Feminisme
Hubungan Internasional melalui Pendekatan Gender dengan
Perspektif Feminisme
Pengaruh Feminisme dalam hubungan internasional baru
dimuali di akhir tahun 80an. Definisi mengenai feminisme sendiri mengarah pada
persoalan yang dihadapi perempuan dan juga gerakan yang dilakukan oleh beberapa
kelompok wanita. Namun demikian secara umum, ide mengenai Feminisme muncul
sejak abad pencerahan dimana ide mengenai persamaan hak bagi manusia mulai
diakui. Hal ini kemudian mendorong munculnya ide pembebasan (emancipatory) bagi
kaum perempuan dalam bidang sosial, ekonomi maupun politik (Burchill dan
Linklater, 1996: 281).
Ada dua hal penting yang perlu digarisbawahi dalam
pemahaman prespektif Feminisme. Pertama adalah seks atau jenis kelamin. Jenis
kelamin merupakan suatu hal kodrat atau God given yang tidak bisa diubah dan
bersifaf biologis dengan disertai simbol-simbol tertentu untuk mengenalinya
(Dugis, 2014). Namun pada praktek di dalam masyarakat, jenis kelamin kemudian
menjadi penentu posisi sosial-budaya, ekonomi dan politik. Pemahaman inilah
yang kemudian mendorong munculnya konsep kedua, yaitu gender. Konsep ini muncul
karena ketertarikan kaum feminis terhadap karakteristik tertentu yang dipercaya
merupakan 'milik' laki-laki atau perempuan. Misal, sifat agresif dan kompetitif
dianggap sebagai milik laki-laki, sedangkan emosional dan patuh dianggap
sebagai milik perempuan. Sehingga, secara garis besar, gender dimaknai sebagai
sesuatu yang bersifat sosiologis, tidak ada simbol, membahas tentang femaleness
dan maleness serta merupakan konstruksi sosial dalam masyarakat tertentu
(Dugis, 2014).
Feminisme adalah satu dari kajian emancipatory dalam
studi Hubungan Internasional, selain posmodernisme dan teori kritis. Feminisme
berkembang didorong oleh munculnya perempuan-perempuan modern dan kontemporer
yang mulai mengintervensi segala aspek kehidupan, misalnya keterlibatan mereka
dalam kegiatan militer dan ekonomi global. Hal ini menggeser perspektif
tradisional dan mengancam dasar-dasar ontologis dan epistemologis Hubungan
Internasional. Permasalahan gender dalam HI merupakan perdebatan mendasar
antara laki-laki dan perempuan dan dampak dari perbedaan tersebut dalam politik
dunia. Gender mengacu pada perilaku dan harapan yang dipelajari secara sosial
yang membedakan antara maskulinitas dan feminitas, dimana kualitas yang
dikaitkan dengan maskulinitas (seperti rasionalitas, ambisi, dan kekuatan)
diberi nilai dan status tinggi dibanding kualitas yang dikaitkan dengan
feminitas (seperti emosionalitas, kapasitas, kelemahan) yang pada akhirnya
menyebabkan hirarki gender (Jackson & Sorensen 1999, 332).
Berangkat dari kritik feminisme terhadap realisme,
sebagai pemikiran yang mendominasi studi hubungan internasional, realisme
justru dianggap menjadi pemikiran yang sangat berseberangan dengan pemikiran
feminis. Dari banyaknya pemikir politik internasional yang berjenis kelamin
laki-laki, hasil pemikiran yang mereka sumbangkan dalam studi Hubungan
Internasional pun sarat dengan cara berpikir yang maskulin, terutama dalam
pembuatan kebijakan dan kekuasaan. Salah satu pemikir feminis, Cynthia Enloe
(1989:35), mengklaim bahwa ada pihak-pihak yang tidak terlibat sepenuhnya dalam
pembuatan kebijakan negara, yaitu perempuan. Oleh karena itu, semua kebijakan
yang dihasilkan tidak pernah mempertimbangkan pandangan dan atau pertimbangan
perempuan. Isu atau persoalan yang dihadapi oleh perempuan tidak pernah menjadi
agenda yang cukup penting untuk diulas. Demikian pula pandangan dan
pertimbangan perempuan dalam persoalan-persoalan masyarakat domestik dan
hubungan antar negara. Hal kedua yang menjadi kritikan kaum feminis terhadap
realisme adalah konsep kekuasaan yang dianggap semata-mata berkutat pada wacana
dominasi militer, ekonomi dan geografi. Sementara, salah seorang penulis
feminis, Nancy Harstock, mengklaim bahwa kekuasaan tidak selalu identik dengan
penguasaan yang bersifat fisik. Melainkan, Harstock lebih memaknainya sebagai
energi, kapasitas dan potensi.
Dengan prespektif liberalisme, feminisme memiliki
pandangan yang sama dalam memandang hubungan antar negara. Feminisme juga
meyakini bahwa hubungan antar negara mestinya dikelola tidak dengan cara-cara
paksaan, kekerasan dan dominasi yang cenderung bersifat maskulin, melainkan
dapat dikelola melalui upaya-upaya yang feminim seperti kompromi dan kerjasama.
Feminisme mulai berseberangan dengan pemahaman liberal karena liberalisme tidak
memberikan perhatian kepada dampak dari perdagangan bebas dan struktur
kapitalis. Perempuan menjadi terpinggirkan karena masih ada pandangan bahwa
kaum perempuan adalah kaum subordinan laki-laki. Kaum feminis mengganggap bahwa
eksploitasi perempuan justru terjadi pada sistem kapitalisme. Sebagai pekerja
yang dianggap tidak memiliki kapabilitas yang sama dengan laki-laki (second
class worker) maka perempuan memiliki kecenderungan untuk dibayar dengan upah
yang lebih rendah. Padahal mereka menghadapi kondisi pekerjaan dan resiko yang
sama dengan laki-laki.
Dalam buku Jackson dan Sorensen (1999, 335-337)
disebutkan tiga pendekatan teoritis utama pada gender, yaitu feminisme liberal,
feminisme marxis/sosialis, dan feminisme radikal. Feminisme liberal memiliki
hak-hak yang sama bagi laki-laki dan perempuan sebagai hirauan utamanya, serta
kebebasan dan kebahagiaan manusia perorangan. Feminisme liberal mengkritik
kondisi dimana perempuan tidak memiliki akses dan kesempatan ekonomi dan
pendidikan yang sama seperti laki-laki. Feminis Marxis menggambarkan posisi
perempuan rendah dalam struktur ekonomi, sosial, dan politik dari sistem
kapitalis. Menurut Friedrich Engels, kapitalisme membangun bagian antara
pekerjaan yang produktif di pabrik dan pekerjaan “yang tak terlihat” di bidang
privat, di rumah. Laki-laki melakukan pekerjaan yang produktif, dibayar oleh
pabrik, sedangkan perempuan melakukan pekerjaan rumah yang tak terlihat dan
tidak dibayar. Mereka berpendapat satu-satunya jalan menuju perlakuan yang sama
atas perempuan adalah menghancurkan sistem kapitalis. Sementara itu, perspektif
feminisme radikal berbeda dengan feminisme lainnya, yaitu menolak setiap jenis
kerjasama. Feminis radikal ingin mengembangkan analisis feminis yang lebih
nyata dan lebih merdeka yang sepenuhnya dapat mencegah subordinasi gender pada
agenda tradisional HI (Peterson & Runyan 1993, dalam Jackson & Sorensen
1999).
Tak jauh berbeda dengan pendekatan-pendekatan
feminisme di atas, dalam tulisan Tickner dan Sjoberg (2007, 188-192),
disebutkan ada beberapa tipologi teori feminis HI. Pertama, feminisme liberal
yang menginvestigasi masalah-masalah subordinasi perempuan, seperti perempuan
pengungsi, ketidaksetaraan pendapatan antara laki-laki dan perempuan, dan
kekerasan terhadap hak asasi manusia, seperti perdagangan perempuan dan
pemerkosaan. Kaum feminis liberal percaya bahwa kesetaraan perempuan bisa
dicapai dengan menghilangkan undang-undang dan penghambat-penghambat lainnya
yang menyangkal hak-hak dan kesempatan yang sama seperti laki-laki. Feminis
liberal menggunakan gender sebagai variabel penjelas dalam analisis pembuatan
kebijakan luar negeri, serta hasil kebijakan tertentu. Kedua, critical feminism
yang menggambarkan bahwa dunia dalam stuktur historis dibangun oleh tiga
kategori dari interaksi paksaan timbal balik yaitu kondisi materi, ide, dan institusi.
Gagasan tentang kaum wanita dan feminitas memberi kontribusi dalam debat
komunitas internasional, gender sebagai institusi yang menyusun kekuatan pada
tiap level politik global. Feminis konstruktivis mengkaji proses bagaimana ide
tentang gender mempengaruhi politik global sebagaimana politik global membentuk
ide tentang gender. Ketiga, feminist post-structuralist yang menganggap bahwa
pemahaman tentang realitas dimediasi melalui penggunaan bahasa. Oleh karena
itu, mereka yang mengkonstruksi pengertian dan menciptakan pengetahuan
mendapatkan power yang besar. Perempuan dianggap termarjinalkan baik sebagai
knowers maupun sebagai subyek pengetahuan. Feminisme pos-strukturalis concern
pada cara dikotomis konstruksi linguistik, seperti kuat/lemah, rasional/emosional,
publik/privat, yang menguasakan maskulin di atas feminin. Mereka memandang
gender sebagai sebuah konstruksi sosial yang kompleks dan mereka menekankan
bahwa makna terucap dari gender secara konstan berkembang. Keempat,
postcolonial feminism yang mengklaim tentang cara feminis barat telah
mengkonstruksi pengetahuan tentang perempuan non-barat. Sebagaimana feminis
telah mengkritik pengetahuan Barat karena asumsi yang salah tentang
universalitas, padahal merupakan pengetahuan yang terkonstruksi terutama dari
kehidupan laki-laki, feminis poskolonial melihat klaim salah universalisme
muncul dari pengetahuan yang secara luas berdasarkan pengalaman perempuan Barat
yang memiliki hak istimewa.
Kaum feminis meberikan sorotan terhadap konsepsi
keamanan. Gillian Young (2007: 66) menengarai bahwa konsep keamanan dalam
hubungan internasional selama ini telah dipengaruhi oleh konsep maskulinitas.
Pengaruh ini dapat terlihat pada pemahaman bahwa kemanan hanyalah berkaitan
dengan perang dan bentuk ancaman militer lainnya. Sementara kaum feminis
menyadarkan bahwa ancaman yang sesungguhnya adalah dominasi dan tekanan
laki-laki terhadap perempuan. Sehingga, keamanan hanya akan tercipta jika
segala bentuk dominasi dan kepatuhan sepihak dihilangkan dan keadilan gender ditegakkan
(Hudson, 2005: 18). Kaum feminis mendefinisikan security secara luas dalam
hubungan multidimensional dan multilevel, sebagai pengurangan dari segala
bentuk kekerasan, termasuk secara fisik, struktur, dan ekologi. Ancaman
keamanan termasuk kekerasan domestik, pemerkosaan, kemiskinan, subordinasi
gender, dan destruksi ekologi. Feminis tidak hanya mengkaji apa arti security
namun juga siapa yang dijamin dalam security. Analisis tentang keamanan dimulai
dari bawah dengan individual atau komunitas, daripada dalam konteks negara atau
sistem internasional, karena keamanan individu berhubungan dengan politik
nasional dan internasional dan bagaimana politik internasional berdampak pada
keamanan induvidu bahkan pada level lokal.
Pengaruh ide feminis dalam perkembangan teori
hubungan internasional cukup penting. Wacana baru mengenai pengambilan
kebijakan yang selalu dilakukan oleh laki-laki telah meminggirkan banyak
persoalan yang dihadapi perempuan. Oleh karena itu, gerakan feminis
internasional berupaya untuk memasukkan beberapa agenda ke dalam sejumlah
lembaga internasional yang telah ada. Mereka juga berusaha agar lembaga
independen yang mereka bentuk sebagai wadah gerakan feminis yang bertujuan
untuk mempengaruhi pengambilan kebijakan dalam lembaga otoritas berskala
internasional lebih memperhatikan beberapa isu yang penting bagi perempuan. Isu
tersebut antara lain; kemiskinan, pendidikan, kesehatan kekerasan terhadap
perempuan, akibat konflik bersenjata, struktur dan kebijakan ekonomi, pembagian
kekuasaan, kemajuan bagi perempuan, hak perempuan, dan lain sebagainya. Saat
ini, peran perempuan dalam sektor politik dan keamanan semakin terlihat meski
hasilnya dinilai belum cukup signifikan. Keterlibatan perempuan dalam
menyelesaikan isu internasional bisa dilihat dalam Bonn Agreement untuk
menyelesaikan konflik di Afganistan dan dalam Interim Council untuk
penyelesaian konflik Irak (Pettman, 2004: 26)
Dari penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa definisi mengenai feminisme sendiri mengarah pada persoalan yang dihadapi
perempuan dan juga gerakan yang dilakukan oleh beberapa kelompok wanita.
Feminisme dalam hubungan internasional baru dimuali di akhir tahun 80an. Namuni
ide mengenai Feminisme muncul sejak abad pencerahan dimana ide mengenai
persamaan hak bagi manusia mulai diakui. Terdapat perbedaan mendasar antara
seks dan gender. Sex atau jenis kelamin merupakan suatu hal kodrat atau God
given yang tidak bisa diubah dan bersifaf biologis dengan disertai
simbol-simbol tertentu untuk mengenalinya. Sementara gender bersifat
sosiologis, tidak ada simbol, serta membahas tentang femaleness dan maleness
serta terbentuk atas konstruksi sosial. Sehingga, keamanan hanya akan tercipta
jika segala bentuk dominasi dan kepatuhan sepihak dihilangkan dan keadilan gender
ditegakkan.
Penulis berpendapat bahwa perspektif feminisme
semakin membawa keberagaman dalam teori-teori Hubungan Internasional. Feminisme
membawa pandangan baru yang selama ini belum pernah dikaji dan cenderung
diabaikan oleh masyarakat. Penulis setuju dengan salah satu argumen kaum
feminis yang mengatakan bahwa kemanan hanya akan tercipta jika dilakukan
emancipatory gender. Sehingga tidak ada lagi dominasi dari suatu pihak dan
sebaliknya pula, tidak ada kaum yang tereksploitasi.
No comments:
Post a Comment