya atas analisis sosial yang didasarkan kepada pembagian ruang politik menjadi dua kubu yang saling bertentangan secara tegas ( borjuis dan proletar). Dalam situasi baru, keberagaman aktor sosial memapankan kehadiran ruang automi mereka dalam lingkungan sosial dan politik yang terfragmentasi . Berdasarkan analisis dan pengamatan mereka, dipahami bahwa untuk menilai dampak gerakan sosial maka gerakan sosial harus ditempatkan dalam konteks proses demokratisasi yang sangat luas. Proses demokratisasi ini merupakan proses transformasi sosial atas aspek-aspek kultural, sosial, ekonomi, dan politik, maupun kehidupan lainnya (Faqih, 1996).
Antonio Gramsci adalah pemikir politik yang sangat mempengaruhi pendekatan kedua ini yakni teori perubahan sosial yang nonreduksionis, khususnya teori mengenai hegemoni (hegemoni theory) dengan mengatakan bahwa kelas buruh tidak lagi dianggap sebagai pusat gerakan revolosioner. Dengan demikian Gramsci membuka kemungkinan memasukkan kelompok-kelompok baru ini ke dalam kategori kelas buruh. Ia juga membuat teorisasi tentang kemungkinan menciptakan aliansi antara unsur kelas buruh dan kelompok lainnya, dan menekankan transformasi kesadaran sebagai bagian proses revolusioner. Laclau dan Mouffe (1985) memperluas teori Gramsci dengan mengangggap “gerakan sosial baru” sebagai model dalam pencarian alternatif atas kemacetan pendekatan Marxisme  tradisional.
Para pemikir pasca Marx, seperti Femia (1979) dan Gramsci (1891-1937) misalnya, dapat dipandang sebagai pemikir politik terpenting. Gagasannya yang cemerlang tentang hegemoni dianggap merupakan landasan paradigma alternatif terhadap teori Marxis tradisional mengenai paradigma super struktur dasar. Teori-teorinya muncul sebagai kritik sekaligus alternatif bagi pendekatan dan teori perubahan sosial sebelumnya yang didominasi oleh determinisme kelas dan ekonomi Marxisme tradisional.
          Analisis Gramscian dianggap signifikan untuk keperluan studi ini dikarenakan perlunya pemahaman komprehensif tentang peran masa depan gerakan sosial dan pendidikan massa dalam formasi sosial kapitalis Dunia Ketiga, khususnya di Indonesia di mana kapitalisme sedang dalam proses menemukan kemapanannya. Selain itu, pendekatan Gramscian juga tepat karena analisisnya –khususnya terhadap NGO-- yang bergaya nondeterministik dan antiredoksionisme, terutama karena Gramsci muncul sebagai kritik terhadap kebanyakan penganut Marxisme pada waktu itu yang umumnya berdeterminis ekonomi dan redoksionis kelas. Pengaruh determinisme ekonomi atas pendekatan analisis sosial mainstream yakni Developmentalisme maupun pengaruhnya kepada gerakan LSM di Indonesia menjadikan pendekatan nonredoksionis Gramsci lebih mengenai sasaran (Faqih, 1999).          
Untuk memahami mengapa dan apa masalah yang ditimbulkan oleh pendekatan redoksionisme, secara singkat akan dikupas kembali bagaimana reduksionisme mempengaruhi teori-teori Marxis maupun non-Marxis. Misalnya, marxisme tradisional memandang munculnya kelas buruh revolusioner akan mampu merobohkan kapitalisme. Setidak-tidaknya sepanjang tahun 1930an perspektif ini menjadi kerangka kerja untuk memahami berbagai gerakan di negara-negara kapitalis maju, di mana perjuangan kelas buruh merupakan hal yang sentral. Marxisme tradisional juga menyediakan teori untuk memahami struktur rakyat dan suatu pedoman strategi. Teori-teori tersebut didasarkan atas keyakinan bahwa aspek ekonomi dari realitas sosial menentukan aspek-aspek nonekonomi, khususnya berbgai aspek politik dan kultural kehidupan sosial (Resnick dan Wolf, 1989).
Marxisme tradisional didominasi oleh gagasan determinisme ekonomi dan determinisme humanis yang sering dinamai sebagai Marxisme “klasik’ atau aliran “resmi” tentang marxisme. Mereka yakin bahwa Mark dipahami telah menemukan kebenaran, bahwa aspek ekonomi dalam kehidupan sosial menentukan aspek nonekonomi. Dengan kata lain, teori Marxis yang dominan ini secara serentak mengklaim dan “membuktikan” keterkaitannya dengan dunia nyata. Pendukung aliran determinisme ekonomi Marxis ini selalu berusaha menguraikan bagaimana proses determinasi bekerja dalam situasi konkret dan mereka tidak mempercayai teori-teori “keliru” alternatif tentang realitas sosial. Dengan demikian epistemologi esensialis merupakan suatu keyakinan yang mempengaruhi banyak teori baik di kalangan Marxis maupun di luar Marxis (Resnick dan Wolf, 1989). Tradisi inilah yang banyak mempengaruhi teori-teori perubahan sosial (Faqih, 1996).
         Teori kelas sebagai salah satu pendekatan dalam Marxisme tradisional menempatkan perjuangan kelas sebagai hal sentral, faktor esensial dan menentukan dalam perubahan sosial. Pendekatan ini cenderung melihat rakyat kapitalis dari perspektif perekonomian di mana rakyat kapitalis sebagai kelas utama, yaitu sebagai kelas yang mengekploitasi. Oleh karena itu, dari perspektif ini, rakyat terdiri atas unsur esensial yaitu dasar (base) dan superstruktur (superstructure). Unsur dasar, yaitu ekonomi, dianggap sebagai landasan sehingga merupakan faktor yang secara esensial menetukan rakyat maka dianggap sebagai faktor terpenting dalam proses perubahan. Dengan demikian berarti bahwa ekonomi merupakan faktor esensial dalam perubahan sosial. Sementara itu bagi esensialis dan reduksionis, superstruktur yang terdiri atas pendidikan, kultur dan ideologi berada ditempat kedua karena faktor tersebut ditentukan oleh perekonomian. Perekonomian kelas dianalisis dengan melihat cara produksi (modes of production). Jadi, menurut pendekatan ini, perubahan sosial diturunkan menjadi perjuangan kelas di mana kelas yang dieksploitasi berjuang melawan eksploitasi dari kelas kapitalis. Dengan kata lain, pada dasarnya perubahan sosial itu merupakan pengubahan cara produksi rakyat. Itulah sebabnya maka, menurut paradigma ini, aspek esensial perubahan sosial adalah revolusi kelas buruh.
         Dengan demikian determinisme ekonomi dianggap sebagai landasan gerakan sosial Marxis tradisional. Analisis ini didasarkan kepada interprestasi tertentu terhadap materialisme historis Marx. Materialisme historis dianggap merupakan teori empiris yang didasarkan kepada anggapan bahwa struktur ekonomi rakyat yang diangkat melalui hubungan produksinya adalah landasan nyata rakyat. Hubungan produksi itu dianggap merupakan dasar munculnya semua bentuk kesadaran sosial. Oleh karenanya diyakini bahwa jalan umum sejarah manusia tergantung pada pertumbuhan atau kekuatan produktif. Kekuatan produktif akan meliputi, di antara hal-hal lainnya, alat produksi, pengetahuan, buruh, ketrampilan dan pengalaman. Dalam formasi sosial kapitalis, cara produksi yang terdiri atas hubungan produksi dan kekuatan produksi (buruh) --menurut pandangan ini -- dianggap mengangkat dasar seluruh perkembangan sosial.  Kekuatan produksi (buruh) dianggap sebagai instrumen produksi, dan hubungan produksi mencakup hubungan sosial antar pekerja dan juga antara pekerja dan alat produksi. Hubungan-hubungan ini menghasilkan kelas pemilik modal (kapitalis) dan kelas buruh yang tidak memiliki modal apapun. Kepentingan material yang berbeda dari kelas-kelas itu memecah dan mengarahkan perjuangannya, yang ditandai sebagai perjuangan kelas. Sejarah setiap rakyat adalah sejarah perjuangan kelas. Keberhasilan atau kegagalan akhir suatu kelas ditentuan oleh hubungannya dengan kekuatan produktif. Kelas yang memenangkan perjuangan adalah kelas yang memiliki alat produki karena secara ekonomi lebih baik dan juga memiliki kekuatan tawar menawar yang lebih baik.
        Berdasarkan paradigma ini kelas buruh dilihat sebagai pusat perubahan dalam teori perubahan sosial bagi kalangan Marxis tradisional dan perannya dalam gerakan sosial dianggap esensial. Dengan demikian, kelas buruh didudukkan sebagai unsur utama dalam proses perubahan. Jadi, menurut pandangan Marxisme tradisional, ada beberapa ciri teori gerakan sosial dan organisasi gerakan sosial. Pertama, gerakan sosial dilihat sebagai gerakan kelas buruh dari buruh pabrik di perkotaan atau petani tak bertanah atau buruh tani di pedesan. Kedua, sebagai akibat anggapan pertama, perjuangan atau gerakan nonkelas, seperti gerakan lingkungan, gerakan perempuan dan feminis serta jenis gerakan nonkelas lainnya, berada di luar teori ini. Ketiga, titik perhatian utama teori-teori ini adalah terhadap hubungan proletar kelas buruh dan kelas kapitalis ketimbang kepada hegemoni ideologis dan kultural, pendidikan, gender dan lingkungan.
        Pendekatan inilah yang ditolak oleh kaum nonreduksionis dan antiesensialis. Para teoritisi antiesensialis memiliki kesamaan dalam penolakannya terhadap esensialisme, determinisme atau reduksionisme. Mereka adalah di antara sedikit teoritisi yang memandang rakyat dengan menggunakan perspektif materialis dialektis.
Mereka memandang bahwa posisi epistemologi Marxisme sesungguhnya antiesensialis. Sekalipun memiliki pendekatan dan penjelasan yang berbeda atas posisi antiesealisnya, mereka mempunyai prinsip yang sama yakni penolakan atas asumsi apapun bahwa kompleksitas dapat direduksi kepada penyederhanaan sebab dan akibat. Mereka menganggap bahwa setiap sebab itu sendiri adalah akibat dan demikian sebaliknya. Mereka menolak mencari sebab esensial kejadian apapun karena mereka tidak mempercayai adanya penyebab esensial. Dalam pandangan mereka teori tidak memiliki esensi, sebagaimana dalam empirisme, bukan juga teori adalah esensi sebagaimana diyakini dalam rasionalisme. Jadi, posisi epistomologis teori anti esensialisme ini mengganti esensialisme dengan komitmen mereka kepada dialektika.
Tradisi pemikiran dialektis diangkat oleh sarjana-sarjana radikal dan kritis seperti Luka, Gramsci, Althusser, Resnick dan Wolf, Korsh, Adono, Habermas, Horkheimer, Marcuse, hingga saat ini. Teori-teori antiesensialis mengajukan konsep overdeterminasi sebagai alternatif bagi esensialisme. Mereka menggunakan overdeterminasi sebagai pengganti “dialektika”, karena istilah dialektika telah dijinakkan dan digunakan secara luas dengan pengertian yang berbeda. Overdeterminisme merujuk kepada bagaimana keberadaan entitas tertentu  --dalam pengertian bahasa, politik, pengetahuan, eksploitasi, rakyat yang saling menentukan. Karena masing-masing dipahami berada dengan cara ini, tak satupun yang kebal dari determinasi emacam itu. Entitas-entitas tersebut saling mempengaruhi (overdetermin) terhadap eksistensi lainnya.
Dengan kata lain, tidak ada satu entitas pun yang dianggap “lebih menetukan” ketimbang yang lain. Selanjutnya bahwa asal–usul, esensi, tidak dapat mereproduksi diri sendiri. Dengan begitu overdeterminasi berarti bahwa setiap proses dalam rakyat saling ditentukan secara bersama oleh semua entitas. Dengan pendekatan ini berarti bahwa perubahan sosial adalah hasil interaksi seluruh aspek rakyat, ketimbang akibat dari beberapa sebab “esensial” atau aspek seperti yang diyakini oleh kaum esensialis. Dalam epistemologi overdeterminis, tidak ada pertanyaan untuk mereduksi pada kausalitas, karena overdeterminisme merupakan epistemologi antiesensialis (Renick dan Wolf, 1988)
        Menurut teori anti esensialis ini, proses teori ditentukan oleh keseluruhan dari banyak proses lainnya. Penekanan teori ini terhadap ekonomi pada umumnya dan kepada kelas khususnya, hanyalah dianggap sebagai pintu masuk belaka. Dalam epistomologi overdeterminis ini-- materialisme dialektis-- menghindari argumen yang meletakkan entitas apa saja, misalnya kelas, sebagai esensi realitas sosial. Konsep hegemoni Gramsci pada dasarnya adalah ekspresi posisi antiesensialis-determinis dan kritik terus menerus kepada dan formulasi alternatif  bagi determinisme ekonomi. Jadi penganut antiesensialis tidak mengakui aspek esensi atau asal-usul, telos, ataupun subyek. Menurut teori ini, tidak ada teori --termasuk teori Marxis itu sendiri sebagai esensi perkiraan menjadi esensi realitas. Tidak ada kebenaran absolut tunggal diakui. Dengan kata lain, teori antiesensialis menolak segala jenis argumen deterministik, misalnya determinisme ekonomi atau determinisme kelas, seperti dalam tradisi Marxis klasik. Rakyat adalah totalitas yang bersifat mempengaruhi satu sama lain dalam satu totalitas (Faqih, 1996).
Konseptualisasi esensialisme dan antiesensialisme yang bertentangan ini mempengaruhi  berbagai aksi individu dan organisasi gerakan sosial dalam melakukan perubahan sosial. Mereka yang percaya bahwa aspek ekonomi sebagai faktor yang “menetukan”, cenderung menempatkan masalah ekonomi sebagai akar segala masalah sosial. Dengan penempatan seperti itu, mereka cenderung memecahkan masalah-masalah rakyat dengan berupaya mengubah aspek-aspek ekonomi sebagai penentu. Dengan kata lain, mereka tidak melihat pentingnya aspek-aspek kehidupan lainnya, seperti hegemoni kultural dan politik, penindasan gender, dan pengetahuan/kekuasaan serta diskursus, sebagai bentuk, sebagai bentuk dominasi yang melanggengkan eksploitasi ekonomi. Di lain pihak, mereka yang menganggap ‘hegemoni” sebagai satu-satunya penyebab masalah sosial, cenderung mengabaikan kelas sebagai determinan penting dalam menciptakan masalah-masalah sosial. Teori esensialis ini memberi andil atas tumbuhnya cara berpikir dogmatis dan fanatis dalam rakyat karena pendukung teori ini yakin bahwa mereka telah menemukan “kebenaran absolut”. Teori ini juga menyebabkan sagnasi dengan penolakan terhadap diskusi dan analisis alternatif. Cara berpikir esensialis juga mengandung bahaya penciptaan intoleransi politik dan kultural dikarenakan sifat fanatisnya. Materialisme dialektis atau overdeterminisme diciptakan untuk menghindarkan fanatisme ini dan menciptakan rakyat demokratis yang sejati.   
Bagi Gramsci, kelas dianggap sebagai salah satu dari banyak entitas dalam rakyat (seperti ekonomi, politik, kultur, gender dan lingkungan) yang saling bergantung satu sama lain. Dalam teori nonreduksionisnya tentang eksploitasi, kelas ekonomi tidak lagi dianggap sebagai dasar rakyat. Teorinya secara tidak langsung menyatakan bahwa perubahan sosial adalah hasil dari interakasi seluruh aspek rakyat ketimbang merupakan konsekuensi dari satu sebab atau aspek “esensial “ tertentu. Dalam perspektif Gramscian, kelas buruh tidak lagi dianggap sebagai pemeran utama dalam gerakan utama sosial.
Namun sebaliknya, ada gejala baru dalam analisis gerakan sosial dan perubahan dari analisis perjuangan menuju ke analisis yang didasarkan pada non kelas. Epstein (1991) sosial baru (New Social Movement) di Amerika Serikat. Ia mencatat bahwa gejala ini merupakan lemahnya kepentingan gerakan sosial baru dan terbatasnya ruang lingkup kepentingan aksi gerakan mereka. Banyak diantara gerakan menengah, misalnya gerakan lingkungan/ekologi, gerakan perdamaian, gerakan konsumen, gerakan aksi langsung dan jenis gerakan lainnya. Gerakan-gerakan tersebut cenderung memisahkan diri dari perjuangan kelas. Pada saat yang sama beberapa gerakan sosial di Dunia Ketiga, seperti gerakan lingkungan, gerakan perempuan maupun gerakan LSM juga bermasalah karena mengucilkan gerakan buruh.
Dengan demikian tipe gerakan yang disebut tipe gerakan sosial baru tersebut pada umumnya tidak berhubungan dengan gerakan buruh. Kalau demikian pada dasarnya gerakan sosial baru itupun merupakan bentuk lebih lanjut dari gerakan reduksionis, atau jenis esensialisme yang lain. Dalam kajian ini penulis bermakksud mengonstruksi suatu teori baru tentang gerakan sosial yang tidak menurunkan fenomena sosial ke ekonomi dan juga tidak mengabaikan eksploitasi kelas dan ekonomi. Tujuan utama buku ini adalah bukanlah menemukan satu teori yang benar untuk mengganti teori yang salah, tetapi membangun suatu teori yang akan memberikan pedoman yang lebih luas bagi proses transformasi sosial.
         Teori baru ini sangat dipengaruhi oleh dua pemikir. Pertama, seperti diungkapkan terdahulu, oleh Antonio Gramsci, terutama kritiknya atas “determinisme ekonomi” dan konsep hegemoninya; kedua oleh, oleh seorang pemikir Prancis yaitu Louis Althusser, khususnya konsep overdeterminismenya sebagai teori antiesensialisme, antireduksionisme dan antideterminisme. Sebelun menguraikan bagaimana perubahan sosial berlangsung dalam konteks hegemoni dan bagaimana perubahan sosial cocok dengan semangat dialektika atau konsep overdeterminisme Althusser dam konsep hegemoni Gramsci.
         Konsep overdeterminisme digunakan oleh banyak pemikir misalnya Sigmund Freud, Georg Lukacks dan Louis Althusser. Resnick dan Wolf (1987) adalah diantara sedikit ekonom determinisme. Mereka menggunakan istilah tersebut, yang dipinjam dari Althusser, dalam konteks perdebatan tentang dialektis. Merka berpendapat bahwa overdeterminasi, sebagaimana dilawankan dengan determinasi dan determinisme, menentang segala bentuk reduksionisme atau esensialisme. Overdeterminasi adalah penolakan atas segala praanggapan bahwa kompleksitas dapoat diturunkan kepada penyederhanaan bentuk sebab dan akibat. Sebaliknya overdeterminasi beranggapan bahwa setiap unsur dalam konteks kejadian apapun memainkan peran tersendiri dalam penentuan kejadian itu. Setiap sebab adalah sebab itu sendiri dan juga akibat, demikian sebaliknya. Oleh karena itu, tidak ada satu hal pun yang menjadi esensi dari sesuatu, atau dengan kata lain tidak ada pernyataan bahwa sesuatu “lebih” atau “kurang” ditentukan oleh suatu proses tertentu dalam rakyat.
         Sedangkan istilah hegemoni, yang digunakan dalam buku ini erat kaitannya dengan apa yang dipikirkan oleh Antonio Gramsci. Menurut Gramsci, negara kapitalis industri membutuhkan kelas buruh yang terlatih dan termotivasi. Untuk itu dibutuhkan tipe dominasi baru yang disebutnya hegemoni (Gramsci, 1971). Dengan hegemoni, secara tidak langsung berarti bahwa paksaan (coersion) bukan lagi alat kontrol sosial yang memadai; karena dengan hegemoni memungkinkan kelas buruh dibuat memihak dan tunduk kepada (menyetujui) sistem yang ada. Williams (1960) secara praktis mendefinisikan konsep hegemoni sebagai: Suatu tatanan dimana cara hidup dan pemikiran kelompok tertentu menjadi dominan, dimana suatu konsep realitas disebarkan ke seluruh rakyat dalam seluruh kelembagaan dan kehidupan pribadinya, yang mempengaruhi seluruh cita rasa , moralitas, kebiasaan, prinsip agama dan politik, dan seluruh hubungan sosial, terutama dalam pengertian intelektual dan moral. (Williams, 1960 ,hal.387).
        Dalam kaitan dengan studi mengenai gerakan sosial dan perubahan sosial konsep hegemoni dianggap sebagai inti pemikiran politik Gramsci. Namun masalahnya Gramsci tidak mendefinisikannya dengan jelas dalam tulisannya. Penggunaan definisi Williams membantu kita untuk memahami konsep hegemoni Gramsci. Walaupun hegemobi diperoleh melalui persetujuan dan penggunaan paksaan oleh satu kelas atas yang lainnya, persetujuan dalam proses hegemonik memainkan peranan sangat penting. Hegemoni dibakukan melalui banyak cara dimana pranata rakyat sipil membentuk persepsi tentang realitas sosial. Bagi Gramsci, hegemoni adalah bentuk kontrol dan kekuasaan yang sangat penting. Dengan demikian kekuasaan hegemonik lebih merupakan kekuasaan melalui “persetujuan”, yang mencakup beberapa jenis penerimaan intelektual atau emosional atas tatanan sosial-politik yang ada. Menurut Femia (1975), gagasan Gramsci tentang hegemoni menitik-beratkan pada superfisialitas persetujuan di dalam sistem kapitalis dimana persetujuan itu mencangkup bentuk komitmen aktif maupun pasif. Persetujuan sebagaimana dikonseptualisasi oleh Gramsci, adalah ungkapan intelektual dan arah modal melalui mana perasaan massa secara tetap terikat dengan ideologi dan kepemimpinan politik negara sebagai ungkapan keyakinan dan aspirasinya. (Femia, 1975, hal. 29-48).
        Dalam menggambarkan bagaimana hegemoni bekerja, Gramsci mengambil contoh dari demokrasi di Barat: pengguanan hegemoni yang “normal” atas daerah klasik regim parlementer sekarang bercirikan penggabungan antara kekuatan dan persetujuan, yang keseimbangan antara satu sama lainnya secara timbal balik, tanpa kekuatan mendominasi secara luas atas persetujuan. Tentu saja upayanya selalu dibuat untuk memastikan bahwa kekuatan akan muncul berdasarkan majoritas. (Gramsci, 1971: 90). 
         Dalam konteks Dunia Ketiga saat ini, hegemoni mengambil bentuk dalam konsep Pembangunan. Escobar (1992) berpendapat bahwa ide Pembangunan berhasil dalam menciptakan keberagaman antagonisme dan identitas ( kaum petani yang diperbedakan, kaum marginal perkotaan, kelompok “tradisional”, perempuan dan lain-lain ) yang, dalam banyak contoh,menjadi subyek perjuangan dalam bidang nya masing-masing (Gramsci, 1971: 60).
         Oleh karena itu, bagi Gramsci, pendidikan, kultur, dan kesadaran adalah daerah perjuangan yang penting. Sebenarnya konsep hegemoni adalah inti teori perubahan sosial Gramsci, karena hegemoni adalah bentuk kekuasaan kelompok dominan yang digunakan untuk membentuk kesadaran kelompok subordinat. Bagaimana hegemoni bekerja, dan bagaimana ideologi hegemonik dimasukkan ke dalam kesadaran merupakan hal yang rumit. Tetapi Gramsci seperti sepenuh hati percaya terhadap kuatnya kesadaran kritis individu, dan dia menolak gagasan determinisme historis ekonomi. Formulasi Gramsci tetap memakai gagasan kelas buruh sebagai pusat gerakan revolusioner, tetapi tetap membuka kemungkinan memasukkan kelmpok baru dalam kategori kelas buruh, menciptakan suatu aliansi antara unsur kelas buruh dengan kelompok lain, dan menekankan transformasi kesadaran sebagai bagian dari proses revolusioner.
4.3. TEORI CIVIL SOCIETY
Sejarah bangsa Indonesia bisa jadi sejarah kehidupan warganya yang hampir tidak pernah mengenal kebebasan diri warga itu sendiri. Mereka hidup dalam sangkar budaya feodalisme, cengkeraman kolonialisme dan kemudian kekuasaan birokrasi negara. Manusia-manusia yang menjadi warga negara Indonesia dalam sejarahnya hampir selalu hidup dalam suasanan terpasung oleh kekuatan-kekuatan sekitarnya sehingga hampir tidak pernah mampu dan berkesempatan menikmati kebebasan sebagai manusia (civil right)
Sejak kolonialisme Belanda selain tidak cukup  menyediakan infrastruktur sosial yang memadai terhadap kemungkinan tumbuhnya institusi sosial sukarela, pluralisme dan transaksi sosial lintas kultural, juga ada upaya sistematik menghambat munculnya civil society [3]. Meski setelah politik etis, ada banyak muncul pribumi terdidik, namun jumlahnya sangat tidak memadai khususnya terhadap gagasan-gagasan politik kebangsaan Indonesia. Kecuali kesadaran nasionalisme (1928) dan gagasan nasionalisme generasi kedua (1945) tidak didukung oleh tersedianya forum dan media yang memungkinkan elemen-elemen manjemuk dalam civil society berinteraksi dalam kerangka negara bangsa (nation state) yang modern (Sparringa, 2000).
Baru antara 1950-1958 ada indikasi kuat mulai berlangsungnya interaksi antar elemen-elemen majemuk dalam rakyat dalam ruang publik yang amat dinamis karena melibatkan proses-proses negosiasi-renegosiasi dan posisi-reposisi di antara nilai-nilai lokal, partikular dan universal. Perkembangan civil society tersebut terhambat oleh  demokrasi terpimpin (1959-1965), sebab kompetisi antar aliran idiologi (Islam, tradisional ortodoks, nasionalis, sosial-demokrat dan komunis) tenggelam[4] oleh besarnya  kehendak negara yang selain mengeliminasi polarisasi dan devisi sosial di rakyat, juga mengarahkan politik massa ke elitis (Sparringa, 2001).
             Walaupun melalui motivasi yang berbeda, perubahan politiknya selanjutnya memperburuk perkembangan civil society. Hadirnya rejim Orde Baru telah amat menghancurkan kemungkinan elemen-elemen penting dalam Civil Society di Indonesia untuk melanjutkan proses pertumbuhannya. Kebijakan yang amat sistematis yang ditempuh oleh Orde Baru untuk melakukan depolitisasi politik massa dan politik aliran menggenapkan kesempurnaan proses-proses politik yang dasar-dasarnya telah diletakkan sebelumnya oleh pemerintahan kolonial. Orde Baru, dalam pemahaman sosiologis, merupakan fenomena negara yang amat hegemonik karena amat berhasil mengintegrasikan elemen-elemen penting civil society  ke dalam wilayah negara. Interaksi di antara elemen-elemen majemuk yang memungkinkan berkembangnya ruang publik bagi perkembangan sebuah rakyat plural praktis tidak banyak berkembang, bahkan hancur, karena adopsi cara pandang Orde Baru yang melihat kesempatan semacam itu lebih mungkin menghasilkan disintegrasi sosial daripada stabilitas sosial  --sebuah paradigma yang kemudian diketahui amat menyesatkan karena stabilitas sosial yang dibangun dengan cara meniadakan kemajemukan itu justru menimbulkan komplikasi yang amat serius di kemudian hari (Sparringa, 2001).
          Sebagaimana diketahui dari kesejarahan bangsa-bangsa yang telah maju dan demokratis, keberadaan civil society yang kuat merupakan salah satu landasan pokok bagi ditegakkannya sistem politik demokrasi. Civil society di sini didefinisikan sebagai wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dengan ciri-ciri kesukarelaan, keswadayaan, keswasembada an dan kemandirian berhadapan dengan negara. Dengan tumbuh dan berkembangnya civil society yang kuat maka dimungkinkan pencegahan terhadap dampak-dampak negatif dari dua kekuatan tersebut sehingga kehidupan demokratis rakyat tetap terjaga. Dari pihak negara, kemungkinan monopoli atau dominasinya akan mengakibatkan hilangnya kemandirian pribadi dan merosotnya karsa-karsa bebas di dalamnya yang sebetulnya sangat penting bagi kehidupan demokrasi. Dampak negatif dari negara yang  terlalu intervensionis adalah ketergantungan yang sangat tinggi dari kelompok-kelompok dalam rakyat dan pribadi-pribadi kepadanya (Hikam, 1999).
          Namun, dampak negatif dari kekuatan ekonomi pasar pada masyarakat kapitalistik menyebabkan atomisasi dan pasifikasi rakyat yang mengakibatkan memudarnya perekat komunitas. Kapitalisme yang pada intinya menuntut individu dibebaskan sepenuhnya agar dapat mencari kepuasaan, pada gilirannya mendorong terjadinya kompetisi yang tidak sehat di dalam rakyat serta memungkinkan melebarnya jurang yang memisahkan antara si kaya dan si miskin. Sistem politik yang mengabaikan kenyataan seperti ini dan tidak mampu melakukan pengawasan atasnya, kendatipun di luar tampak demokratis tetapi di dalam sejatinya mengidap penyakit kronis yaitu alienasi kaum lapis bawah dan kelangkaan partisipasi yang murni dari mereka.
          Karena itu, untuk mengurangi dan mengantisipasi ekses-ekses tersebut civil society menjadi penting. Ia dapat menjadi benteng yang menolak intervensi negara yang berlebihan melalui berbagai asosiasi, organisasi dan pengelompokan bebas di dalam rakyat serta keberadaan ruang-ruang publik yang bebas (the free public sphare). Melalui kelompok-kelompok mandiri itulah rakyat dapat memperkuat posisinya vis-à-vis negara dan melakukan transaksi-transaksi wacana sesamanya. Sedangkan melalui ruang publik bebas, rakyat sebagai warga negara yang berdaulat (baik individu  maupun kelompok) dapat melakukan pengawasan dan kontrol terhadap negara. Pers dan forum-forum diskusi bebas yang dilakukan para cendekiawan, mahasiswa, pemimpin agama, dan sebagainya ikut berfungsi sebagai pengontrol kiprah negara.
          Dalam pada itu, civil society yang didalamnya bermuatan nilai-nilai moral tertentu, akan dapat membentengi rakyat dari gempuran sistem ekonomi pasar. Nilai-nilai itu adalah kebersamaan, kepercayaan, tanggung jawab, toleransi, kesamarataan, kemandirian dan seterusnya. Dengan masih kuatnya nilai  kepercayaan dan tanggung jawab publik, misalnya, maka akan dapat dikekang sikap keserakahan individual yang dicoba untuk dikembangkan oleh sistem ekonomi pasar melalui konsumerisme. Dengan diperkuatnya nilai toleransi dan kesamarataan, maka akan dapat dikontrol kehendak eksploitatif yang  menjadi motor kapitalisme.
          Civil society baik pada tataran institusional maupun nilai ideal menjadi landasan kuat bagi bangunan demokrasi partisipatoris dan substantif, bukan hanya demokrasi prosedural dan formal belaka. Civil society yang kuat akan mampu mendorong proses politik bukan sebatas ritual atau rutinitas yang hampa makna, karena ia bukan selalu mempertanyakan substansi dari setiap proses. Civil society juga akan mendorong terciptanya sistem ekonomi yang peka terhadap distibusi bukan hanya pertumbuhan, kesejahteraan umum bukan kesejahteraan perseorangan atau kelompok tertentu, kelestarian bukan kehancuran ekosistem, dan tanggap terhadap pengembangan si lemah ketimbang hanya mendukung pengembangan si kuat.
          Keberadaan civil society di dalam rakyat modern tentu tak lepas dari hadirnya komponen-komponen struktural dan kultural inheren di dalamnya. Komponen  pertama termasuk terbentuknya negara yang yang berdaulat, berkembangnya ekonomi pasar, tersedianya ruang-ruang publik bebas, tumbuh dan berkembangnya kelas menengah, dan keberadaan organisasi-organisasi kepentingan dalam rakyat. Pada saat yang sama, civil society akan berkembang dan menjadi kuat apabila komponen-komponen kultural yang menjadi landasannya juga kuat. Komponen tersebut adalah pengakuan terhadap HAM dan perlindungan atasnya , khususnya hak berbicara dan berorganisasi, siakp toleran antar individu dan kelompok dalam rakyat, adanya tingkat kepercayaan publik (publik trust) yang tinggi terhadap pranata-pranata sosial dan politik, serta kuatnya komitmen terhadap kemandirian pribadi dan kelompok.
          Jika kita melihat kondisi di negeri kita, maka jelas kedua komponen tersebut sudah ada walaupun tidak setara, pertumbuhan dan perkembangannya, bahkan terdapat komponen–komponen yang mengalami hambatan. Misalnya, pertumbuhan negara dan ekonomi pasar yang sudah begitu pesat tetapi pada saat yang sama ruang publik bebas yang masih lemah. Pada tataran kultural, sejatinya telah memiliki landasan yang kuat. Pengakuan atas pentingnya perlindungan ha-hak dasar secara eksplisit telah termaktub dalam konstitusi. Begitu pula dengan berbagai ajaran agama-agama yang dipeluk oleh bangsa Indonesia dan tradisi-tradisi yang dipraktekkan dalam hal toleransi dan penghormatan terhadap kemajemukan.
          Persoalan pemberdayaan civil society di indonesia antara lain adalah bagaimana mempetakan secara gamblang elemen-elemen mana yang harus ditunjang, baik pada tataran struktural maupun kultural. Dalam hal pemberdayaan elemen struktural, perlu memulainya dari pemahaman akan kekuatan dan kelemahan sruktur yang mendasari proses perubahan melalui pembangunan dan modernisasi. Sementara itu pemberdayaan elemen kultural berarti melakukan penemuan kembali (recovery) dan penafsiran ulang (reinterpretation) terhadap khazanah nilai-nilai dan tradisi milik rakyat serta melakukan pengambilan khazanah kultural dari luar yang relevan sesuai dengan keperluan.
Strategi pemberdayaan civil society di Indonesia, menurut Hikam, (1999) dapat dikembangkan melalui beberapa tahapan. Tahap Pertama adalah pemetaan atau identifikasi permasalahan dasar menyangkut perkembangan civil social, khususnya kelompok-kelompok strategis di dalamnya yang harus mendapat prioritas. Pada tahap ini diupayakan penelitian atau kajian yang begitu mendalam baik secara umum maupun khusus terhadap potensi yang ada dalam rakyat untuk menumbuh-kembangkan civil society. Umpamanya pemetaan terhadap segmen-segmen kelas menengah yang dianggap menjadi basis bagi tumbuhnya civil society berikut organisasi di dalamnya. Kajian dan penelitian semacam ini sangat penting agar dapat dengan segera dilakukan proses recovery dan penetaan kembali setelah munculnya kesempatan karena jatuhnya rezim otoriter di bawah Soeharto
         Tahap Kedua, adalah menggerakkan potensi-potensi yang telah ditemukan tersebut sesuai dengan bidang atau garapan masing-masing. Misalnya bagaimana menggerakkan komunitas pesantren di wilayah-wilayah pedesaan agar mereka dapat ikut memperkuat basis ekonomi dan sosial di lapisan bawah. Dalam tahapan ini, jelas harus terjadi reorientasi dalam model pembangunan sehingga proses penggerakan sumber daya di lapisan bawah tidak lagi berupa eksploitasi karena pola top-down. Justru dalam tahapan ini sekaligus diusahakan untuk menghidupkan dan mengaktifkan keswadayaan rakyat yang selama ini terbungkam. Pendekatan-pendekatan partisipatoris harus dipakai dan dalam hal ini bantuan dari lembaga –lembaga swadaya masyrakat (LSM) menjadi sangat krusial. Tentu saja, LSM yang dimaksud disini bukanlah LSM yang hanya berorientasi kepada program saja tetapi juga pada pemberdayaan.
        Pada tingkat kelas menengah, tahapan kedua ini diarahkan kepada penumbuhan kembali jiwa enterpreneur yang sejati sehingga akan muncul sebuah kelas menengah yang mandiri dan tangguh. Potensi demikian sudah cukup besar dengan semakin bertambah banyaknya generasi muda yang berpendidikan tinggi dan berpengalaman dalam bisnis yang berlingkup global.
Sementara itu, untuk memacu transformasi sosial menuju civil society menurut Zald dan McCharty dalam bukunya Social Movements in a Organizational Society (1987) dan Tarrow Struggle, Politics and Reforms (1990) adalah melalui kependidikan terhadap organisasi gerakan sosial. Istilah organisasi sosial didefinisikan sebagai kelompok yang memiliki kesadaran diri yang bertindak in concerto untuk mengungkapkan apa yang dilihatnya sebagai klaim-klaim penentang dengan kelompok elit, penguasa, atau kelompok lain dengan klaim-klaim tersebut.
         Namun, berbeda dengan konsep tersebut, Smelser dalam  bukunya Theory of Collective Behaviour (1962) mendefinisikasn gerakan sosial sebagai perilaku kolektif dimana rakyat ikut serta dalam usaha memperbaiki dan menyusun kembali struktur sosial yang telah rusak. Demikian halnya dengan Mcphail (sebagaimana dikutip Faqih, 1996) pada makalah yang berjudul “Toward Theory of Collecitve Behaviour” yang pernah dipresentasikan dalam Simposium tentang Interaksi Simbolik mengemukakan bahwa gerakan sosial adalah perilaku kolektif yang berlangsung spontan dari pada direncanakan, tidak berstruktur ketimbang diorganisasi, lebih emosional dari pada rasional dan menyebar dengan kasar, lebih sebagai bentuk komunikasi yang paling dasar seperti reaksi yang tidak berujung pangkal, rumor, imitasi, penyakit sosial dan keyakinan yang digeneralisir dari pada jaringan komunikasi formal dan informal yang telah dibentuk sebelumnya. Dalam buku ini, gerakan sosial justru dilihat sebaliknya, yaitu sebagai gerakan yang diorganisir dengan tujuan, strategi dan metodologi yang diformulasikan secara jelas dan sadar berdasarkan analisis sosial yang kuat.
          Dari perspektif Gramscian, konsep organisasi gerakan sosial dikategorikan sebagai rakyat sipil yang terorganisir. Konsep rakyat sipil didasarkan pada analisis Gramsci tentang kepentingan konfliktual dan dialektika atau kesatuan dalam keberbedaan antara negara dan rakyat sipil. Dalam satu hal, analisis ini meruapakan bagian penolakannya atas fokus yang sempit dimana unit analisis adalah kontradiksi dialektis antara buruh dan kapitalis. Ia menggunakan istilah “negara” (state) dan “rakyat sipil” (civil society) dalam analisanya tentang supremasi dan hegemoni. Dalam membahas kaitan antara negara dan rakyat Gramsci (1971, seperti dikutip Faqih, 2000)) mengatakan:
Apa yang dapat kita kerjakan, sejenak, adalah menyediakan dua “aras” superstruktur, satu yang disebut “rakyat sipil”, yakni ensemble organisme yang biasanya disebut “privat”, dan aras yang lain yaitu “ rakyat politik” atau “negara. Dua aras ini pada satu sisi dapat berhubungan dengan fungsi hegemoni dimana kelomok dominan menjalankan seluruh rakyat dan di sisi lain berhubungan dengan “dominasi langsung” atau perintah yang dijalankan melalui negara dan pemerintahan “juridis”.
Mayarakat sipil berbeda dengan negara atau rakyat politik,  adalah lingkup privat atau individu. Rakyat sipil terdiri dari berbagai bentuk organisasi voluntir, dan merupakan dunia politik utama, dimana semuanya itu berada dalam aktivitas ideologis dan intelektual yang dinamis maupun konstruksi hegemoni. Selain itu, bagi Gramsci, rakyat sipil adalah konteks di mana seseorang menjadi sadar, dan dimana seseorang pertama kali ikut serta dalam aksi politik. Dengan demikian sipil adalah suatu agregasi atau percampuran kepentingan, dimana kepentingan sempit ditransformasi menjadi pandangan yang lebih universal sebagai ideologi dan dipakai atau diubah, bagi Gramsci rakyat sipil adalah suatu dunia dimana rakyat membuat perubahan dan menciptakan sejarah (Gramsci, 1971).
Dengan menggunakan konsep rakyat sipil model Gramscian ini bisa dipergunakan untuk menganalisis keberadaan organisasi gerakan sosial, mengonstruksi cara alternatif untuk melihat topologi gerakan sosial dan organisasinya, termasuk didalamnya keberadaann LSM dalam suatu gerakan rakyat dalam mengkonstruksi pembangunan. Sebab, pembangunan dianggap sebagai bentuk baru hegemoni dominan di Dunia Ketiga. Guna membentuk hegemoni baru bekerja dalam konteks Dunia Ketiga, tidak dapat dihindarkan untuk melihat diskursus pembangunan secara sungguh-sungguh.  Metodologi Gramscian ini juga bisa dimanfaatkan secara kritis menganalisis posisi idelogis dan politik LSM serta membuat peta untuk menempatkan gerakan LSM dan organisasi gerakan sosial lainnya ke dalam dialektika antara rakyat sipil dan negara menurut perspektif Gramscian. Dalam hal ini secara kritis menelaah peran organisasi gerakan sosial dalam hubungannya dengan diskursus pembangunan, yaitu apakah mereka harus dianggap sebagai bagian hegemoni pembangunan atau tandingannya. Dngan demikian bisa konstruksi bahwa teori organisasi gerakan sosial sebagai gerakan sosial kontra-hegemonik (Faqih, 2000).
         Jika transformasi diartikan sebagai proses penciptaan hubungan secara fundamental baru dan lebih baik maka rakyat sipil bagi transformasi sosial berarti suatu proses perubahan oleh rakyat. Dalam studi ini peran organisasi gerakan sosial Indonesia, ditempatkan dalam proses transformasi. Dalam konteks hegemoni Modernisasi dan Developmentalisme, sebetulnya penelitian ini juga mencoba memperhitungkan peran organisasi gerakan sosial dalam melawan diskursus modernisasi dan pembangunan. Dari titik pangkal ini terlihat peran kependidikan organisasi gerakan sosial dalam melawan diskursus pembangunan. Tugas kependidikan utama dari organisasi gerakan sosial akan bertindak sebagai gerakan kontra-diskursus.
         Ada beberapa alasan mengapa organisasi gerakan sosial adalah sarana yang tepat bagi gerakan kontra-diskursus dan kontra-hegemonik. Organisasi gerakan sosial—yang dalam banyak kasus dimotori LSM-- adalah organisasi yang mengajukan perubahan radikal pada aras akar rumput. Para aktifis LSM juga mengklaim memberdayakan rakyat untuk mengontrol dan menggunakan pengetahuannya sendiri. Kemungkinan organisasi gerakan sosial menjadi gerakan kontra-hegemonik maupun gerakan kontra diskursus tergantung pada komitmen aktifis gerakan sosial pada rakyat. Hal ini penting untuk melihat bagaimana aktivis bekerja bersama-sama rakyat menciptakan paradigma dan ideologinya sendiri maupun diskursus alternatif bagi transformasi sosial.
Untuk itu, perlu kajian tentang peran kelompok inti sebagai aktivis LSM dalam proses transformasi sosial, komitmen kelompok studi LSM untuk menciptakan ideologi yang lebih baik, teori dan solusi alternatif bagi masalah yang diupayakan pemecahannya, maupun diskursus dan metodologi alternatif bagi transformasi sosial. Selain ituperlu juga diperhatikan mengenai bagaimana sekelompok aktivis LSM menciptakan ruang yang memungkinkan memunculkan kesadaran kritis baik pada kalangan aktifis LSM sendiri maupun pada rakyat.
        Memahami landasan teoritis peran kependidikan organisasi gerakan sosial bermanfaat untuk memahami bahwa teori pendidikan kritis dapat juga dikelompokkan sebagai teori produksi dalam pendidikan. Teori produksi pendidikan yang juga sering disebut dengan Teori Perlawanan  adalah teori yang memusatkan perhatian pada cara-cara dimana perlawanan termasuk didalam proses  pendidikan yang menghasilkan pengertian dan kultur melalui perlawanannya maupun melalui kesadaran kolektif dan individunya sendiri (Faqih, 1996). Teori yang dikembangkan Paulo Freire dan Gramsci adalah termasuk dalam katagori teori produksi ini. Tema utama teori produksi Freire  adalah peningkatan kesadaran kritis dimana manusia merupakan pusat dari pendidikannya untuk perubahan. Peningkatan kesadaran kritis adalah proses dimana peserta pendidikan mencapai tingkat kesadaran yang memungkinnya memandang sistem dan struktur sosial yang kritis (Smith, 1976 sebagaimana dikutip Faqih, 1999).                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                     

Dalam sebuah diskusi yang berlangsung empat tahun lalu di Jakarta, beberapa penilaian bermunculan tentang istilah tersebut: “konsep civil society berasal dari Barat,” “tidak perlu ada dikotomi antara sipil dengan militer”,”tradisi kita belum mengenal apa yang disebut civil culture,” dan bahwa pembicaraan tentang civil society ini tampaknya lebih bersifat teoritis dan banyak sekali data empirisnya tidak ada.”1

Konsep atau teori tentang civil society lebih merupakan persoalan modern. Konsep itu sebenarnya baru tumbuh dan mengikuti perkembangan dari negara-negara modern. Karena itu studi strategis untuk mengetahui lahirnya civil society harus dilihat berdasarkan proses evolusi dan pertumbuhan negara (Ali, 1991). “Sementara itu, dalam pandangan M. Syafi’i Anwar: “Untuk konteks Indonesia, saya ragu apakah kebudayaan kita sudah mampu mengabsorb atau menerima dan memahami civil society… Daniel [Dhakidae] bahwa hanya di Barat-lah konsep negara itu tumbuh dan berkembang …Karena itu pembicaraan tentang civil society ini tampaknya lebih bersifat teoritis dan data empirisnya tidak ada. . Ketika konsep ini dicoba untuk dibumikan di Indonesia, ia segera dihadapkan oleh hambatan kultural maupun konstitusional.”Lihat tanggapan dan komentar Fachri Ali dan M. Syafi’I Anear ini dalam Laporan Seminar Mencari Konsep dan KeberadaanCivil-Society di Indonesia, tidak diterbitkan, Jakarta, CESDA-LP3ES, 20September 1994, hlm.21-25.
































http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id/


[1] Apakah pembangunan benar-benar merupakan  jawaban untuk memecahkan masalah-masalah bagi rakyat kebanyakan, atau semata-mata merupakan alat untuk menyembunyikan penyakit sebenarnya yang lebih mendasar. Bagi penganut teori perubahan sosial mainstream, teori perubahan sosial   dominan ini dianggap menjanjikan harapan. Namun banyak para pakar ilmu sosial secara kritis meneliti dampak pembangunan, dan banyak penulis menganggap bahwa ide pembangunan justru telah menciptakan kesengsaraan ketimbang memecahlan masalah yang dihadapi rakyat Dunia Ketiga
[2] Menurut Gerzt, masyarakat Jawa, dibawah tekanan penduduk yang terus bertambah sementara sumber daya (tanah) tetap, masyarakat desa Jawa tidak terbelah menjadi dua yakni tuan tanah dan tuna kisma; melainkan tetap mempertahankan homogenitas sosial-ekonominya dsengan cara membagi-bagi “kue-ekonomi” yang ada, sehingga bagian yang diperoleh masing-masing makin lama makin kecil. Fenomena inilah yang kemudian disebut dengan pemerataan kemiskinan (sharred poverrty)

[3] Hal ini misalnya dapat dilihat dari adanya pembedaan pekerjaan dan pemukiman berdasarkan ras dan etnis antara Kolonial, Arab, Cina dan pribumi.
[4] Persaingan antar aliran ideologi dicegah untuk berkembang melalui pengenalan kembali pada gagasan-gagasan nasionalisme awal republik yang amat diwarnai oleh interpretasi Soekarno yang sampai batas-batas tertentu merupakan usaha sinkretisme atas aliran-aliran ideologi tersebut.
1 Menurut Fahri Ali: “… Konsep atau teori tentang civil society lebih merupakan persoalan modern. Konsep itu sebenarnya baru tumbuh dan mengikuti perkembangan dari negara-negara modern. Karena itu studi strategis untuk mengetahui lahirnya civil society harus dilihat berdasarkan proses evolusi dan pertumbuhan negara. Ada kesan bahwa kita lebih banyak mencari persoalan tentang dasar-dasar pemikirran civil society pada masyarakat kita, khususnya kekayaan tradisi, dan sebagainya.Saya setuju apa yang dikemukakan oleh Daniel [Dhakidae] bahwa hanya di Barat-lah konsep negara itu tumbuh dan berkembang …Karena itu pembicaraan tentang civil society ini tampaknya lebih bersifat teoritis dan banyak sekali data empirisnya tidak ada. “Sementara itu, dalam pandangan M. Syafi’I Anwar: “Untuk konteks Indonesia, saya ragu apakah kebudayaan kita sudah mampu mengabsorb atau menerima dan memahami civil society…Saya setuju dengan Fachri Ali yang menyatakan bahwa konsep civil society berasal dari Barat. Dan, ketika konsep ini dicoba untuk dibumikan di Indonesia, ia segera dihadapkan oleh hambatan kultural maupun konstitusional.”Lihat tanggapan dan komentar Fachri Ali dan M. Syafi’I Anear ini dalam Laporan Seminar Mencari Konsep dan KeberadaanCivil-Society di Indonesia, tidak diterbitkan, Jakarta, CESDA-LP3ES, 20September 1994, hlm.21-25.

No comments:

Post a Comment