Translate

Wednesday, March 25, 2015

Feminisme, Teori Kritis Terhadap Realisme

Feminisme

Hubungan Internasional melalui Pendekatan Gender dengan Perspektif Feminisme
Pengaruh Feminisme dalam hubungan internasional baru dimuali di akhir tahun 80an. Definisi mengenai feminisme sendiri mengarah pada persoalan yang dihadapi perempuan dan juga gerakan yang dilakukan oleh beberapa kelompok wanita. Namun demikian secara umum, ide mengenai Feminisme muncul sejak abad pencerahan dimana ide mengenai persamaan hak bagi manusia mulai diakui. Hal ini kemudian mendorong munculnya ide pembebasan (emancipatory) bagi kaum perempuan dalam bidang sosial, ekonomi maupun politik (Burchill dan Linklater, 1996: 281).

Ada dua hal penting yang perlu digarisbawahi dalam pemahaman prespektif Feminisme. Pertama adalah seks atau jenis kelamin. Jenis kelamin merupakan suatu hal kodrat atau God given yang tidak bisa diubah dan bersifaf biologis dengan disertai simbol-simbol tertentu untuk mengenalinya (Dugis, 2014). Namun pada praktek di dalam masyarakat, jenis kelamin kemudian menjadi penentu posisi sosial-budaya, ekonomi dan politik. Pemahaman inilah yang kemudian mendorong munculnya konsep kedua, yaitu gender. Konsep ini muncul karena ketertarikan kaum feminis terhadap karakteristik tertentu yang dipercaya merupakan 'milik' laki-laki atau perempuan. Misal, sifat agresif dan kompetitif dianggap sebagai milik laki-laki, sedangkan emosional dan patuh dianggap sebagai milik perempuan. Sehingga, secara garis besar, gender dimaknai sebagai sesuatu yang bersifat sosiologis, tidak ada simbol, membahas tentang femaleness dan maleness serta merupakan konstruksi sosial dalam masyarakat tertentu (Dugis, 2014).

Feminisme adalah satu dari kajian emancipatory dalam studi Hubungan Internasional, selain posmodernisme dan teori kritis. Feminisme berkembang didorong oleh munculnya perempuan-perempuan modern dan kontemporer yang mulai mengintervensi segala aspek kehidupan, misalnya keterlibatan mereka dalam kegiatan militer dan ekonomi global. Hal ini menggeser perspektif tradisional dan mengancam dasar-dasar ontologis dan epistemologis Hubungan Internasional. Permasalahan gender dalam HI merupakan perdebatan mendasar antara laki-laki dan perempuan dan dampak dari perbedaan tersebut dalam politik dunia. Gender mengacu pada perilaku dan harapan yang dipelajari secara sosial yang membedakan antara maskulinitas dan feminitas, dimana kualitas yang dikaitkan dengan maskulinitas (seperti rasionalitas, ambisi, dan kekuatan) diberi nilai dan status tinggi dibanding kualitas yang dikaitkan dengan feminitas (seperti emosionalitas, kapasitas, kelemahan) yang pada akhirnya menyebabkan hirarki gender (Jackson & Sorensen 1999, 332).

Berangkat dari kritik feminisme terhadap realisme, sebagai pemikiran yang mendominasi studi hubungan internasional, realisme justru dianggap menjadi pemikiran yang sangat berseberangan dengan pemikiran feminis. Dari banyaknya pemikir politik internasional yang berjenis kelamin laki-laki, hasil pemikiran yang mereka sumbangkan dalam studi Hubungan Internasional pun sarat dengan cara berpikir yang maskulin, terutama dalam pembuatan kebijakan dan kekuasaan. Salah satu pemikir feminis, Cynthia Enloe (1989:35), mengklaim bahwa ada pihak-pihak yang tidak terlibat sepenuhnya dalam pembuatan kebijakan negara, yaitu perempuan. Oleh karena itu, semua kebijakan yang dihasilkan tidak pernah mempertimbangkan pandangan dan atau pertimbangan perempuan. Isu atau persoalan yang dihadapi oleh perempuan tidak pernah menjadi agenda yang cukup penting untuk diulas. Demikian pula pandangan dan pertimbangan perempuan dalam persoalan-persoalan masyarakat domestik dan hubungan antar negara. Hal kedua yang menjadi kritikan kaum feminis terhadap realisme adalah konsep kekuasaan yang dianggap semata-mata berkutat pada wacana dominasi militer, ekonomi dan geografi. Sementara, salah seorang penulis feminis, Nancy Harstock, mengklaim bahwa kekuasaan tidak selalu identik dengan penguasaan yang bersifat fisik. Melainkan, Harstock lebih memaknainya sebagai energi, kapasitas dan potensi.

Dengan prespektif liberalisme, feminisme memiliki pandangan yang sama dalam memandang hubungan antar negara. Feminisme juga meyakini bahwa hubungan antar negara mestinya dikelola tidak dengan cara-cara paksaan, kekerasan dan dominasi yang cenderung bersifat maskulin, melainkan dapat dikelola melalui upaya-upaya yang feminim seperti kompromi dan kerjasama. Feminisme mulai berseberangan dengan pemahaman liberal karena liberalisme tidak memberikan perhatian kepada dampak dari perdagangan bebas dan struktur kapitalis. Perempuan menjadi terpinggirkan karena masih ada pandangan bahwa kaum perempuan adalah kaum subordinan laki-laki. Kaum feminis mengganggap bahwa eksploitasi perempuan justru terjadi pada sistem kapitalisme. Sebagai pekerja yang dianggap tidak memiliki kapabilitas yang sama dengan laki-laki (second class worker) maka perempuan memiliki kecenderungan untuk dibayar dengan upah yang lebih rendah. Padahal mereka menghadapi kondisi pekerjaan dan resiko yang sama dengan laki-laki.

Dalam buku Jackson dan Sorensen (1999, 335-337) disebutkan tiga pendekatan teoritis utama pada gender, yaitu feminisme liberal, feminisme marxis/sosialis, dan feminisme radikal. Feminisme liberal memiliki hak-hak yang sama bagi laki-laki dan perempuan sebagai hirauan utamanya, serta kebebasan dan kebahagiaan manusia perorangan. Feminisme liberal mengkritik kondisi dimana perempuan tidak memiliki akses dan kesempatan ekonomi dan pendidikan yang sama seperti laki-laki. Feminis Marxis menggambarkan posisi perempuan rendah dalam struktur ekonomi, sosial, dan politik dari sistem kapitalis. Menurut Friedrich Engels, kapitalisme membangun bagian antara pekerjaan yang produktif di pabrik dan pekerjaan “yang tak terlihat” di bidang privat, di rumah. Laki-laki melakukan pekerjaan yang produktif, dibayar oleh pabrik, sedangkan perempuan melakukan pekerjaan rumah yang tak terlihat dan tidak dibayar. Mereka berpendapat satu-satunya jalan menuju perlakuan yang sama atas perempuan adalah menghancurkan sistem kapitalis. Sementara itu, perspektif feminisme radikal berbeda dengan feminisme lainnya, yaitu menolak setiap jenis kerjasama. Feminis radikal ingin mengembangkan analisis feminis yang lebih nyata dan lebih merdeka yang sepenuhnya dapat mencegah subordinasi gender pada agenda tradisional HI (Peterson & Runyan 1993, dalam Jackson & Sorensen 1999).

Tak jauh berbeda dengan pendekatan-pendekatan feminisme di atas, dalam tulisan Tickner dan Sjoberg (2007, 188-192), disebutkan ada beberapa tipologi teori feminis HI. Pertama, feminisme liberal yang menginvestigasi masalah-masalah subordinasi perempuan, seperti perempuan pengungsi, ketidaksetaraan pendapatan antara laki-laki dan perempuan, dan kekerasan terhadap hak asasi manusia, seperti perdagangan perempuan dan pemerkosaan. Kaum feminis liberal percaya bahwa kesetaraan perempuan bisa dicapai dengan menghilangkan undang-undang dan penghambat-penghambat lainnya yang menyangkal hak-hak dan kesempatan yang sama seperti laki-laki. Feminis liberal menggunakan gender sebagai variabel penjelas dalam analisis pembuatan kebijakan luar negeri, serta hasil kebijakan tertentu. Kedua, critical feminism yang menggambarkan bahwa dunia dalam stuktur historis dibangun oleh tiga kategori dari interaksi paksaan timbal balik yaitu kondisi materi, ide, dan institusi. Gagasan tentang kaum wanita dan feminitas memberi kontribusi dalam debat komunitas internasional, gender sebagai institusi yang menyusun kekuatan pada tiap level politik global. Feminis konstruktivis mengkaji proses bagaimana ide tentang gender mempengaruhi politik global sebagaimana politik global membentuk ide tentang gender. Ketiga, feminist post-structuralist yang menganggap bahwa pemahaman tentang realitas dimediasi melalui penggunaan bahasa. Oleh karena itu, mereka yang mengkonstruksi pengertian dan menciptakan pengetahuan mendapatkan power yang besar. Perempuan dianggap termarjinalkan baik sebagai knowers maupun sebagai subyek pengetahuan. Feminisme pos-strukturalis concern pada cara dikotomis konstruksi linguistik, seperti kuat/lemah, rasional/emosional, publik/privat, yang menguasakan maskulin di atas feminin. Mereka memandang gender sebagai sebuah konstruksi sosial yang kompleks dan mereka menekankan bahwa makna terucap dari gender secara konstan berkembang. Keempat, postcolonial feminism yang mengklaim tentang cara feminis barat telah mengkonstruksi pengetahuan tentang perempuan non-barat. Sebagaimana feminis telah mengkritik pengetahuan Barat karena asumsi yang salah tentang universalitas, padahal merupakan pengetahuan yang terkonstruksi terutama dari kehidupan laki-laki, feminis poskolonial melihat klaim salah universalisme muncul dari pengetahuan yang secara luas berdasarkan pengalaman perempuan Barat yang memiliki hak istimewa.

Kaum feminis meberikan sorotan terhadap konsepsi keamanan. Gillian Young (2007: 66) menengarai bahwa konsep keamanan dalam hubungan internasional selama ini telah dipengaruhi oleh konsep maskulinitas. Pengaruh ini dapat terlihat pada pemahaman bahwa kemanan hanyalah berkaitan dengan perang dan bentuk ancaman militer lainnya. Sementara kaum feminis menyadarkan bahwa ancaman yang sesungguhnya adalah dominasi dan tekanan laki-laki terhadap perempuan. Sehingga, keamanan hanya akan tercipta jika segala bentuk dominasi dan kepatuhan sepihak dihilangkan dan keadilan gender ditegakkan (Hudson, 2005: 18). Kaum feminis mendefinisikan security secara luas dalam hubungan multidimensional dan multilevel, sebagai pengurangan dari segala bentuk kekerasan, termasuk secara fisik, struktur, dan ekologi. Ancaman keamanan termasuk kekerasan domestik, pemerkosaan, kemiskinan, subordinasi gender, dan destruksi ekologi. Feminis tidak hanya mengkaji apa arti security namun juga siapa yang dijamin dalam security. Analisis tentang keamanan dimulai dari bawah dengan individual atau komunitas, daripada dalam konteks negara atau sistem internasional, karena keamanan individu berhubungan dengan politik nasional dan internasional dan bagaimana politik internasional berdampak pada keamanan induvidu bahkan pada level lokal.

Pengaruh ide feminis dalam perkembangan teori hubungan internasional cukup penting. Wacana baru mengenai pengambilan kebijakan yang selalu dilakukan oleh laki-laki telah meminggirkan banyak persoalan yang dihadapi perempuan. Oleh karena itu, gerakan feminis internasional berupaya untuk memasukkan beberapa agenda ke dalam sejumlah lembaga internasional yang telah ada. Mereka juga berusaha agar lembaga independen yang mereka bentuk sebagai wadah gerakan feminis yang bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan kebijakan dalam lembaga otoritas berskala internasional lebih memperhatikan beberapa isu yang penting bagi perempuan. Isu tersebut antara lain; kemiskinan, pendidikan, kesehatan kekerasan terhadap perempuan, akibat konflik bersenjata, struktur dan kebijakan ekonomi, pembagian kekuasaan, kemajuan bagi perempuan, hak perempuan, dan lain sebagainya. Saat ini, peran perempuan dalam sektor politik dan keamanan semakin terlihat meski hasilnya dinilai belum cukup signifikan. Keterlibatan perempuan dalam menyelesaikan isu internasional bisa dilihat dalam Bonn Agreement untuk menyelesaikan konflik di Afganistan dan dalam Interim Council untuk penyelesaian konflik Irak (Pettman, 2004: 26)

Dari penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa definisi mengenai feminisme sendiri mengarah pada persoalan yang dihadapi perempuan dan juga gerakan yang dilakukan oleh beberapa kelompok wanita. Feminisme dalam hubungan internasional baru dimuali di akhir tahun 80an. Namuni ide mengenai Feminisme muncul sejak abad pencerahan dimana ide mengenai persamaan hak bagi manusia mulai diakui. Terdapat perbedaan mendasar antara seks dan gender. Sex atau jenis kelamin merupakan suatu hal kodrat atau God given yang tidak bisa diubah dan bersifaf biologis dengan disertai simbol-simbol tertentu untuk mengenalinya. Sementara gender bersifat sosiologis, tidak ada simbol, serta membahas tentang femaleness dan maleness serta terbentuk atas konstruksi sosial. Sehingga, keamanan hanya akan tercipta jika segala bentuk dominasi dan kepatuhan sepihak dihilangkan dan keadilan gender ditegakkan.

Penulis berpendapat bahwa perspektif feminisme semakin membawa keberagaman dalam teori-teori Hubungan Internasional. Feminisme membawa pandangan baru yang selama ini belum pernah dikaji dan cenderung diabaikan oleh masyarakat. Penulis setuju dengan salah satu argumen kaum feminis yang mengatakan bahwa kemanan hanya akan tercipta jika dilakukan emancipatory gender. Sehingga tidak ada lagi dominasi dari suatu pihak dan sebaliknya pula, tidak ada kaum yang tereksploitasi.

No comments:

Post a Comment