Translate

Sunday, September 7, 2014

Konsep power menurut perspektif Realis, Liberalis dan Konstruktivis

Konsep power menurut perspektif Realisme
Menurut Hans J. Morgenthau dalam bukunya yang monumental The Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace (1948) menyatakan bahwa politik internasional sebagai upaya untuk meraih kekuasaan (struggle for power) dan juga memulai mendefinisikan kekuasaan sebagai hakikat manusia untuk mengontrol perbuatan orang lain. Tingkah laku Negara merefleksikan perilaku individu yaitu untuk memaksimalkan pencapaian kepentingan nasional . Apapun tujuan tertinggi dari politik internasional, power merupakan selalu menjadi tujuan antara yang harus dicapai terlebih dahulu. Para perancang strategi negara dan masyarakat seringkali melihat tujuan politik negaranya adalah mencapai kebebasan, menciptakan ketenteraman, kemakmuran atau mencapai kekuasaan itu sendiri. Dan untuk mencapai tujuan tersebut boleh saja ditetapkan berbagai macam cara, baik politis maupun nonpolitis, namun ketika upaya untuk realisasikan tujuan dilakukan melalui politik internasional, maka tujuannya adalah meraih power. Politik dalam konteks struktur internasional berbeda dengan politik dalam struktur domestik. Karena dalam hal pertimbangan untuk kontinuitas politik internasional, power politics harus muncul dalam bentuknya yang asli yang berbeda dengan power politics yang dipraktekkan dalam hubungan antar negara. Dalam wilayah sebuah negara, perjuangan untuk mencapai kekuasaan menjadi lebih lunak melalui loyalitas norma hokum tertinggi yang mengatur kehidupan masyarakat, melalui pengaturan dalam konstitusi atau melalui penerimaan umum terhadap aturan main yang berlaku. Sehingga, dalam acara domestik bentuk asli dari politik kurang jelas, karena mengarahkan power politics pada persaingan konsepsi dari sebuah kehidupan yang baik.
Wewenang kekuasaan yang dimiliki oleh negara untuk memaksa yang dikombinasikam dengan jaringan norma sosial dan ikatan-ikatan dalam komunitas seperti halnya persamaan bahasa dan latar belakang sejarah dapat mengakibatkan konteks politik domestik sebagai sebuah tempat ideal untuk pengembangan potensi. Sebaliknya, dalam konteks internasional faktor-faktor yang ada pada negara tersebut jauh lebih lemah fungsinya. Di forum internasional, kehendak untuk berkuasa tidak mungkin diungkapkan secara bebas, tetapi hal ini ditentukan oleh berbagai negara di mana setiap negara berdaulat merasa berhak meningkatkan kekuasaan politik sekuler dan otoritas moralnya. Sehingga kesimpulannya kontinuitas politik luar negeri merupakan suatu keharusan apabila negara tidak ingin gagal dalam pertarungan meraih power di lingkungan global. Ide Morgenthau ini penting karena secara radikal berupaya menghindari pandangan yang bersifat pluralistik dari alam kemanusiaan dan menunjukkan tragedi politik, yang diakibatkan ketidaksanggupan manusia untuk merekonsiliasi aturan main dari perpolitikan yang berdasarkan moral dan etik. Realisme nampak terwujud dari kekuasaan negara di dalam Uni Soviet, di mana sesuai dengan doktrin Leninisme yang mengutamakan unsur power yang harus dimiliki oleh negara dalam rangka mencapai tujuan menuju masyarakat komunis internasional.
Implementasi realisme politik dalam masa Perang Dingin terlihat pada strategi yang dikembangkan oleh kedua negara adidaya yaitu Uni Soviet dan Amerika Serikat. Stalin memunculkan Cominform (Communist Information Bureau) pada tahun 1947 yang merupakan organisasi jaringan kerjasama partai-partai komunis Uni Soviet, Hungaria, Rumania, Cekoslovakia, Bulgaria, Perancis, dan Italia. Pembentukkan biro ini oleh Barat dianggap sebagai upaya Uni Soviet untuk mengontrol jaringan Partai Komunis di seluruh dunia. Barat melihat jaringan ini sebagai ancaman dari Uni Soviet dan komunisme Internasional. Pemicu Perang Dingin antara dua negara adidaya tersebut dimulai ketika pada tahun yang sama, Presiden Harry Truman mendeklarasikan kerjasama dan peran baru Amerika Seikat dalam politik global yaitu Truman Doctrin. Menyusul deklarasi tersebut, George Kennan, ilmuwan politik Amerika Serikat mempublikasikan sebuah artikel dengan judul A policy of Containment pada jurnal Foreign Affairs yang selanjutnya sangat berpengaruh terhadap strategi politik luar negeri Amerika Serikat. Usulan strategis ini dibuat dengan tujuan untuk melakukan tekanan pada Uni Soviet untuk menghasilkan struktur internasional dan kepemimpinan global baru. Oleh karena itu menurut Kennan, strategi global Amerika Serikat seharusnya mengkonfrontasi Uni Soviet. Operasionalisasi strategi ini dilakukan melaluai penignkatan anggaran militer, intervensi dan parade kekuatan persenjataan. Dua peristiwa internasional, Blokade Berlin oleh Uni Soviet pada tahun 1948 sampai dengan tahun 1949 yang dilanjutkan dengan pendirian tembok Berlin tahun 1961 dan Perang Korea pada tahun 1953 mengantarkan Perang Dingin memasuki tahap-tahap krisis. Dua peristiwa tersebut dan peristiwa konflik yang terjadi di Iran pada tahun 1953, konflik di Guatemala pada tahun 1954, konflik di Hungaria pada tahun 1956, konflik di Vietnam pada tahun 1961 sampai dengan tahun 1975, konflik di Cuba pada tahun 1961, konflik di Cekoslovakia pada tahun 1968, konflik di Afganistan pada tahun 1979 dan konflik di beberapa negara di dunia merupakan bagian dari konflik antara blok Amerika Serikat dengan Uni Soviet yang mendominasi system internasional selama perang dingin. Menurut Barry B Hughes actor dalam pandangan realism adalah pertentangan kelompok yang mana manifestasinya selama Perang Dingin dilakukan oleh peran negara. Sehingga negara merupakan pelaku utama dan pelaku terpenting.
Bagi kaum realis dalam hierarki isu internasional biasanya menempatkan aspek keamanan nasional (national security) pada urutan pertama. Sehinnga aspek militer dan isu-isu politik yang berhubungan dengan masalah keamanan nasional, mendominasi perpolitikkan dunia. Realis juga biasanya memusatkan perhatiannya pada potensi konflik yang ada di antata aktor negara. Konsep power merupakan kaonsep kunci dalam realis. Sehingga keamanan militer dan isu-isu strategis tergolong kepentingan utama dan mengacu pada kategori politik berbotot tinggi (high politics) sedangkan ekonomi dan isu-isu sosial dilihat oleh kaum realis sebagai hal yang biasa, kurang penting atau mempunyai bobot politik yang rendah (low politics).  Tradisi state centric yang paralel dengan pandangan realism politik beranggapan bahwa distribusi kekuasaan global yang menentukan kepentingan aktor dan politik luar negeri yang tujuannya adalah upaya untuk maksimalisasi power yang rasional dan bertanggung jawab. Pandangan ini juga menganggap bahwa negara sebagai unitary actor adalah satu-satunya actor terpenting dalam politik global. Menurut Richard W. Mansbach, sebuah negara yang melakukan tindakan kepada negara lain akan mendorong negara kedua untuk memberikan respon baik melalui perubahan langsung terhadap kebijaksanaan atau bertahan terhadap tuntutan tindakan negara pertama. Apakah negara pertama akan dipengaruhi oleh tindakan-tindakan dari negara lain akan sangat bergantung pada lingkungan geografisnya dan lokasi politis di mana aktor yang lain berada. Teori state centic melihat hubungan antara negara ibarat permainan bilyard, di mana suatu tekanan dan efeknya terhadap posisi aktor-aktor yang lain akan menentukan hasil dan pelaksanaannya. Sehingga kapasitas power yang dimiliki suatu negara akan menimbulkan efek yang lain dan akan menentukan besar dan jenis respon serta tindakan dari actor yang lain.
Konsep kepentingan nasional menjadi populer pada masa Perang Dingin melalui kaum realis.terutama oleh Morgenthau. Pada tahun 1952 Morgenthau menulis artikel Another Great Debate: The National Interest of United States dalam jurnal American Political Science Review. Dalam arikel yang kemudian menjadi rujukan para realis ini, Morgenthau menjelaskan mengenai apa yang dimaksudkan dengan kepentingan nasional, bagaimana mendefinisikannya dan member isi sehingga dia berfungsi sebagai penuntun untuk tindakan suatu negara. Konsep kepentingan nasional menurut Morgenthau berisi dua elemen pokok. Pertama ialah keinginan atau cita-cita yang seharusnya dicapai. Kedua ialah variable yang mengarahkan pada upaya mencapai cita-cita, yang mana variabel tersebut ditentukan oleh berbagai hal kepentingan nasional sesuai esensi kehadirannya merupakan penuntun yang aktual bagi politik luar negeri yang sebaiknya merupakan refleksi dari kehendak rasional dari seluruh rakyat (Amerika Serikat). Manifestasi dari kepentingan nasional tersebut tertuang di dalam konstitusi. Para Realis yang melihat power politics sebagai elemen dalam hubungan antar negara memberikan perhatian khusus terhadap pencapaian kepentingan nasionlal yang ditentukan melalui pembagian kekuasaan untuk merasionalisasi proses pemaksimalan nilai-nilai yang hendak dicapai. Teori power politics menjelaskan bahwa perilaku Amerika Serikat dan Uni Soviet selama Perang Dingin merupakan fungsi dari keberadaan mereka sebagai negara adikuasa. Kepemilikan great power boleh dikatakan menjadi pendorong intervensi, baik oleh Amerika Serikat maupun Uni Soviet ke berbagai tempat selama Perang Dingin. Dari sudut pandang ini, landasan ideologi bukan merupakan alasan untuk menghambat atau mendorong intervensi mereka. Sebab perilaku Amerika Serikat dan Uni Soviet dari sudut pandang Realis merupakan respon rasional demi kepentingan nasional masing-masing negara yang dibentuk melalui kapabilitas nasional negaranya masing-masing.
Neorealisme dengan memperbaiki pendirian mereka tentang asumsi-asumsi realism, berhasil mennjukkan bahwa neorealisme mampu menjangkau isu ekonomi yang sempat dikritik oleh kaum liberal. Kaum neorealist yakin bahwa negara-negara mampu mengontrol transaksi ekonomi internasional dengan mepapankan kembali kemampuan explanatori asumsi realis tentang perang “the power maximing state”. Rezim ekonomi internasional adalah embodiment of structural power dalam sistem internasional, keberadaan rezim tersebt memungkinkan negara-negara mengontrol agenda internasional.

Konsep power menurut perspektif Liberalis
Dalam bukunya yang berjudul Perceptual Peace tahun 1782, Immanuel Kant yang menggarisbawahi pemikiran dari Grotius bahwa perang dengan alasan apapun harus dihindari, karena hanya dengan cara itulah perdamaian abadi dapat ditegakkan. Immanuel Kant tidak menggunakan istilah ‘internasional’ di dalam kaya-karyanya, dia mencoba mengartiklasikan konsep perdamaian dunia dengan mendorong negara-negara untuk mengoordinasikan kedaulatan di bawah power “pemerintahan dunia”. Selanjutnya pemikiran Immanuel Kant mendorong dan menginspirasi para pemimpin dunia pada awal abad ke 20 untk mendirikan Liga Bangsa-Bangsa (League of Nations atau LBB) demi mewujudkan perdamaian dunia yang abadi.
Menurut kaum Liberalis, memandang bahwa tujuan akademik dan praktikal didirikannya disiplin ilmu hubungan internasional oleh penstudi hbungan internasional memiliki komitmen mendalam bagi suatu studi yang dituntun oleh visi tentang apakah yang semestinya terjadi di arena hubungan internasional. Studi tentang sejarah, hukum dan institusi internasional merupakan kegiatan yang mereka pandang utama untuk mencari dasar bagi terpeliharanya kerjasama internasional. Mereka juga mencari sebab-sebab perang dengan melihat landasan ethico-philosopical dengan keyakinan bahwa apabila penyebab yang mendasar ini ditemukan maka upaya pencegahan bagi munculnya perang baru dapat ditekan. Gagasan idealism menyatakan bahwa perang muncul karena adanya pengingkaran terhadap hakikat terdalam manusia yaitu bahwa manusia pada dasarnya baik dan punya sifat altruistik tetapi hakikatnya ini ternyata tidak didukung dengan institusi yang benar-benar dapat menjadi ekspresi nyata dari hakikat baik manusia tersebut sehingga upaya pertama untuk menciptakan perdamaian dunia adalah menciptakan institusi yang baik di mana di dalamnya manusia-manusia dapat bekerjasama yaitu mengekspresikan sifat baik dan altruistik mereka. Menurut Liberalisme, pertimbangan terhadap power dikalahkan oleh kalkulasi ekonomi atau politik dengan menekankan pada kemakmuran dan keamanan negara. Menurut John Locke keberadaan negara itu akan dibatasi oleh individu sehingga kekuasaan Negara menjadi terbatas  hanya sebagai “penjaga malam” atau hanya bertindak sebagai penetralisasi konflik.

Konsep power menurut perspektif Konstrukivis
Konstrktivisme pada dasarnya mengasumsikan bahwa politik internasional adalah hasil dari suatu konstuksi social yaitu proses dialektika antara strkutr dan agen di mana lingkungan sosial politik dan manusia saling berinteraksi untk menghasilkan perubahan-perubahan sosial politik. Konstuktivis memiliki dua pemikiran yang relevan bagi para studi Hubungan Internasional . Pemikiran pertama konstruktivis yaitu keyakinan bahwa struktur-struktur yang mempersatukan umat manusia lebih ditentukan oleh shared ideas (gagasan-gagasan yang diyakini bersama) daripada kekuatan atau power material. Pemikiran kedua yaitu keyakinan bahwa identitas dan kepentingan actor-aktor tertentu dibentuk oleh shared ideas tersebut diatas dan bukannya dibentuk oleh peristiwa alam semata. Artinya, tindakan aktor yang dapat mengakibatkan terjadinya peristiwa politik tertentu bukan semata-mata karena maksud dan motivasi dari individu yang bersangkutan tetapi juga merupakan hasil proses interaksi antara individu tersebut dengan lingkunan di sekitarnya (struktur sosial politik, ekonomi, budaya,dan sebagainya).
Menurut konstruktivisme, setiap tindakan negara didasarkan pada meanings yang muncul dari interaksinya dengan lingkungan internasional. Setiap bentuk tindakan negara misalnya melakukan perang atau menjalin hubungan baik, ataupun memutuskan hubungan dan bahkan tidak melakukan hubungan dengan negara lain, semuanya didasarkan oleh meanings yang muncul dari interaksinya dengan negara-negara atau lingkungan internasionalnya. Tindakan negara terhadap musuhnya tentulah berbeda dengan tindakan terhadap temannya. Negara akan memberikan ancaman terhadap musuhnya dan tentu tidak terhadap rekannya. Tindakan negara dalam pandangan konstruktivisme memberikan pengaruh terhadap bentuk sistem internasional, sebaliknya sistem tersebut juga memberikan pengaruh pada perilakunegara-negara. Dalam proses saling mempengaruhi itu terbentuklah apa yang disebut dengan collective meanings. Collective meanings itulah yang menjadi dasar terbentuknya intersubyektifitas dan kemudian membentuk struktur dan pada akhirnya mengatur tindakannegara-negara. Pandangan Konstruktivisme mengenai negara menurut Alexander Wendt adalah sebagai berikut :
1.Negara merupakan unit analisis prinsipil bagi teori politik internasional
2.Struktur utama dalam sistem negara lebih bersifat intersubyektif, daripada bersifat material
3.Identitas dan kepentingan negara lebih membangun struktur-struktur sosial tersebut, dari pada diserahkan secara eksogen pada sistem oleh sifat dasar manusia atau politik domestik.
Interaksi sosial antar individu akan menciptakan lingkungan atau realitas sosial yang diinginkan. Dengan kata lain, sesungguhnya realitas sosial merupakan hasil konstruksi atau bentukan dari proses interaksi tersebut. Hakekat manusia menurut konsepsi konstruktivisme lebih bersifat bebasdan terhormat karena dapat menolak atau menerima sistem internasional, membentuk kembali model relasi yang saling menguntungkan, atau yang diinginkan berdasarkan peraturan, strukturasi dan Verstehen dalam speech acts.
Bagi kaum konstruktivis, interaksi yang terjadi antara dua aktor atau lebih dalam hubungan internasional adalah salah satu hal penting yang tidak boleh ditinggalkan. Dengan adanya interaksi antar aktor – aktor tersebut maka akan menghasilkan tiga elemen penting yakni identitas, budaya dan norma (Dugis 2013). Disinilah titik berat yang menentukan seperti apa perspektif konstruktivisme yang sebenarnya. Adanya tiga elemen dasar yang terbentuk dalam interaksi yang ada membuat perspektif konstruktivis terlihat sebagai rainkarnasi dari teori idealis yang sempat berkembang dan mengepakkan sayapnya di era sebelum Perang Dunia Kedua. Keleluasaan aktor intenasional untuk menentukan kebijakan yang akan dibuat sangat bergantung pada bagaimana sebongkah identitas dalam diri aktor dibentuk. Kaum konstruktivis sangat memperhatikan bagaimana pembentukan identitas yang ada pada aktor – aktor internasional, karena bagi mereka identitas merupakan denyut nadi bagi aktor internasional.
Selain memperhatikan bagaimana identitas aktor yang mana aktor merepresentasikan sebuah negara, kaum konstruktivis juga memilki pandangan lain untuk sebuah negara. Kaum konstruktivis menganggap bahwa interaksi yang dibawa oleh aktor – aktor dalam sistem internasional memiliki korelasi dengan bagaimana struktur internasional di bentuk dan bagaimana struktur nasional yang telah terbentuk itu kembali mempengaruhi sebuah negara. Ketelatenan kaum konstruktivis dalam mengkaji fenomena ini terlihat pada kesesuaian teori yang dapat kita lihat pada contoh SCO (Shanghai Cooperation Organization) yang terdiri dari Republik Rakyat Cina, Rusia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan dan Uzbekistan. Organisasi ini terbentuk karena keinginan negara – negara anggota untuk mengimbangi kekuatan negara Amerika Serikat (Wardhani 2013). Kaum konstruktivis tidak menekankan pandangannya terhadap material yang dicerminkan melalui power sebuah aktor seperti argument yang disajikan oleh perspektif realis dan liberalis (Jackson & Sorensen 1999). Perspektif konstrutivisme lebih cenderung pada pengkajian mengenai bagaimana identitas, budaya dan norma dikonstruksi dalam sistem internasional. Sehingga dapat dikatakan bahwa perspektif konstruktivisme lebih menekankan fokus pengkajiannya pada source of change. 
PENTING UNTUK DIPAHAMI BAHWA PLAGIARISME MERUPAKAN TINDAKAN KRIMINAL!!!
 Di dalam undang-undang nomor 19 tahun 2002 tentang hak cipta. sebagaimana undang-undang yang mengatur tersebut plagiat merupakan tindakan pidana .  dibawah ini jelas sekali undang-undang yang mengaturnya

Pasal 72 ayat (1) :



“Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)”.

No comments:

Post a Comment