Konsep
power menurut perspektif Realisme
Menurut Hans J. Morgenthau dalam bukunya
yang monumental The Politics Among Nations: The Struggle for
Power and Peace (1948) menyatakan bahwa politik internasional sebagai upaya
untuk meraih kekuasaan (struggle for power) dan juga memulai mendefinisikan
kekuasaan sebagai hakikat manusia untuk mengontrol perbuatan orang lain. Tingkah
laku Negara merefleksikan perilaku individu yaitu untuk memaksimalkan
pencapaian kepentingan nasional . Apapun tujuan tertinggi dari politik
internasional, power merupakan selalu menjadi tujuan antara yang harus dicapai
terlebih dahulu. Para perancang strategi negara dan masyarakat seringkali
melihat tujuan politik negaranya adalah mencapai kebebasan, menciptakan
ketenteraman, kemakmuran atau mencapai kekuasaan itu sendiri. Dan untuk
mencapai tujuan tersebut boleh saja ditetapkan berbagai macam cara, baik
politis maupun nonpolitis, namun ketika upaya untuk realisasikan tujuan
dilakukan melalui politik internasional, maka tujuannya adalah meraih power.
Politik dalam konteks struktur internasional berbeda dengan politik dalam
struktur domestik. Karena dalam hal pertimbangan untuk kontinuitas politik
internasional, power politics harus muncul dalam bentuknya yang asli yang
berbeda dengan power politics yang dipraktekkan dalam hubungan antar negara.
Dalam wilayah sebuah negara, perjuangan untuk mencapai kekuasaan menjadi lebih
lunak melalui loyalitas norma hokum tertinggi yang mengatur kehidupan
masyarakat, melalui pengaturan dalam konstitusi atau melalui penerimaan umum
terhadap aturan main yang berlaku. Sehingga, dalam acara domestik bentuk asli
dari politik kurang jelas, karena mengarahkan power politics pada persaingan
konsepsi dari sebuah kehidupan yang baik.
Wewenang kekuasaan yang
dimiliki oleh negara untuk memaksa yang dikombinasikam dengan jaringan norma
sosial dan ikatan-ikatan dalam komunitas seperti halnya persamaan bahasa dan
latar belakang sejarah dapat mengakibatkan konteks politik domestik sebagai
sebuah tempat ideal untuk pengembangan potensi. Sebaliknya, dalam konteks
internasional faktor-faktor yang ada pada negara tersebut jauh lebih lemah
fungsinya. Di forum internasional, kehendak untuk berkuasa tidak mungkin
diungkapkan secara bebas, tetapi hal ini ditentukan oleh berbagai negara di
mana setiap negara berdaulat merasa berhak meningkatkan kekuasaan politik
sekuler dan otoritas moralnya. Sehingga kesimpulannya kontinuitas politik luar
negeri merupakan suatu keharusan apabila negara tidak ingin gagal dalam
pertarungan meraih power di lingkungan global. Ide Morgenthau ini penting
karena secara radikal berupaya menghindari pandangan yang bersifat pluralistik
dari alam kemanusiaan dan menunjukkan tragedi politik, yang diakibatkan
ketidaksanggupan manusia untuk merekonsiliasi aturan main dari perpolitikan
yang berdasarkan moral dan etik. Realisme nampak terwujud dari kekuasaan negara
di dalam Uni Soviet, di mana sesuai dengan doktrin Leninisme yang mengutamakan
unsur power yang harus dimiliki oleh negara dalam rangka mencapai tujuan menuju
masyarakat komunis internasional.
Implementasi realisme
politik dalam masa Perang Dingin terlihat pada strategi yang dikembangkan oleh
kedua negara adidaya yaitu Uni Soviet dan Amerika Serikat. Stalin memunculkan Cominform
(Communist Information Bureau) pada tahun 1947 yang merupakan organisasi
jaringan kerjasama partai-partai komunis Uni Soviet, Hungaria, Rumania,
Cekoslovakia, Bulgaria, Perancis, dan Italia. Pembentukkan biro ini oleh Barat
dianggap sebagai upaya Uni Soviet untuk mengontrol jaringan Partai Komunis di
seluruh dunia. Barat melihat jaringan ini sebagai ancaman dari Uni Soviet dan
komunisme Internasional. Pemicu Perang Dingin antara dua negara adidaya
tersebut dimulai ketika pada tahun yang sama, Presiden Harry Truman
mendeklarasikan kerjasama dan peran baru Amerika Seikat dalam politik global
yaitu Truman Doctrin. Menyusul deklarasi tersebut, George Kennan, ilmuwan
politik Amerika Serikat mempublikasikan sebuah artikel dengan judul A policy of Containment pada jurnal
Foreign Affairs yang selanjutnya sangat berpengaruh terhadap strategi politik
luar negeri Amerika Serikat. Usulan strategis ini dibuat dengan tujuan untuk
melakukan tekanan pada Uni Soviet untuk menghasilkan struktur internasional dan
kepemimpinan global baru. Oleh karena itu menurut Kennan, strategi global
Amerika Serikat seharusnya mengkonfrontasi Uni Soviet. Operasionalisasi
strategi ini dilakukan melaluai penignkatan anggaran militer, intervensi dan
parade kekuatan persenjataan. Dua peristiwa internasional, Blokade Berlin oleh
Uni Soviet pada tahun 1948 sampai dengan tahun 1949 yang dilanjutkan dengan
pendirian tembok Berlin tahun 1961 dan Perang Korea pada tahun 1953 mengantarkan
Perang Dingin memasuki tahap-tahap krisis. Dua peristiwa tersebut dan peristiwa
konflik yang terjadi di Iran pada tahun 1953, konflik di Guatemala pada tahun
1954, konflik di Hungaria pada tahun 1956, konflik di Vietnam pada tahun 1961
sampai dengan tahun 1975, konflik di Cuba pada tahun 1961, konflik di
Cekoslovakia pada tahun 1968, konflik di Afganistan pada tahun 1979 dan konflik
di beberapa negara di dunia merupakan bagian dari konflik antara blok Amerika
Serikat dengan Uni Soviet yang mendominasi system internasional selama perang
dingin. Menurut Barry B Hughes actor dalam pandangan realism adalah
pertentangan kelompok yang mana manifestasinya selama Perang Dingin dilakukan
oleh peran negara. Sehingga negara merupakan pelaku utama dan pelaku terpenting.
Bagi kaum realis dalam
hierarki isu internasional biasanya menempatkan aspek keamanan nasional
(national security) pada urutan pertama. Sehinnga aspek militer dan isu-isu
politik yang berhubungan dengan masalah keamanan nasional, mendominasi perpolitikkan
dunia. Realis juga biasanya memusatkan perhatiannya pada potensi konflik yang
ada di antata aktor negara. Konsep power merupakan kaonsep kunci dalam realis.
Sehingga keamanan militer dan isu-isu strategis tergolong kepentingan utama dan
mengacu pada kategori politik berbotot tinggi (high politics) sedangkan ekonomi
dan isu-isu sosial dilihat oleh kaum realis sebagai hal yang biasa, kurang
penting atau mempunyai bobot politik yang rendah (low politics). Tradisi state centric yang paralel dengan pandangan
realism politik beranggapan bahwa distribusi kekuasaan global yang menentukan
kepentingan aktor dan politik luar negeri yang tujuannya adalah upaya untuk
maksimalisasi power yang rasional dan bertanggung jawab. Pandangan ini juga
menganggap bahwa negara sebagai unitary actor adalah satu-satunya actor
terpenting dalam politik global. Menurut Richard W. Mansbach, sebuah negara
yang melakukan tindakan kepada negara lain akan mendorong negara kedua untuk
memberikan respon baik melalui perubahan langsung terhadap kebijaksanaan atau
bertahan terhadap tuntutan tindakan negara pertama. Apakah negara pertama akan
dipengaruhi oleh tindakan-tindakan dari negara lain akan sangat bergantung pada
lingkungan geografisnya dan lokasi politis di mana aktor yang lain berada.
Teori state centic melihat hubungan antara negara ibarat permainan bilyard, di
mana suatu tekanan dan efeknya terhadap posisi aktor-aktor yang lain akan
menentukan hasil dan pelaksanaannya. Sehingga kapasitas power yang dimiliki
suatu negara akan menimbulkan efek yang lain dan akan menentukan besar dan
jenis respon serta tindakan dari actor yang lain.
Konsep kepentingan
nasional menjadi populer pada masa Perang Dingin melalui kaum realis.terutama
oleh Morgenthau. Pada tahun 1952 Morgenthau menulis artikel Another Great Debate: The National Interest
of United States dalam jurnal American
Political Science Review. Dalam arikel yang kemudian menjadi rujukan para
realis ini, Morgenthau menjelaskan mengenai apa yang dimaksudkan dengan
kepentingan nasional, bagaimana mendefinisikannya dan member isi sehingga dia
berfungsi sebagai penuntun untuk tindakan suatu negara. Konsep kepentingan
nasional menurut Morgenthau berisi dua elemen pokok. Pertama ialah keinginan
atau cita-cita yang seharusnya dicapai. Kedua ialah variable yang mengarahkan
pada upaya mencapai cita-cita, yang mana variabel tersebut ditentukan oleh
berbagai hal kepentingan nasional sesuai esensi kehadirannya merupakan penuntun
yang aktual bagi politik luar negeri yang sebaiknya merupakan refleksi dari
kehendak rasional dari seluruh rakyat (Amerika Serikat). Manifestasi dari
kepentingan nasional tersebut tertuang di dalam konstitusi. Para Realis yang
melihat power politics sebagai elemen dalam hubungan antar negara memberikan
perhatian khusus terhadap pencapaian kepentingan nasionlal yang ditentukan
melalui pembagian kekuasaan untuk merasionalisasi proses pemaksimalan
nilai-nilai yang hendak dicapai. Teori power politics menjelaskan bahwa
perilaku Amerika Serikat dan Uni Soviet selama Perang Dingin merupakan fungsi
dari keberadaan mereka sebagai negara adikuasa. Kepemilikan great power boleh
dikatakan menjadi pendorong intervensi, baik oleh Amerika Serikat maupun Uni
Soviet ke berbagai tempat selama Perang Dingin. Dari sudut pandang ini,
landasan ideologi bukan merupakan alasan untuk menghambat atau mendorong
intervensi mereka. Sebab perilaku Amerika Serikat dan Uni Soviet dari sudut
pandang Realis merupakan respon rasional demi kepentingan nasional
masing-masing negara yang dibentuk melalui kapabilitas nasional negaranya
masing-masing.
Neorealisme dengan
memperbaiki pendirian mereka tentang asumsi-asumsi realism, berhasil mennjukkan
bahwa neorealisme mampu menjangkau isu ekonomi yang sempat dikritik oleh kaum
liberal. Kaum neorealist yakin bahwa negara-negara mampu mengontrol transaksi
ekonomi internasional dengan mepapankan kembali kemampuan explanatori asumsi
realis tentang perang “the power maximing
state”. Rezim ekonomi internasional adalah embodiment of structural power dalam sistem internasional,
keberadaan rezim tersebt memungkinkan negara-negara mengontrol agenda
internasional.
Konsep
power menurut perspektif Liberalis
Dalam
bukunya yang berjudul Perceptual Peace
tahun 1782, Immanuel Kant yang menggarisbawahi pemikiran dari Grotius bahwa
perang dengan alasan apapun harus dihindari, karena hanya dengan cara itulah perdamaian
abadi dapat ditegakkan. Immanuel Kant tidak menggunakan istilah ‘internasional’
di dalam kaya-karyanya, dia mencoba mengartiklasikan konsep perdamaian dunia
dengan mendorong negara-negara untuk mengoordinasikan kedaulatan di bawah power
“pemerintahan dunia”. Selanjutnya pemikiran Immanuel Kant mendorong dan
menginspirasi para pemimpin dunia pada awal abad ke 20 untk mendirikan Liga
Bangsa-Bangsa (League of Nations atau LBB) demi mewujudkan perdamaian dunia
yang abadi.
Menurut kaum Liberalis,
memandang bahwa tujuan akademik dan praktikal didirikannya disiplin ilmu
hubungan internasional oleh penstudi hbungan internasional memiliki komitmen
mendalam bagi suatu studi yang dituntun oleh visi tentang apakah yang
semestinya terjadi di arena hubungan internasional. Studi tentang sejarah, hukum
dan institusi internasional merupakan kegiatan yang mereka pandang utama untuk
mencari dasar bagi terpeliharanya kerjasama internasional. Mereka juga mencari
sebab-sebab perang dengan melihat landasan ethico-philosopical
dengan keyakinan bahwa apabila penyebab yang mendasar ini ditemukan maka upaya
pencegahan bagi munculnya perang baru dapat ditekan. Gagasan idealism
menyatakan bahwa perang muncul karena adanya pengingkaran terhadap hakikat
terdalam manusia yaitu bahwa manusia pada dasarnya baik dan punya sifat
altruistik tetapi hakikatnya ini ternyata tidak didukung dengan institusi yang
benar-benar dapat menjadi ekspresi nyata dari hakikat baik manusia tersebut
sehingga upaya pertama untuk menciptakan perdamaian dunia adalah menciptakan
institusi yang baik di mana di dalamnya manusia-manusia dapat bekerjasama yaitu
mengekspresikan sifat baik dan altruistik mereka. Menurut Liberalisme,
pertimbangan terhadap power dikalahkan oleh kalkulasi ekonomi atau politik
dengan menekankan pada kemakmuran dan keamanan negara. Menurut John Locke
keberadaan negara itu akan dibatasi oleh individu sehingga kekuasaan Negara menjadi
terbatas hanya sebagai “penjaga malam” atau hanya bertindak
sebagai penetralisasi konflik.
Konsep
power menurut perspektif Konstrukivis
Konstrktivisme
pada dasarnya mengasumsikan bahwa politik internasional adalah hasil dari suatu
konstuksi social yaitu proses dialektika antara strkutr dan agen di mana
lingkungan sosial politik dan manusia saling berinteraksi untk menghasilkan
perubahan-perubahan sosial politik. Konstuktivis memiliki dua pemikiran yang
relevan bagi para studi Hubungan Internasional . Pemikiran pertama
konstruktivis yaitu keyakinan bahwa struktur-struktur yang mempersatukan umat
manusia lebih ditentukan oleh shared
ideas (gagasan-gagasan yang diyakini bersama) daripada kekuatan atau power
material. Pemikiran kedua yaitu keyakinan bahwa identitas dan kepentingan
actor-aktor tertentu dibentuk oleh shared ideas tersebut diatas dan bukannya
dibentuk oleh peristiwa alam semata. Artinya, tindakan aktor yang dapat
mengakibatkan terjadinya peristiwa politik tertentu bukan semata-mata karena
maksud dan motivasi dari individu yang bersangkutan tetapi juga merupakan hasil
proses interaksi antara individu tersebut dengan lingkunan di sekitarnya
(struktur sosial politik, ekonomi, budaya,dan sebagainya).
Menurut konstruktivisme, setiap
tindakan negara didasarkan pada meanings
yang muncul dari interaksinya dengan lingkungan internasional. Setiap bentuk
tindakan negara misalnya melakukan perang atau menjalin hubungan baik, ataupun
memutuskan hubungan dan bahkan tidak melakukan hubungan dengan negara lain,
semuanya didasarkan oleh meanings yang muncul dari interaksinya dengan
negara-negara atau lingkungan internasionalnya. Tindakan negara terhadap
musuhnya tentulah berbeda dengan tindakan terhadap temannya. Negara akan
memberikan ancaman terhadap musuhnya dan tentu tidak terhadap rekannya. Tindakan
negara dalam pandangan konstruktivisme memberikan pengaruh terhadap
bentuk sistem internasional, sebaliknya sistem tersebut juga memberikan
pengaruh pada perilakunegara-negara. Dalam proses saling mempengaruhi itu
terbentuklah apa yang disebut dengan collective meanings. Collective
meanings itulah yang menjadi dasar terbentuknya intersubyektifitas dan
kemudian membentuk struktur dan pada akhirnya mengatur tindakannegara-negara. Pandangan
Konstruktivisme mengenai negara menurut Alexander Wendt adalah
sebagai berikut :
1.Negara merupakan unit analisis prinsipil bagi teori
politik internasional
2.Struktur utama dalam sistem negara lebih bersifat
intersubyektif, daripada bersifat material
3.Identitas dan kepentingan negara lebih membangun
struktur-struktur sosial tersebut, dari pada diserahkan secara eksogen
pada sistem oleh sifat dasar manusia atau politik domestik.
Interaksi sosial antar individu akan menciptakan lingkungan
atau realitas sosial yang diinginkan. Dengan kata lain, sesungguhnya realitas
sosial merupakan hasil konstruksi atau bentukan dari proses interaksi tersebut.
Hakekat manusia menurut konsepsi konstruktivisme lebih bersifat bebasdan
terhormat karena dapat menolak atau menerima sistem internasional,
membentuk kembali model relasi yang saling menguntungkan, atau yang
diinginkan berdasarkan peraturan, strukturasi dan Verstehen dalam speech acts.
Bagi
kaum konstruktivis, interaksi yang terjadi antara dua aktor atau lebih dalam
hubungan internasional adalah salah satu hal penting yang tidak boleh
ditinggalkan. Dengan adanya interaksi antar aktor – aktor tersebut maka akan
menghasilkan tiga elemen penting yakni identitas, budaya dan norma (Dugis
2013). Disinilah titik berat yang menentukan seperti apa perspektif
konstruktivisme yang sebenarnya. Adanya tiga elemen dasar yang terbentuk dalam
interaksi yang ada membuat perspektif konstruktivis terlihat sebagai
rainkarnasi dari teori idealis yang sempat berkembang dan mengepakkan sayapnya
di era sebelum Perang Dunia Kedua. Keleluasaan aktor intenasional untuk
menentukan kebijakan yang akan dibuat sangat bergantung pada bagaimana
sebongkah identitas dalam diri aktor dibentuk. Kaum konstruktivis sangat
memperhatikan bagaimana pembentukan identitas yang ada pada aktor – aktor
internasional, karena bagi mereka identitas merupakan denyut nadi bagi aktor
internasional.
Selain
memperhatikan bagaimana identitas aktor yang mana aktor merepresentasikan
sebuah negara, kaum konstruktivis juga memilki pandangan lain untuk sebuah
negara. Kaum konstruktivis menganggap bahwa interaksi yang dibawa oleh aktor –
aktor dalam sistem internasional memiliki korelasi dengan bagaimana struktur
internasional di bentuk dan bagaimana struktur nasional yang telah terbentuk itu
kembali mempengaruhi sebuah negara. Ketelatenan kaum konstruktivis dalam
mengkaji fenomena ini terlihat pada kesesuaian teori yang dapat kita lihat pada
contoh SCO (Shanghai Cooperation Organization) yang terdiri dari
Republik Rakyat Cina, Rusia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan dan Uzbekistan.
Organisasi ini terbentuk karena keinginan negara – negara anggota untuk
mengimbangi kekuatan negara Amerika Serikat (Wardhani 2013). Kaum
konstruktivis tidak menekankan pandangannya terhadap material yang dicerminkan
melalui power sebuah aktor seperti argument yang disajikan oleh
perspektif realis dan liberalis (Jackson & Sorensen 1999). Perspektif
konstrutivisme lebih cenderung pada pengkajian mengenai bagaimana identitas,
budaya dan norma dikonstruksi dalam sistem internasional. Sehingga dapat
dikatakan bahwa perspektif konstruktivisme lebih menekankan fokus pengkajiannya
pada source of change.
PENTING UNTUK DIPAHAMI BAHWA PLAGIARISME MERUPAKAN TINDAKAN KRIMINAL!!!
Di dalam undang-undang nomor 19 tahun 2002 tentang hak cipta. sebagaimana
undang-undang yang mengatur tersebut plagiat merupakan tindakan pidana . dibawah
ini jelas sekali undang-undang yang mengaturnya
Pasal
72 ayat (1) :
“Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau
denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah)”.
No comments:
Post a Comment