Feminisme
Pemikiran realisme sebagai salah satu aliran
mainstream dalam hubungan internasional dalam perkembangannya mendapat banyak
kritik dan tantangan dari aliran teori kritis, dalam hal ini feminisme yang
muncul untuk mendobrak kesubordinatan wanita di bawah pria, dimana
kesubordinatan ini kemudian meluas hingga ke ranah hubungan internasional dalam
hubungannya dengan power dan pengetahuan. Teori feminisme berkembang pada era
1990an ketika pada saat itu Perang Dingin telah berakhir dan para wanita
mempertanyakan signifikansi perang yang tiada akhir yang menjadikan wanita
sebagai korban utama, terutama bagi para janda, ibu yang kehilangan anaknya dan
wanita penghibur di garis depan. Dengan keterlibatannya dalam diskursus
positivis dan non positivis dalam debat besar ketiga, feminisme berusaha
mendekonstruksi realisme yang eksklusif, state-centric dan metanarative .
Asumsi dasarnya bahwa dunia kontemporer hidup dalam dunia gender dimana kualitas
yang dikaitkan dengan maskulinitas seperti rasionalitas dan power dipandang
lebih tinggi daripada kualitas yang dikaitkan dengan feminisitas seperti
kapasitas dan intuisi.
Istilah feminisme dan maskulinisme harus dibedakan
ke dalam ranah gender dan bukan sebagai klasifikasi seks. Gender merupakan
perilaku dan harapan yang dipelajari secara sosial yang membentuk taksonomi
pemikiran maskulinitas dan feminisitas sedangkan seks adalah taksonomi manusia
secara biologis pria dan wanita. Secara umum, feminis mempertanyakan
diskriminasi yang dibentuk oleh struktur sosial dimana ruang gerak wanita dalam
kancah perpolitikan dan kepemimpinan sangat dibatasi oleh budaya patriarki yang
meletakkan wanita sebagai pribadi yang ‘lemah’, menurut dan ‘harus dilindungi’
oleh pria. Kondisi ini dapat dilihat dalam bagaimana sistem perkawinan dan
akses pengetahuan yang dirasa tidak merugikan wanita. Feminisme ini kemudian
menjadi subjek penting dalam hubungan internasional ketika para feminis muncul
dan mempertanyakan subjek kajian hubungan internasional yang hanya fokus pada
perang, keamanan, dan rasionalitas yang identik dengan sifat maskulin. Salah
satu feminis yang vokal menyuarakan penolakan ordinasi maskulinitas adalah
Cynthia Enloe. Enloe menolak asumsi bahwa wanita selama ini tidak memiliki
signifikansi dalam hubungan internasional sekaligus menolak pandangan bahwa
maskulinitas cukup objektif untuk mengakomodasi pandangan pria dan wanita
sekaligus.
Feminisme juga mengkritik globalisasi yang dianggap
bertanggung jawab atas keadaan yang tidak equal, dengan kemiskinan dan
ketidakseimbangan utara-selatan. Saskia Sassen membuktikan bagaimana
globalisasi menekan wanita khususnya dalam bidang peningkatan sex tourism,
women trafficking dan sistem pernikahan yang menguntungkan pihak pria yang
banyak terjadi di negara Afrika. Bentuk eksploitasi wanita ini dapat dilihat
dari kebutuhan Malaysia akan tenaga kerja wanita dari Indonesia dan Filipina.
Di sisi lain, globalisasi juga memberikan kontribusi positif dengan cara
memberdayakan wanita dari akses informasi yang luas setelah Perang Dingin
sehingga para feminis bebas membentuk identitas mereka. Globalisasi juga
membentuk subjektivitas dan menyediakan perbaikan ekonomi bagi wanita
khususnya. Hasilnya, wanita dapat menempati posisi strategis di organisasi
internasional.
Dalam kaitannya dengan kebijakan luar negeri, studi
feminisme melihat bagaimana rasionalitas pria kemudian membawa pada kebijakan
decisive atas nama kepentingan nasional. Signifikani lain feminisme pada
hubungan internasional adalah bagaimana feminisme dapat meningkatkan tendensi
perdamaian dan kooperasi karena pendekatan-pendekatan yang dibawa oleh
feminisme yang jauh dari aplikasi kekerasan dan power yang dekstruktif.
Pendekatan feminisme dipercaya dapat mengurangi kecenderungan perang, terbukti
dalam studi empiris, wanita lebih sedikit terlibat dalam organisasi
internasional yang mengeluarkan keputusan untuk perang . Hal ini kemudian yang
menjadi objek skeptisisme saya, bahwa tidak dapat digeneralisir secara
sederhana bahwa perempuan tidak akan membuat keputusan untuk perang. Bisa
dilihat dalam kebijakan mantan menlu AS – Rice – serta kebijakan menlu Israel –
Livni – yang ternyata membawa AS dan Israel ke dalam kebijakan offensive. Rice
bahkan menerapkan neokonservatisme-nya untuk mendukung unilateralisme AS ketika
menjabat penasihat keamanan nasional.
Sikap persamaan gender dipercaya akan meningkatkan
toleransi dan demokrasi yang akan memperbaiki tatanan sistem internasional.
Sebaliknya, negara yang menganut diskriminasi wanita terbukti lebih banyak
terlibat perang dan aktivitas militer unilateral seperti Afghanistan dan
Pakistan. Seperti misalnya pada era pemerintahan Kennedy, para istri diplomat
berhasil mendesak AS untuk mengadakan perundingan nuklir dengan Soviet. Sama halnya
dengan di Israel-Palestina, women in black berhasil menentang pelaksanaan bom
bunuh diri oleh wanita dan keberlangsungan perang yang membuat banyak dari
antara wanita harus menjadi janda dan kehilangan anak. Untuk mewujudkan
persamaan sosial seperti yang diharapkan, feminis ini kemudian berusaha
terlibat lebih jauh dalam proses pembuatan keputusan ekonomi-politik.
Untuk memberikan pondasi kritik yang kuat, para
feminis berusaha mendefinisikan dirinya untuk mendapatkan metode yang empiris.
Upaya empirisisasi ini kemudian dimanifestasikan ke dalam tiga
pengklasifikasian feminisme, yaitu feminisme analitis,empiris dan normatif.
Feminisme analitis menggunakan gender sebagai kategori teoretis untuk
menyatakan bias dalam konsep hubungan internasional. Dalam perspektif ini,
gender dimengerti bukan hanya pembedaan pria-wanita secara biologis namun lebih
ke dalam konstruksi sosial yang asimetris tentang maskulinitas-feminisitas.
Konsep feminisme dalam hubungan internasional sendiri tidak netral dengan
inklusi gender secara murni, namun berasal dari struktur sosial politik dimana
unsur hegemoni maskulinitas mengalami institusionalisasi.
Secara empiris, para feminis berargumen bahwa
terminologi power, kedaulatan, anarki, keamanan dan level analisis dalam
hubungan internasional tidak akan terpisahkan dari pemisahan gender tentang
sektor privat dan publik di tatanan domestik dan internasional, yaitu bagaimana
konsep ini dapat timbul atas eksklusivitas pria dalam ilmu pengetahuan. Entitas
yang lebih rendah – direpresentasikan oleh wanita- harus ditempatkan di bawah
entitas yang lebih tinggi yaitu rasionalitas dan negara- dalam hal ini
direpresentasikan oleh pria-. Feminis menentang adanya pemisahan publik-privat
ini karena menurut mereka sistem anarki internasional akan berdampak pada
sistem gender di ranah domestik dan sebagainya.
Dalam level analisis konvensional, negara, individu,
dan sistem internasional dipandang sebagai unit yang terpisah. Inilah yang
menjadi pekerjaan rumah bagi para feminis yaitu bagaimana medekonstruksi
masing-masing level analisis itu. Dekonstruksi feminis terhadap realis juga
menyentuh masalah power karena feminis menganggap power sebagai suatu identitas
yang kompleks dan yang membentuk personalitas khusus dan bukan akumulasi
pengaruh oleh pandangan realis. Perspektif feminisme normatif tidak lagi
melihat diskriminasi dalam bentuk oposisi biologis –pria dan wanita- ataupun
pemikiran maskulin-feminin. Lebih jauh, feminis normatif melihat politik
pengetahuan, yaitu bagaimana dan darimana posisi tertentu didapatkan dari suatu
hirarki. Misalnya bagaimana wanita yang memiliki pemikiran kebijakan luar
negeri maskulin dipandang lebih tinggi dari pria yang memiliki kebijakan luar
negeri feminin.
Selain penggolongan di atas, bagaimana timbulnya
suatu diskriminasi juga membentuk taksonomi tersendiri dalam dunia feminisme.
Feminisme liberal memandang manusia terlahir dengan hak-hak yang sama, oleh
karena itu mereka memperjuangkan hak-hak yang sama bagi laki-laki dan perempuan
. Bentuk feminisme yang lain, feminisme marxisme memandang ketidakadilan
terbentuk dari struktur kapitalisme yang eksploitatif sehingga dalam
mengatasinya, wanita harus mampu mengambil peran dalam sistem kapitalis itu.
Feminisme yang terakhir, feminisme radikal, menolak segala bentuk kerjasama
laki-laki dan perempuan karena fokusnya adalah pergeseran ordinasi perempuan
menggantikan dominasi laki-laki.
No comments:
Post a Comment