Gramsci dan Hegemoni
Antonio Gramsci ialah
tokoh penting dalam sejarah teori Marxis. Sementara Karl Marx dan Friedrich
Engels memberikan analisis menyeluruh tentang kapital di tingkat sosial dan
ekonomi - khususnya menunjukkan bagaimana kapital mengantagoniskan kelas
pekerja dan menyebabkan krisis - Gramsci melengkapi ini dengan suatu teori
canggih tentang ranah politik dan bagaimana itu secara organik/dialektik
berhubungan dengan kondisi-kondisi sosial dan ekonomi. Ia memberikan kita teori
tentang bagaimana proletariat harus mengorganisir secara politik bila hendak
secara efektif merespon krisis dan kegagalan kapital, dan menghadirkan
perubahan revolusioner.
Secara kebetulan,
inovasi ini terbukti bukan saja menarik perhatian kaum Marxis, tapi juga mereka
yang berada di luar bentuk-bentuk politik progresif, dari gerakan hak-hak sipil
(civil rights movement), politik jender, hingga perjuangan ekologis
kontemporer. Pendekatannya ini terbukti begitu populer dan secara umum dapat diadaptasikan
karena Gramsci sendiri ialah seorang aktivis dan kepedulian fundamentalnya
adalah terhadap strategi progresif. Maka meskipun dalam artikel ini saya
berencana memberikan gambaran umum tentang teori hegemoni Gramsci dan
sebab-sebab di balik formulasinya, yang penting adalah agar kita meneruskan ini
dengan memikirkan bagaimana kita dapat menggunakan konsep-konsep ini secara
strategis dalam perjuangan kita.
Apa itu hegemoni?
Tampaknya tidaklah
pantas memulai diskusi ini dengan bertanya "Apa itu hegemoni?" Ini
rupanya susah untuk dijawab ketika kita membicarakan Gramsci, karena,
setidaknya dalam The Prison Notebooks, ia tidak pernah memberikan definisi yang
pas terhadap istilah itu. Ini mungkin alasan utama kenapa terdapat begitu
banyak ketidak-konsistenan dalam literatur hegemoni - orang cenderung membentuk
definisinya sendiri, berdasarkan pembacaan mereka sendiri terhadap Gramsci dan
sumber-sumber lainnya. Yang menjadi masalah di sini adalah bila seseorang
membaca Gramsci secara setengah-setengah maka definisi mereka pun seperti itu.
Contohnya, Martin Clark
(1977, p.2) mendefinisikan hegemoni sebagai "cara kelas penguasa
mengontrol media dan pendidikan". Meskipun definisi ini mungkin lebih
sempit dari biasanya, ia mencerminkan kesalahan-pembacaan yang biasa terjadi
terhadap konsep tersebut, yakni bahwa hegemoni adalah cara kelas penguasa
mengontrol institusi-institusi yang mengontrol atau mempengaruhi pemikiran
kita. Walau demikian, kebanyakan literatur hegemoni di kalangan akademik dan
aktivis mengambil sudut pandang yang sedikit lebih lebar dari ini, dengan
menyertakan lebih banyak institusi dalam pelakasanaan hegemoni - setidaknya
menyertakan juga militer dan sistem politik. Problemnya adalah bahkan ketika
institusi-institusi ini diperhitungkan, fokusnya cenderung eksklusif kepada
kelas penguasa, dan metode-metode kontrolnya. Hegemoni sering kali digunakan
untuk menggambarkan cara kelas-kelas kapitalis menginfiltrasi pikiran rakyat
dan menerapkan dominasinya. Yang luput dari definisi ini adalah Gramsci tidak
hanya menggunakan istilah "hegemoni" untuk menggambarkan aktivitas
kelas penguasa, ia juga menggunakannya untuk mendeskripsikan pengaruh yang
diberikan oleh kekuatan-kekuatan progresif. Dengan mencamkan hal ini, kita
dapat melihat bahwa hegemoni seharusnya didefinisikan sebagai hal yang
dilakukan bukan saja oleh kelas penguasa, faktanya ia adalah proses di mana
kelompok-kelompok sosial - apakah mereka progresif, regresif, reformis, dsb. -
meraih kekuasaan untuk memimpin, bagaimana mereka memperluas kekuasaan mereka
dan mempertahankannya.
Untuk memahami apa yang
coba dicapai oleh Gramsci ketika mengembangkan teori hegemoninya, kita butuh
melihat konteks historis yang ia hadapi maupun perdebatan dalam pergerakan di
masa itu. Istilah "hegemoni" sudah umum digunakan oleh lingkaran
sosialis sejak awal abad 20. Penggunaannya menunjukkan bahwa bila suatu
kelompok digambarkan sebagai "hegemonik" maka ia menempati posisi
kepemimpinan dalam suatu ranah politik tertentu (Boothman, 2008).
Penggunaan istilah hegemoninya
(istilah Rusia untuk hegemoni, sering diterjemahkan sebagai
"vanguard") oleh Lenin tampak menyiratkan suatu proses yang lebih
mirip dengan apa yang digambarkan oleh Gramsci. Dalam upayanya mengkatalisis
Revolusi Rusia, Lenin (1902/1963) melakukan pengamatan bahwa ketika dibiarkan
mengurus sendiri, kaum pekerja cenderung hanya mencapai kesadaran serikat
buruh, memperjuangkan keadaan yang lebih baik dalam sistem yang ada. Untuk
menghadirkan perubahan revolusioner, ia berargumen bahwa kaum Bolshevik perlu
menempati posisi hegemonik dalam perjuangan menentang rejim tsaris. Ini artinya
bukan saja memberdayakan berbagai serikat pekerja dengan menyatukan mereka,
tapi juga melibatkan semua "strata oposisi" dalam masyarakat ke dalam
gerakan, menarik hubungan-hubungan di antara semua bentuk "penindasan
politik dan kesewenang-wenangan otokratik" (Lenin, 1963, pp 86-87).
Namun, dalam periode
paska-revolusioner implikasinya berubah. Lenin berargumen bahwa hal-hal krusial
untuk mendirikan "hegemoni proletariat" adalah (a) kaum proletariat
perkotaan mempertahankan aliansinya dengan kaum tani pedesaan (yang merupakan
mayoritas penduduk Rusia) untuk mempertahankan kepemimpinan nasional dan (b)
keahlian kaum kapitalis lama digunakan, dengan memaksa mereka untuk secara
efektif mengelola industri-industri negara. Kedua proses kepemimpinan ini yang
dilakukan via konsensus dan penggunaan paksaan dalam pengembangan hegemoni akan
memainkan peran yang krusial dalam teori Gramsci. Dari tahun 1922-23 Gramsci
berada di Rusia ketika perdebatan-perdebatan ini sedang menggelora dan setelah
masa-masa inilah kita melihat hegemoni mulai menempati peran sentral dalam
tulisan-tulisannya.
Italia
Di samping pengaruh
yang diakibatkan oleh jalannya peristiwa di Rusia, Gramsci juga dipengaruhi
oleh pengalaman politiknya sendirinya. Gramsci sangat terlibat dalam perjuangan
melawan kapitalisme dan fasisme di Italia dan untuk beberapa waktu ia merupakan
pemimpin Partai Komunis Italia. Dalam periode setelah Perang Dunia I, terdapat
optimisme yang besar di Eropa, dan khususnya di Italia, karena saat itu rakyat
melihat kebiadaban yang dilakukan oleh kelas-kelas penguasa, sementara di Rusia
suatu alternatif sedang berkembang, sehingga semacam revolusi kaum pekerja di
Eropa pun mulai tampak di permukaan.
Gramsci tentunya
meyakini optimisme ini. Peristiwa yang berlangsung di awal 1920an tampak
mengonfirmasikan ini. Ketegangan dalam semua strata masyarakat adalah tinggi,
terdapat agitasi massa dan rakyat membentuk dewan-dewan pabrik dan koperasi pekerja.
Tapi terlepas dari mobilisasi yang intens ini, itu semua padam dengan segera.
Serikat-serikat buruh terkooptasi, koperasi pekerja menjadi tersingkir dan tak
kompetitif. Rakyat biasa diintimidasi oleh elit atau terpesona oleh daya tarik
retorika fasis.
Gramsci dan beberapa
lainnya membentuk Partai Komunis Italia untuk mencoba membangkitkan kembali
pergerakan, tapi nyatalah bahwa rakyat telah pupus harapan akibat kegagalan di
tahun-tahun sebelumnya untuk bisa terlibat kembali. Suara untuk Partai Komunis
begitu sedikit dan mengecewakan. Ketika Gramsci ditahan pada 1926 sebagai
bagian dari tindakan darurat Mussolini, ia mendapatkan banyak waktu di penjara
untuk merefleksikan apa yang terjadi dan apa yang salah. Bagaimana kelas
penguasa dapat begitu efektif mencekik potensi gerakan, dan apa yang dibutuhkan
oleh kekuatan-kekuatan progresif untuk memobilisasi massa sehingga mereka mampu
membawa perubahan fundamental dalam masyarakat? Pertanyaan-pertanyaan ini
tentunya menjadi sentral dalam teori hegemoni Gramsci.
Tahapan
Sebagaimana dijelaskan
di atas, dalam The Prison Notebooks Gramsci mengacu pada hegemoni untuk
menggambarkan aktivitas kelompok yang sedang dominan maupun kekuatan-kekuatan
progresif. Bagi Gramsci, apa pun kelompok sosialnya, kita dapat melihat bahwa
terdapat tahapan perkembangan bersama tertentu yang harus mereka lalui sebelum
mereka dapat menjadi hegemonik. Mengambil dari Marx, persyaratan pertama adalah
ekonomi: bahwa kekuatan material telah cukup dikembangkan sehingga orang-orang
di dalamnya mampu memecahkan problem-problem sosial yang paling mendesak.
Gramsci kemudian berlanjut menyatakan bahwa terdapat tiga tingkat perkembangan
politik yang harus dilalui suatu kelompok sosial agar dapat mengembangkan
gerakan yang dapat memulai perubahan.
Tahap pertama dari ini
disebut "korporat-ekonomis". Seorang korporatis mungkin adalah apa
yang kita pahami sebagai individu yang mengutamakan kepentingannya sendiri.
Seseorang berafiliasi dengan tahap korporat-ekonomis sebagai fungsi dari kepentingan
pribadinya, menyadari bahwa mereka membutuhkan dukungan orang lain untuk
memperoleh keamanan mereka sendiri. Serikat-buruhisme mungkin merupakan contoh
terjelas untuk ini, setidaknya dalam kasus di mana orang bergabung dengan
serikat buruh karena takut gajinya dipotong, penyusutan dsb. Dalam istilah ini,
kita juga dapat memasukkan kerjasama jangka-pendek antara kapitalis-kapitalis
yang sesungguhnya saling berkompetisi satu sama lainnya. Hal yang ditekankan
adalah: pada tahap perkembangan historik ini, kelompok yang bersangkutan belum
memiliki rasa solidaritas di antara anggota-anggotanya.
Dalam tahap kedua,
anggota-anggota kelompok mulai menyadari bahwa terdapat wilayah kepentingan
yang lebih luas dan bahwa terdapat orang lain yang berbagi kepentingan dengan
mereka dan akan terus membagi kepentingan-kepentingan ini dalam masa depan yang
terjangkau. Dalam tahap inilah rasa solidaritas berkembang, tapi solidaritas
ini masihlah hanya berbasiskan kepentingan ekonomi bersama. Tidak terdapat
pandangan dunia bersama atau apa pun semacam itu. Solidaritas seperti ini dapat
mengarah pada upaya-upaya untuk menggalakkan reformasi-reformasi di bidang
hukum untuk memperbaiki posisi kelompok tersebut dalam sistem yang ada, tapi
belum ada kesadaran tentang bagaimana mereka, dan yang lainnya, dapat
diuntungkan oleh pembentukan sistem yang baru.
Hanya dengan melewati
tahap ketiga maka hegemoni dapat benar-benar menjadi mungkin. Dalam tahap ini,
anggota-anggota kelompok sosial mulai menyadari kepentingan dan kebutuhan untuk
menjangkau melampaui apa yang dapat mereka lakukan dalam konteks kelas-kelas
mereka tersendiri. Yang dibutuhkan adalah agar kepentingan mereka turut diusung
oleh kelompok-kelompok lainnya yang tersubordinasi seperti halnya mereka.
Inilah yang dipikirkan oleh Lenin dan kaum Bolshevik dalam membentuk aliansi
dengan kaum tani - bahwa hanya dengan membuat revolusi Bolshevik juga menjadi
revolusi kaum tani, di mana kaum tani juga melihat itu sebagi revolusi mereka,
maka kaum proletariat perkotaan dapat mempertahankan posisi kepemimpinannya.
Gramsci memahami bahwa
dalam konteks historis yang sedang dikerjakannya, berjalannya suatu kelompok
sosial dari reformisme atas kepentingan pribadi menuju hegemoni nasional dapat
terjadi secara efektif via partai politik. Dalam formulasi yang kompleks ini,
beragam ideologi kelompok-kelompok yang beraliansi akan berkumpul. Tak
dielakkan lagi akan terjadi konflik antara ideologi-ideologi ini, dan melalui
proses perdebatan dan pertarungan, satu ideologi, atau kombinasi penyatuan
darinya, akan muncul mewakili kelas-kelas yang beraliansi. Ideologi ini dapat
dibilang hegemonik, kelompok yang mewakilinya telah meraih posisi hegemonik
atas kelompok-kelompok yang tersubordinasi. Dalam tahap ini, partai mencapai
kedewasaan dengan meraih kesatuan antara tujuan ekonomi dan politik maupun
kesatuan moral dan intelektual - dapat dikatakan sebagai saling berbagi suatu
pandangan dunia.
Dengan persatuan ini di
belakangnya, partai mentransformasi masyarakat untuk meletakkan persyaratan
bagi ekspansi kelompok hegemonik. Negara menjadi mekanisme untuk melakukan ini:
kebijakan dihasilkan dan ditegakkan untuk memungkinkan kelompok hegemonik
mencapai tujuan-tujuannya secara efektif dan menciptakan simetri antara
tujuannya dan tujuan kelompok-kelompok lainnya. Meskipun tujuan-tujuan ini
diformulasikan dengan pemikiran untuk memajukan kepentingan satu kelompok,
walau demikian tujuan-tujuan tersebut harus dialami oleh penduduk sebagai
kepentingan semua orang. Agar ini berjalan efektif, kelompok hegemonik harus memiliki
suatu bentuk tertentu dalam menangani kepentingan kelas-kelas yang
tersubordinasi. Kepentingan yang dominan tidak dapat dengan begitu saja
diterapkan kepada mereka.
Hegemoni Progresif
Meskipun Gramsci
menganggap langkah-langkah pragmatis tersebut dibutuhkan oleh tiap kelompok
yang hendak meraih kekuasaan, ia juga memiliki kepedulian etis yang sangat
mendalam terhadap cara berjalannya proses tersebut. Dalam pengertian ini, kita
dapat menemukan dalam karya Gramsci perbedaan kualitatif antara pelaksanaan
hegemoni oleh kelompok regresif dan otoriter di satu pihak, dan
kelompok-kelompok sosial di pihak lainnya. Dalam tingkat etika, Gramsci di atas
segalanya ialah seorang anti-dogmatis yang meyakini bahwa kebenaran tak dapat
diterapkan begitu saja dari atas-ke-bawah, tapi hanya melalui dialog yang
konkrit dan simpatik dengan rakyat. Kalau hegemoni regresif melibatkan
penerapan serangkaian nilai-nilai yang tak ternegosiasikan kepada rakyat,
terutama melalui paksaan (koersi) dan penipuan, hegemoni progresif akan
berkembang dengan persetujuan (konsen) masyarakat yang diraih secara
demokratis. Untuk memperjelas perbedaan-perbedaan ini, sisa dari artikel ini
akan mengelaborasikan berbagai cara Gramsci membicarakan tentang hegemoni
kelas-kelas penguasa saat ini maupun yang lalu dan bagaimana ini bertolak
belakang dengan hegemoni progresif yang diharapkan untuk disaksikannya di masa
depan.
Jelaslah bila kita
menelusuri sejarah, kelas kapitalis memegang hegemoninya terutama melalui
berbagai bentuk paksaan (koersi), yang berkisar dari penempatan militer secara
langsung hingga bentuk-bentuk yang lebih halus, contohnya, menggunakan kekuatan
ekonomi untuk menyingkirkan lawan politik. Namun, adalah suatu kesalahan besar
untuk berpikir bahwa kapitalisme tidak pula bergantung pada pembangunan
persetujuan atau konsensus. Bahkan dapat diargumentasikan bahwa
pembangunan-konsensus kapitalisme lah yang dari sudut pandang strategis perlu
kita beri perhatian lebih mendalam, karena di tingkat inilah kita berkompetisi
dengan mereka. Sifat dan kekuatan konsensus ini beragam. Ada cara-cara di mana
kapitalisme sukses secara aktif menjual visinya kepada kelas-kelas yang
tersubordinasi. Ini bukan berarti sekedar menjual visi terdistorsi tentang
suatu masyarakat yang bebas, merdeka, inovatif, dsb, tapi juga menggunakan
ide-ide ekonomi borjuis untuk meyakinkan kelas pekerja untuk meyakini bahwa,
contohnya, meskipun kebijakan kapitalis adalah kepentingan utama kelas
kapitalis, mereka pun akan meraih keuntungan via dampak tetesan-ke-bawah (trickle
down effects). Kapitalisme juga dapat memenangkan persetujuan atau konsensus di
antara mereka yang mungkin tidak mempercayai bahwa sistem yang ada adalah untuk
kepentingan mereka, namun meyakini bahwa tidak ada alternatif atau bahwa
alternatif akan lebih buruk - dengan kata lain, dengan menggalakan keyakinan
bahwa sistem yang ada merupakan suatu keharusan yang dibutuhkan (necessary
evil).
Abad ke-20 menyaksikan
kapitalisme memperluas secara massif bentuk konsensus ini, terutama melalui
kontrol korporasi dalam media dan periklanan. Di Amerika Serikat khususnya,
penggalakkan "American dream", dan semua komoditas tak bermanfaat
yang dibutuhkan untuk meraihnya, tidak hanya berguna untuk menggenjot konsumsi
dan sekaligus menguntungkan kepentingan ekonomi kaum kapitalis; ia juga menjual
suatu gaya hidup yang hanya dapat diberikan oleh kapitalisme. Ini tentunya
dibantu selama Perang Dingin dengan berbagai upaya simultan untuk mencap tiap
alternatif terhadap kapitalisme sebagai perbudakan. Kelas kapitalis menentang
tiap kebijakan yang berupaya menyaingi media milik korporasi dengan menggunakan
kekuatan politik hegemoniknya untuk menciptakan kondisi-kondisi bagi
pembangunan konsensus lebih jauh, yang kemudian akan memperluas kepentingan
mereka. Kelompok hegemonik akan terus berjuang dengan cara-cara ini untuk
mencapai tingkat konsensus yang lebih besar - dalam kasus ini dengan mengunci
rakyat ke dalam cara berpikir yang kaku dan menggilas tiap optimisme.
Sindikalisme
Beberapa bentuk
serikat-buruhisme tertentu dapat juga menjadi contoh hegemoni kapitalis. Apa
yang Gramsci sebut sebagai "sindikalisme" - pandangan bahwa kondisi
kelas pekerja dapat diangkat secara maksimal dengan meningkatkan kekuatan
serikat buruh - mencerminkan suatu kelompok sosial (para pekerja) yang
terperosok dalam tahap perkembangan korporat-ekonomis akibat pengaruh hegemonik
kapitalis, terutama para pembela perdagangan bebas (free trade), dalam ranah
ideologi. Para pembela perdagangan bebas berargumen bahwa negara dan masyarakat
sipil harus tetap terpisah, bahwa negara harus keluar dari ranah ekonomi, yang
berfungsi secara otonom - serahkan itu kepada "tangan pasar yang tak kasat
mata" dan seterusnya.
Kaum sindikalis
mengadopsi asumsi tentang pemisahan antara ranah sosial dan ekonomi di satu
sisi dan ranah politik di sisi lainnya, dan mengasumsikan bahwa mereka dapat
membawa perubahan radikal tanpa perwakilan politik. Hasil konkrit dari ini
adalah mereka hanya dapat bernegosiasi untuk perbaikan-perbaikan yang
berpengertian sempit dalam ranah ekonomi, tanpa perubahan kebijakan yang
memungkinkan kemenangan-kemenangan ini meraih basis yang lebih permanen.
Sementara para pembela perdagangan bebas justru secara aktif terlibat dalam
penentuan kebijakan (meskipun klaim mereka mengatakan lain) yang menciptakan
kondisi-kondisi yang menguntungkan kelas kapitalis! Namun, ketika kepentingan kelas kapitalis secara langsung
terancam, kekuatan hegemonik tak pelak lagi beralih ke paksaan. Tidak ada lagi
ruang untuk menegosiasikan ini, dalam tatanan hegemonik yang ada. Dalam tingkat
sederhana, ini dapat berarti membuat legislasi yang memungkinkan polisi
menyerang pekerja yang melaksanakan aksi-aksi industrial, yang mengancam profit
secara langsung. Tapi ancaman terbesar terhadap kapitalis adalah perkembangan
alternatif hegemonik dalam masyarakat sipil. Ancamannya adalah rakyat akan
beralih dari fase korporat-ekonomis, dan menyadari bahwa kepentingan mereka
bersinggungan dengan semua pihak yang dipinggirkan oleh kapitalisme dan melawan
balik, bahwa mereka akan menyadari kekuatan mereka dan menuntut perubahan
radikal.
Karena ini merupakan
ancaman terbesar terhadap kapital, cara paling efektif baginya untuk
menggunakan paksaan adalah dengan memecah belah aliansi-aliansi progresif
antara kelompok-kelompok yang tersubordinasi. Ketika dihadapkan pada kekerasan
dan ancaman-ancaman ekonomi, orang lebih tidak mampu menghubungkan dirinya
dengan kelompok. Kekuatiran untuk bertahan hidup berarti bahwa tiap orang harus
mempertahankan kepentingan mereka secara individual. Hegemoni progresif dari
pergerakan menjadi terhambat, karena tiap orang dipaksa untuk bertindak secara
korporatis. Kelas penguasa juga dapat berupaya memecah belah gerakan secara
kasar dengan memanas-manasi perbedaan ideologi, contohnya dengan berseru
tentang agama.
Demokrasi dan konsensus
Gramsci memandang bahwa
perkembangan hegemoni progresif melibatkan lebih banyak keterbukaan, demokrasi
dan konsensus, dibandingkan paksaan. Kalau pun terdapat paksaan, itu seharusnya
ada untuk melawan kekuatan-kekuatan reaksioner yang hendak menjegal
perkembangan masyarakat. Ini akan memberikan ruang kepada massa untuk meraih
potensi mereka. Bagian yang besar dari The Prison Notebooks diberikan untuk
mencari tahu apa yang dibutuhkan untuk mengembangkan hegemoni semacam ini, dan
banyak pemikir Gramscian sejak itu mendedikasikan diri mereka untuk menjawab
teka-teki ini.
Sebagai awalan, kita
dapat mengatakan bahwa hegemoni yang ada mencoba menjaga agar kelompok-kelompok
yang dikecewakan dan tersubordinasi tetap tercerai berai, hegemoni progresif
yang hendak bangkit harusnya mempersatukan mereka. Gramsci tentunya melihat
tantangan yang ada di sini. Dalam situasi historisnya sendiri (dan tak
diragukan lagi masih demikian pada masa kita kini) terdapat rintangan-rintangan
yang cukup besar antara kelompok-kelompok yang terpinggirkan dalam hal
pengalaman, bahasa dan pandangan-dunia. Namun, yang sama-sama dimiliki oleh
semua kelompok ini adalah tidak ada dari mereka yang memiliki perwakilan
politik yang memadai dalam sistem yang ada. Gramsci menyebut kelompok-kelompok
yang tak memiliki perwakilan politik ini "subalternus". Tantangan
kelompok hegenomik adalah memberikan kritik terhadap sistem yang ada dengan
sedemikian rupa sehingga kelompok-kelompok subalternus tersebut menyadari
kesamaan nasib mereka dan kemudian "bangkit" ke dalam kehidupan
politik partai. Untuk memfasilitasi penggabungan oleh pihak-pihak lainnya ini,
Gramsci menekankan perlunya kelompok hegemonik untuk bergerak melampaui
pemahaman kepentingannya sendiri yang korporatis-ekonomis, mengorbankan
beberapa tujuan ekonomi yang mendesak demi kesatuan moral dan intelektual yang
lebih mendalam. Ia harus meninggalkan prasangka-prasangka dan dogma-dogma
tradisionalnya dan mengambil pandangan yang lebih luas bila hendak memimpin
sambil mendapat kepercayaan dan konsensus (keduanya dibutuhkan untuk
mengalahkan kekuasaan yang ada).
Bila kekuatan yang
segaris ini hendak memiliki pengaruh historis yang penting, mereka harus
langgeng dan secara organik/menyatu berhubungan dengan kondisi-kondisi di
lapangan, bukan sekedar konvergensi sesaat. Untuk mengembangkan momentum massa,
mereka harus mendemonstrasikan, baik dalam imajinasi rakyat maupun dalam aksi,
bahwa mereka mampu meraih kekuasaan dan melaksanakan tugas-tugas yang mereka
tetapkan sendiri. Tugas-tugas ini harus secara efektif menjadi tugas setiap
orang - mereka harus mewakili tiap aspirasi, dan menjadi pemenuhan dari tugas
gerakan-gerakan yang tidak berhasil dalam generasi sebelumnya.
Demonstrasi kekuasaan
dan pengaruh historis seperti itu tidak dapat dicapai melalui aksi pasif.
Contoh yang Gramsci gunakan di sini adalah pemogokan umum. Bila gerakan
tersebut sekedar mewakili penolakan terhadap sistem yang ada atau
non-partisipasi terhadapnya, maka itu akan segera berfragmentasi menjadi
ide-ide unik tiap individu tentang apa yang harus menggantikan sistem yang ada
justru pada saat ketika persatuan adalah yang paling dibutuhkan. Ia harus
merupakan perwujudan aktif kehendak kolektif, yang terkristalisasi dalam suatu
agenda perubahan yang konstruktif dan konkrit. [garis miring tebal oleh
penerjemah] Jelaslah ini bukan tugas mudah, dan Gramsci tentunya tidak
berpandangan bahwa kita dapat menerapkan strategi-strategi ini seperti halnya
mengikuti manual. Yang dibutuhkan adalah kerja sungguh-sungguh di lapangan
untuk meletakkan medan-medan moral dan intelektual di mana perkembangan
historis ini dapat muncul. Kita harus mengembangkan kesatuan, kesadaran dan
kedewasaan gerakan, membuatnya menjadi kekuatan yang kuat dan kohesif, dan
kemudian dengan sabar, dengan perhatian seksama terhadap kondisi kontekstual,
menanti momen yang menguntungkan untuk menggunakan kekuatan ini.
Momen krisis
Momen ini adalah momen
krisis dalam hegemoni dominan yang ada: momen di mana penduduk semakin melihat
jelas bahwa kelas penguasa tidak lagi mampu menyelesaikan isu-isu paling
mendesak bagi kemanusiaan. Asalkan kekuatan progresif dapat secara memadai
memberikan alternatif pada saat ini dan kelas penguasa tidak mampu dengan
segera membangun kembali konsensus, menjadi jelaslah bahwa kondisi di mana
kelompok penguasa menjadi hegemonik mulai berlalu dan masyarakat dapat secara
kolektif berkata "Kami tak membutuhkanmu lagi." Gramsci menyebut
proses pembersihan sejarah ini "katarsis" di mana "struktur
berhenti menjadi kekuatan eksternal yang menekan manusia, mengasimilasi manusia
dan membuatnya pasif; dan ia ditransformasikan menjadi alat kebebasan, suatu
instrumen untuk menciptakan bentuk etika-politik baru dan sumber inisiatif
baru." (Ggramsci, 1971, p.367.)
Bagi Gramsci, kebutuhan
akan transisi ini dari dunia sebagaimana apa adanya menuju kebebasan
menciptakan dunia baru harus menjadi awalan dari semua strategi Marxis.
Jadi, apa yang
ditawarkan Gramsci kepada kita? Penekanannya bahwa bentuk politik sosialis
haruslah berupa keterbukaan, demokrasi dan pembangunan konsensus. Ini tentunya
memberikan kita visi dan fokus yang lebih luas dan kita benar-benar perlu
menginformasikan aktivitas semua kelompok politik. Bila bukan karena alasan
etis, setidaknya karena dalam lingkungan saat ini, tanpa kesediaan untuk
bekerja secara tulus membangun konsensus dengan lainnya, peluang keberhasilan
kita akan sangat sempit. (Kita bukan kelas penguasa - kita tidak memiliki alat
paksaan). Namun lebih dari ini, Gramsci memberikan kita cara berpikir; ia
memberikan kita alat konseptual untuk membedah situasi politik yang kita
hadapi, untuk memandangnya dalam konteks historis dan untuk memahami di
mana-mana saja kita dapat menemukan persyaratan-persyaratan untuk mengembangkan
kekuatan kita lebih jauh lagi.
No comments:
Post a Comment