KONTRIBUSI TEORI KRITIS DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL
Banyak fenomena yang
berkembang dalam Hubungan Internasional saat ini sehingga tidak hanya bisa
dijelaskan oleh teori yang sudah ada selama ini. Misalnya banyak fenomena
Hubungan Internasional yang muncul selain damai dan perang. Karena itu
pemikiran Hubungan Internasional berkembang dalam tahapan yang ditandai oleh
perdebatan khusus antara kelompok-kelompok penstudi. Perdebatan besar pertama
adalah utopian liberalisme dan realisme. Perdebatan besar kedua adalah pada
metode antara pendekatan tradisional dan behavioralisme dan perdebatan besar
ketiga adalah antara neorealisme/neolibrealisme dan neo-Marxisme dan yang
keempat adalah antara tradisi yang mapan dengan alternatif-alternatif
pospositivis. Pada perdebatan keempat tersebut diangkat isu-isu metodologi
maupun isu-isu pokok.
Pospositivis merupakan paham yang luas, mencakup pandangan-pandangan
metodologis yang berbeda yaitu terdiri dari beberapa teori dan salah satunya
adalah teori kritis, teori kritis adalah sekelompok ilmuwan di Jerman yang
dikenal dengan nama Mazhab Frankurt. Teori kritis dalam Hubungan Internasional
cenderung mirip dengan asumsi yang dikemukakan oleh Marxisme utamanya dalam hal
ekonomi politik internasional. Teoritisi kritis dalam Hubungan Internasional
terkemuka adalah Robert Cox dan Andrew Linklater.
Pada
dasarnya teori kritis menolak postulat dasar positivisme yaitu realitas
eksterna yang obyektif, perbedaan subjek atau objek, dan ilmu sosial bebas
nilai. Menurut teori kritis dunia sosial adalah sebuah konstruksi dan sistem
internasional yang terbentuk selama ini merupakan suatu bentuk konstruksi dan
negara-negara kuat yang berkuasa di dunia.
Bagi
teori kritis pengetahuan bukan dan tidak dapat netral baik secara moral maupun
secara politik dan ideologi. Semua pengetahuan cenderung mencerminkan
kepentingan dari para pengamat. Pengetahuan sadar atau tidak memiliki
kecenderungan menuju kepentingan, nilai, kelompok, golongan, kelas, bangsa, dan
lain sebagainya. Sehingga dapat diasumsikan bahwa teori Hubungan Internasional
cenderung bias.
Menurut
Robert Cox sebuah teori selalu untuk seseorang dan untuk tujuan tertentu
(theory is always for someone and some purposes). Robert Cox lalu membagi
pandangannya menjadi dua hal yaitu perbedaan antara pengetahuan penyelesaian
masalah (problem solving knowledge) dan pengetahuan emansipatori (emancipatory
knowledge). Yang termasuk ke dalam pengetahuan penyelesaian masalah adalah
teori-teori positivis. Teori-teori positivis tersebut hanya untuk menjelaskan
fenomena yang terjadi saat ini namun tidak dapat melakukan emansipasi seperti
yang diperjuangkan oleh teori kritis.
Selain itu tidak ada teori yang objektif karena
sebuah teori biasanya berangkat dari sebuah perspektif. Misalnya teori power
yang mempunyai asumsi awal berdasarkan paradigma realis yang menyatakan bahwa
dunia internasional adalah anarki dan setiap negara selalu mengejar
kepentingannya melalui konflik. Hal ini membuat teori tersebut lebih bersifat subjektif.
Teori-teori yang telah
ada tidak objektif juga karena para ilmuwan sosial dianggap sebagai instrumen
kekuatan dan politik semata sehingga teori kritis berupaya untuk mengetahui
kepentingan politis dari teori-teori yang ada tersebut. Nilai dari teori
tersebut didasarkan pada nilai-nilai politis daripada nilai akademis sehingga
perdebatan teori yang terjadi selama ini merupakan perdebatan yang penuh dengan
muatan kepentingan politik.
Fokus utama teori
kritis adalah pada kekuatan dan dominasi dunia secara umum. Jadi di sini teori
kritis ingin mencoba mendobrak dominasi global yang ada selama ini dengan cara
memahami kondisi yang menopang bentuk-bentuk dominasi dalam Hubungan
Internasional tersebut. Tujuan utama teori kritis adalah ingin membebaskan kemanusiaan
dan struktur ekonomi politik dunia yang dikendalikan oleh sebuah kekuatan
hegemoni, seperti Amerika Serikat. Tak hanya itu, teori kritis juga berupaya
untuk menciptakan suatu emansipasi dari struktur sosial global yang dianggap
telah menciptakan kesenjangan antara negara maju dengan negara berkembang dan
miskin. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa teori kritis ini memiliki banyak
kesamaan dengan EPI Marxis.
Jadi kontribusi utama
dari teori kritis terhadap Hubungan Internasional adalah untuk memahami dan
menganalisa bentuk-bentuk dominasi struktural dalam dunia internasional yang
dianggap merugikan sebagian pihak. Selain itu teori kritis juga berupaya untuk
mengetahui kepentingan politis tersembunyi dalam teori-teori dan perdebatan
yang terjadi dalam Hubungan Internasional. Dengan demikian tujuan akhir dari
teori kritis ini adalah untuk merobohkan sistem ekonomi politik dunia yang
dinilai hanya menguntungkan kekuatan-kekuatan besar dalam sistem politik
internasional melalui hegemoni yang dibuatnya.
Sebagai contoh untuk
menjelaskan kontribusi teori kritis ini misalnya kritik terhadap paradigma
liberalisme. Asumsi dasar kaum liberalis adalah setiap individu pada dasarnya
baik dan mau bekerja sama. Dengan adanya kerjasama itu kemudian dapat
menciptakan perdamaian. Begitupula yang terjadi dalam politik internasional,
bila negara-negara di dunia mau bekerjasama dan tergabung dalam suatu wadah
atau organisasi internasional maka perdamaian dunia dapat dicapai.
Selain itu menurut
liberalisme, perang dapat dihindari jika negara-negara yang ada di dunia mampu
membangun dan menyejahterakan rakyatnya. Menurut liberalisme, untuk dapat
membangun dan menyejahterakan negara, negara tersebut harus menerapakan sistem
free trade atau perdagangan bebas. Hal ini kemudian diadopsi oleh banyak negara
berkembang di dunia.
Awalnya saat era
berakhirnya Perang Dunia negara-negara berkembang tidak banyak berpartisipasi
dalam sistem perdagangan multilateral atau perdagangan internasional.
Negara-negara berkembang tersebut lebih memilih untuk menerapkan kebijakan
proteksi dan meningkatkan campur tangan negara dalam perekonomian. Namun
seiring berkembangnya keadaan dan bergabungnya negara berkembang ke dalam GATT,
Negara tersebut akhirnya harus melakukan penyesuaian struktural sesuai
kesepakatan GATT yaitu menerakan liberalisasi perdagangan. negara-negara
berkembang tersebut akhirnya membuka pasar domestiknya terhadap perdagangan
internasional.
Namun hal ini kemudian
dianggap merugikan bagi negara berkembang karena ekspornya cenderung kalah
saing dengan produk-produk yang dijual oleh negara maju. Selain itu negara maju
secara sepihak melakukan proteksi terhadap pasar domestiknya sehingga produk
dari negara berkembang sulit masuk ke pasar negara maju. Sedangkan
negara-negara berkembang tersebut harus membuka pasar dalam negerinya untuk
menerapkan liberalisasi perdagangan sehinggap produk asing lebih mendominasi
pasar dalam negeri. Akibatnya industri di negara-negara berkembang tersebut
terancam.
Negara berkembang yang
merasa dirugikan tersebut lalu berusaha membuat perubahan dalam sistem
perdagangan internasional. Mereka ingin adanya mekanisme pembagian keuntungan
yang adil antara negara maju dengan negara berkembang. Tahun 1964 dibentuk
UCTAD (United Nations Conference On Trade And Development) yang memperjuangkan
kepentingan negara berkembang dalam
perdagangan dunia. Setelah itu dibentuk kelompok G77 untuk
memperjuangkan reformasi, yaitu mekanisme pengurangan peran GATT dalam
perdagangan internasional dan distribusi pedapatan pada negara berkembang. Lalu
dibentuk New International Economic Order (NIEO) yang ingin negara berkembang
mempunyai kontrol terhadap MNC asing di negaranya, kemudahan akses teknologi,
pengurangan utang luar negeri, dan peran lebih dalam World Bank dan IMF (International
Monetary Fund). Namun ternyata NIEO juga gagal karena negara-negara anggota di
dalamnya mempunyai kepentingan yang beragam dan mengalami krisis sehingga butuh
bantuan dana dari IMF dan World Bank.
Pinjaman dana dari IMF
untuk negara-negara tersebut cenderung digunakan untuk konsumsi dalam negeri
daripada untuk peningkatan ekspor dan untuk pembangunan yang lebih produktif.
Sebagai syarat peminjaman dana dari IMF maka negara tersebut harus melakukan
penyesuaian struktural sesuai permintaan IMF, yaitu melakukan peningkatan peran
pasar daripada peran negara. Menurut IMF, pembangunan negara dapat dicapai
apabila menerapkan konsep tadi.
Dari yang telah
dijelaskan sebelumnya, asumsi dasar teori kritis adalah sebuah teori atau
paradigm yang ada merupakan suatu bentuk kepentingan politis dari sebuah
kekuatan besar. Hal ini terlihat dalam perspektif liberalisme yang dianggap
sebagai sebuah cara untuk melestarikan kepentingan negara maju saja dan
menindas negara kecil.
Adanya forum atau
organisasi perdagangan internasional seperti GATT atau WTO memaksa
negara-negara yang tergabung di dalamnya untuk mengikuti kesepakatan yang ada
seperti menerapkan liberalisasi perdagangan yang dianggap merugikan negara
berkembang. Begitu juga dengan adanya IMF dan World Bank yang membuat
negara-negara yang memperoleh bantuannya harus melakukan penyesuaian structural
seperti permintaan IMF dan World Bank. Akibatnya terjadi dependensia antara
negara berkembang pada IMF dan negara tersebut terpaksa harus tetap menuruti
kepentingan IMF apabila ingin tetap mendapat pinjaman dana. Pada akhirnya
negara tersebut sulit maju karena menggunakan dana pinjaman untuk hal yang
kurang produktif dan akan terus terbebani dengan hutang luar negeri. Selain itu
kebijakan negara tersebut akan cenderung didikte oleh kepentingan IMF yang di
dominasi oleh negara-negara maju.
Aturan perdagangan internasional
selama ini hanya menguntungkan negara maju sehingga negara berkembang tidak
dapat bersaing. Selain itu ketergantungan negara berkembang pada IMF membuatnya
harus melakukan penyesuaian struktural sesuai kepentingan IMF sehingga
menghambat kemajuan negara berkembang. Dengan demikian sesuai asumsi teori
kritis bahwa kemiskinan dan kesenjangan antara negara maju dengan negara
berkembang terjadi karena struktur yang ada sulit diubah dan struktur yang ada
tersebut merupakan bentuk hegemoni dari negara maju saja. Meski sudah berusaha
untuk mengubah struktur yang ada negara berkembang tersebut rupanya masih saja
gagal untuk menciptakan keadilan dan pemerataan pendapatan. Dengan demikian
negara-negara berkembang tersebut akan tetap kesulitan untuk dapat menjadi
negara maju karena terdapat sebuah struktur yang ada ternyata menghambat
kemajuan itu sendiri.
Berdasarkan contoh
tersebut dapat disimpulkan bahwa kontribusi teori kritis dalam studi Hubungan
Internasional adalah untuk memahami bahwa terdapat dominasi struktural yang
tidak adil dalam Hubungan Internasional yang tercermin dalam kesenjangan antara
negara maju dengan negara berkembang akibat dari penerapan liberalisasi
perdagangan. Sehingga dapat dikatakan bahwa liberalisme merupakan sebuah
kepentingan politis atas negara-negara maju untuk terus dapat menindas negara
kecil. Akibat dari struktur yang dibentuk oleh liberalisme ini negara miskin
akan tetap miskin sementara negara kaya semakin kaya. Oleh karena itu teori
kritis berupaya membongkar fenomena ini dengan harapan dapat menciptakan dunia
politik internasional yang lebih baik dan adil. Untuk mewujudkan harapan
tersebut teori kritis berupaya menentang segala bentuk hegemoni dan merobohkan
sistem ekonomi politik dunia yang tidak adil tersebut melalui studi Hubungan
Internasional.
No comments:
Post a Comment