Translate

Wednesday, March 25, 2015

Feminisme dalam Hubungan Internasional

Feminisme
Pemikiran realisme sebagai salah satu aliran mainstream dalam hubungan internasional dalam perkembangannya mendapat banyak kritik dan tantangan dari aliran teori kritis, dalam hal ini feminisme yang muncul untuk mendobrak kesubordinatan wanita di bawah pria, dimana kesubordinatan ini kemudian meluas hingga ke ranah hubungan internasional dalam hubungannya dengan power dan pengetahuan. Teori feminisme berkembang pada era 1990an ketika pada saat itu Perang Dingin telah berakhir dan para wanita mempertanyakan signifikansi perang yang tiada akhir yang menjadikan wanita sebagai korban utama, terutama bagi para janda, ibu yang kehilangan anaknya dan wanita penghibur di garis depan. Dengan keterlibatannya dalam diskursus positivis dan non positivis dalam debat besar ketiga, feminisme berusaha mendekonstruksi realisme yang eksklusif, state-centric dan metanarative . Asumsi dasarnya bahwa dunia kontemporer hidup dalam dunia gender dimana kualitas yang dikaitkan dengan maskulinitas seperti rasionalitas dan power dipandang lebih tinggi daripada kualitas yang dikaitkan dengan feminisitas seperti kapasitas dan intuisi.
Istilah feminisme dan maskulinisme harus dibedakan ke dalam ranah gender dan bukan sebagai klasifikasi seks. Gender merupakan perilaku dan harapan yang dipelajari secara sosial yang membentuk taksonomi pemikiran maskulinitas dan feminisitas sedangkan seks adalah taksonomi manusia secara biologis pria dan wanita. Secara umum, feminis mempertanyakan diskriminasi yang dibentuk oleh struktur sosial dimana ruang gerak wanita dalam kancah perpolitikan dan kepemimpinan sangat dibatasi oleh budaya patriarki yang meletakkan wanita sebagai pribadi yang ‘lemah’, menurut dan ‘harus dilindungi’ oleh pria. Kondisi ini dapat dilihat dalam bagaimana sistem perkawinan dan akses pengetahuan yang dirasa tidak merugikan wanita. Feminisme ini kemudian menjadi subjek penting dalam hubungan internasional ketika para feminis muncul dan mempertanyakan subjek kajian hubungan internasional yang hanya fokus pada perang, keamanan, dan rasionalitas yang identik dengan sifat maskulin. Salah satu feminis yang vokal menyuarakan penolakan ordinasi maskulinitas adalah Cynthia Enloe. Enloe menolak asumsi bahwa wanita selama ini tidak memiliki signifikansi dalam hubungan internasional sekaligus menolak pandangan bahwa maskulinitas cukup objektif untuk mengakomodasi pandangan pria dan wanita sekaligus.
Feminisme juga mengkritik globalisasi yang dianggap bertanggung jawab atas keadaan yang tidak equal, dengan kemiskinan dan ketidakseimbangan utara-selatan. Saskia Sassen membuktikan bagaimana globalisasi menekan wanita khususnya dalam bidang peningkatan sex tourism, women trafficking dan sistem pernikahan yang menguntungkan pihak pria yang banyak terjadi di negara Afrika. Bentuk eksploitasi wanita ini dapat dilihat dari kebutuhan Malaysia akan tenaga kerja wanita dari Indonesia dan Filipina. Di sisi lain, globalisasi juga memberikan kontribusi positif dengan cara memberdayakan wanita dari akses informasi yang luas setelah Perang Dingin sehingga para feminis bebas membentuk identitas mereka. Globalisasi juga membentuk subjektivitas dan menyediakan perbaikan ekonomi bagi wanita khususnya. Hasilnya, wanita dapat menempati posisi strategis di organisasi internasional.
Dalam kaitannya dengan kebijakan luar negeri, studi feminisme melihat bagaimana rasionalitas pria kemudian membawa pada kebijakan decisive atas nama kepentingan nasional. Signifikani lain feminisme pada hubungan internasional adalah bagaimana feminisme dapat meningkatkan tendensi perdamaian dan kooperasi karena pendekatan-pendekatan yang dibawa oleh feminisme yang jauh dari aplikasi kekerasan dan power yang dekstruktif. Pendekatan feminisme dipercaya dapat mengurangi kecenderungan perang, terbukti dalam studi empiris, wanita lebih sedikit terlibat dalam organisasi internasional yang mengeluarkan keputusan untuk perang . Hal ini kemudian yang menjadi objek skeptisisme saya, bahwa tidak dapat digeneralisir secara sederhana bahwa perempuan tidak akan membuat keputusan untuk perang. Bisa dilihat dalam kebijakan mantan menlu AS – Rice – serta kebijakan menlu Israel – Livni – yang ternyata membawa AS dan Israel ke dalam kebijakan offensive. Rice bahkan menerapkan neokonservatisme-nya untuk mendukung unilateralisme AS ketika menjabat penasihat keamanan nasional.
Sikap persamaan gender dipercaya akan meningkatkan toleransi dan demokrasi yang akan memperbaiki tatanan sistem internasional. Sebaliknya, negara yang menganut diskriminasi wanita terbukti lebih banyak terlibat perang dan aktivitas militer unilateral seperti Afghanistan dan Pakistan. Seperti misalnya pada era pemerintahan Kennedy, para istri diplomat berhasil mendesak AS untuk mengadakan perundingan nuklir dengan Soviet. Sama halnya dengan di Israel-Palestina, women in black berhasil menentang pelaksanaan bom bunuh diri oleh wanita dan keberlangsungan perang yang membuat banyak dari antara wanita harus menjadi janda dan kehilangan anak. Untuk mewujudkan persamaan sosial seperti yang diharapkan, feminis ini kemudian berusaha terlibat lebih jauh dalam proses pembuatan keputusan ekonomi-politik.
Untuk memberikan pondasi kritik yang kuat, para feminis berusaha mendefinisikan dirinya untuk mendapatkan metode yang empiris. Upaya empirisisasi ini kemudian dimanifestasikan ke dalam tiga pengklasifikasian feminisme, yaitu feminisme analitis,empiris dan normatif. Feminisme analitis menggunakan gender sebagai kategori teoretis untuk menyatakan bias dalam konsep hubungan internasional. Dalam perspektif ini, gender dimengerti bukan hanya pembedaan pria-wanita secara biologis namun lebih ke dalam konstruksi sosial yang asimetris tentang maskulinitas-feminisitas. Konsep feminisme dalam hubungan internasional sendiri tidak netral dengan inklusi gender secara murni, namun berasal dari struktur sosial politik dimana unsur hegemoni maskulinitas mengalami institusionalisasi.
Secara empiris, para feminis berargumen bahwa terminologi power, kedaulatan, anarki, keamanan dan level analisis dalam hubungan internasional tidak akan terpisahkan dari pemisahan gender tentang sektor privat dan publik di tatanan domestik dan internasional, yaitu bagaimana konsep ini dapat timbul atas eksklusivitas pria dalam ilmu pengetahuan. Entitas yang lebih rendah – direpresentasikan oleh wanita- harus ditempatkan di bawah entitas yang lebih tinggi yaitu rasionalitas dan negara- dalam hal ini direpresentasikan oleh pria-. Feminis menentang adanya pemisahan publik-privat ini karena menurut mereka sistem anarki internasional akan berdampak pada sistem gender di ranah domestik dan sebagainya.
Dalam level analisis konvensional, negara, individu, dan sistem internasional dipandang sebagai unit yang terpisah. Inilah yang menjadi pekerjaan rumah bagi para feminis yaitu bagaimana medekonstruksi masing-masing level analisis itu. Dekonstruksi feminis terhadap realis juga menyentuh masalah power karena feminis menganggap power sebagai suatu identitas yang kompleks dan yang membentuk personalitas khusus dan bukan akumulasi pengaruh oleh pandangan realis. Perspektif feminisme normatif tidak lagi melihat diskriminasi dalam bentuk oposisi biologis –pria dan wanita- ataupun pemikiran maskulin-feminin. Lebih jauh, feminis normatif melihat politik pengetahuan, yaitu bagaimana dan darimana posisi tertentu didapatkan dari suatu hirarki. Misalnya bagaimana wanita yang memiliki pemikiran kebijakan luar negeri maskulin dipandang lebih tinggi dari pria yang memiliki kebijakan luar negeri feminin.
Selain penggolongan di atas, bagaimana timbulnya suatu diskriminasi juga membentuk taksonomi tersendiri dalam dunia feminisme. Feminisme liberal memandang manusia terlahir dengan hak-hak yang sama, oleh karena itu mereka memperjuangkan hak-hak yang sama bagi laki-laki dan perempuan . Bentuk feminisme yang lain, feminisme marxisme memandang ketidakadilan terbentuk dari struktur kapitalisme yang eksploitatif sehingga dalam mengatasinya, wanita harus mampu mengambil peran dalam sistem kapitalis itu. Feminisme yang terakhir, feminisme radikal, menolak segala bentuk kerjasama laki-laki dan perempuan karena fokusnya adalah pergeseran ordinasi perempuan menggantikan dominasi laki-laki.

Secara keseluruhan, agenda dan tujuan feminisme memang merupakan perjuangan yang patut didukung karena dapat mensejajarkan posisi pria dan wanita, terutama terkait dengan kenyataan bahwa talenta dan kemampuan yang dimiliki wanita sering melampui kapasitas pria. Namun menurut saya pribadi, feminisme ini masih perlu pengembangan lebih jauh lagi dengan konsep agenda yang lebih jelas, yaitu bagaimana cara konkret untuk mensejajarkan posisi dua gender tersebut. Selain itu, dekonstruksi feminis terhadap realis juga cenderung bias untuk diaplikasikan, terutama dalam hal skeptisismenya terhadap entitas

No comments:

Post a Comment