Translate

Sunday, September 7, 2014

Konsep anarki menurut perspektif Realis, Liberalis dan Konsrtuktivis



Bagaimana konsep anarki menurut perspektif Realis, Liberalis dan Konsrtuktivis?
Konsep anarki menurut perspektif Realisme
Nicolo Machiavelli dan Thomas Hobbes yang meyakini bahwa manusia pada dasarnya agresif juga didkung oleh Morgenthau yang menyatakan bahwa satu-satunya cara untk menciptakan perdamaian dalm situasi semacan itu adalah membuat negara-negara bersiap-siap untuk berperang. Kesiapan berperang menimbulkan efek menakuti (deterrence) sehingga dapat mengrungkan niat suatu negara untuk memulai serangan. Mempertahankan kepentingan keamanan nasionalnya adalah dengan meningkatkan military poer yang dimiliki suatu Setiap negara akan memaksimalkan posisi kekuatan (power) relatifnya dibandingkan negara lainnya atau setidaknya tercipta balance of power. Semakin besar keuntungan kekuatan militernya akan semakin besar pula jaminan keamanan yang dimiliki negra tersebut. Dengan demikian hubungan internasional merupakan sebuah arena “struggle of power” antar aktor negara dalam mencapai kepentingan nasionalnya dalam suasana kompetisi dan konflik serta perang. Dengan kata lain terjadinya peperangan adalah sesuatu yang tidak terhindarkan. Oleh karenanya setiap aktor akan senantiasa mempertahankan eksistensinya melalui instrument militer dalam kondisi self-help system dimana setiap aktor negara harus menyandarkan kekuatan militernya untuk melindungi keamanan nasionalnya. Menurut Realisme, sebagaimana telah disinggung di atas satu-satunya instrument untk melindungi dan negara. Dalam hal ini kuantitas dan kualitas level of arms yang patut dimiliki oleh actor negara merupakan sebuah solusi rasional yang harus disediakan oleh aktor negara. Namun hal ini juga akan semakin mendorong situasi yang semakin anarkis yang akan mendorong terciptanya security dilemma.
Hierarki isu internasional menurut kaum realis biasanya menempatkan aspek keamanan nasional (national security) pada urutan pertama. Sehingga aspek militer dan isu-isu politik yang berhubungan dengan keamanan nasional mendominasi perpolitikkan dunia. Realis memusatkan perhatiannya pada potensi konflik yang ada di antara aktor negara, dalam rangka memperhatikan atas menjaga stabilitas internasional, mengantisipasi kemungkinan kegagalan upaya penjagaan stabilitas memperhitungkan manfaat dari tindakan paksaan (force) sebagai salah satu cara penyelesaian terhadap perselisihan dan memberikan perlindungan terhadap tindakan pelanggaran wilayah perbatasan.
Menurut Kenneth Waltz yang berhasil menciptakan pendekatan lama (Realisme, Morgenthau) diperbaharui dengan dimasukkannya metode scientifik. Waltz meninggalkan asumsi konservatif dari Realisme klasik yang menempatkan hakikat manusia sebagai sumber untuk menjelaskan perilaku manusia dan memperjelas logika tentang powe politics dengan fondasi yang lebih kuat pada struktur anarki. Neorealisme mempertegas posisi realism yang tidak lagi merupakan suatu cara pandang ethico-philosophical yang menekankan pada spekulasi dan refleksi tetapi cara pandang yang mengutamakn ekspresi dalam bentuk teori yang positivis.
Pandangan anarki realism juga didukung oleh E.H. Carr yang bersama-sama didukung oleh Herbert Butterfield yang berusaha mempertahankan Realisme klasik. Carr mengklaim bahwa politik dan moralitas adalah dua hal yang harus selalu dikombinasikan untuk memahami Hubungan Internasional. Martin Wight, Hedley Bull, Adam Watson dan John Vincent mencoba mempertahankan etik dalam hubungan internasional. Mereka memperkenalkan pendekatan Rasionalisme berangkat dari cara pandang Realisme dengan berupaya menjelaskan bagaimana negara-negara mengontrol “the quest for power” dalam konteks anarkis.
Rasionalisme seperti diklaim Wight menekankan bahwa tata internasional semestinya tidak taken for granted (kebenarannya diterima begitu saja). Tata internasional merupakan suatu pencapaian yang masih rentan yang dapat dihancurkan oleh kekuatan-kekuatan yang agresif.
Bagi kaum Realism dan Neorealis tatanan apapun bersumber dari upaya-upaya negara untuk mengindikasikan kondisi perang yang bagi realis tidak akan berakhir. Menurut Kenneth Wlatz dalam tatanan internasional negara-negara dunia ketiga adalah negara-negara yang menerima distribusi power yang tidak adil dari sistem internasional yang anarkis tersebut. Diferensiasi kapabilitas power menempatakan negara-negara ini sebagai negara yang banyak ditentukan oleh percaturan negara super power. Dari deskripsi tersebut memunculkan interest bagi pemahaman tentang Realisme di negara-negara dunia ketiga, terutama dikembangkan lebih khusus untuk mencari jalan keluar dari sistem internasional atau mengambil keuntungan dari konteks ini. Misalnya di India, munculnya Gerakan Non Blok merupakan pilihan penting untuk mementang dominasi negara-negara super power. GNB dipandang sebagai langkah moral dalam konteks dunia yang realis yang dalam sejarah India berkaitan erat dengan wujud lain dari no-violent resistence. Penolakan terhadap system internasional yang realis memacu perkembangan studi Hubngan internasional yang sekalipun strategi politiknya Realisme, tetapi melahirkan proposal bagi aksi moral.


Konsep anarki menurut perspektif Liberalis
Kaim liberalis meyakini hakikat manusia yang selalu baik dan kooperatif sehingga peperangan dapat dihindarkan dengan penegakan aturan semata.
Kelompok liberal berpandangan bahwa pola hubungan internasional tidak bersifat anarkis karena adanya mekanisme yang mengatur hubungan antarnegara. Mekanisme tersebut mencakup hukum internasional, organisasi internasional, dan praktik diplomasi.
Menurut Wodrow Wilson menganggap bahwa harus ada sebuah institusi yang diharapkan mampu mencegah terjadinya konflik dan mewujudkan perdamaian dunia. Menurut John Locke keberadaan negara itu akan dibatasi oleh individu sehingga kekuasaan negara menjadi terbatas – hanya sebagai “penjaga malam” atau hanya bertindak sebagai penetralisasi konflik. Ini didasarkan pada nilai dasar liberalisme Treat the Others Reason Equally. Dengan adanya pengakuan terhadap persamaan manusia, dimana setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mengemukakan pendapatnya, maka dalam setiap penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi baik dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan kenegaraan dilakukan secara diskusi dan dilaksanakan dengan persetujuan dimana hal ini sangat penting untuk menghilangkan egoisme individu. Perang bukan tidak terhindarkan dan sering dapat dicegah dengan menghapuskan lembaga yang mendorongnya. Perang adalah masalah internasional yang memerlukan usaha kolektif atau multilateral dan bukannya usaha nasional saja, oleh sebab itulah masyarakat internasional harus mengakui usaha untuk menghapus institusi yang mendorong terjadinya perang.


Konsep anarki menurut perspektif Konstruktivis
Pandangan anarki dalam sistem Internasional “anarki adalah hal yang diciptakan oleh negara-negara dari hal tersebut”. Yang dimaksudkannya adalah bahwa struktur anarkis yang diklaim oleh para pendukung neo-realis sebagai mengatur interaksi negara pada kenyataannya merupakan fenomena yang secarasosial dikonstruksi dan direproduksi oleh negara-negara. Sebagai contoh, jika sistem internasional didominasi oleh negara-negara yang melihat anarki sebagai situasi hidup dan mati (diistilahkan oleh Wendt sebagai anarki “Hobbesian”) maka sistem tersebut akan
dikarakterkan dengan peperangan. Jika pada pihak lain anarki dilihat sebagai dibatasi (anarki “Lockean”) maka sistem yang lebih damai akan eksis. Anarki menurut pandangan ini dibentuk oleh interaksi negara, bukan diterima sebagai aspek yang alami dan tidak mudah berubah dalam kehidupan internasional seperti menurut pendapat para pakar HI non-realis.Para pendukung pasca-positivis mengatakan bahwa fokus terhadap negara denganmengorbankan etnisitas/ras/jender menjadikan konstrukstivisme sosial sebagai teori positivisyang lain.Bagi Wendt, tidak ada logika anarki, tetapi anarki adalah sebuah efek dari praktik  pemikiran konstruktivis reguler “anarki adalah sesuatu yang dibuat oleh negara”
Perspektif ketiga datang dari kaum konstruktivis. Kaum konstruktivis berpendapat bahwa tingkah laku negara sebenarnya dipengaruhi oleh banyak pandangan/hal-hal normatif dan idealis. Mereka berpendapat bahwa identitas sosial suatu negara akan membentuk tindakan dan kepentingan nasionalnya. Selain menggarisbawahi pentingnya hal-hal normatif dan identitas sosial, konstruktivis juga menekankan pentingnya alasan bertindak, yang terdiri dari alasan individual dan kolektif serta pembenaran secara hukum. Berbagai alasan bertindak ini dikatakan mempunyai dimensi internal dan eksternal, serta aspek pribadi dan publik. Namun kaum konstruktivis menekankan, alasan bertindak yang disebutkan ini, bukanlah semata merupakan kelayakan logis berupa pembenaran normatif dari suatu tindakan, melainkan harus berupa argumentasi logis.
Konstruktivisme memberikan sumbangan untuk mengkaji persoalan-persoalan bagaimana ide dan identitas tersebut berkembang dan memberikan pemahaman bagi negara untuk merespon kondisi sekitarnya. Konstruktivisme beranggapan bahwa perang terjadi akibat adanya pilihan secara sadar dari suatu negara. Interaksi yang terjadi antar negara saling mempengaruhi system internasional. Perang tetap dapat terjadi atas dasar keputusan negara,sedangkan keputusanyang telah dibuat negara dipengaruhi oleh identitas dan kepentingan yang dimiliki oleh negara tersebut. Faktor penyebab perang datang dari berbagai aspek mulai dari ekonomi,politik dan sosial
Perspektif konstruktivisme juga menyajikan kritik mengenai sistem anarki yang ada dalam sistem internasional. Namun pada dasarnya kritik ini bukanlah untuk menentang konsep tidak adanya kekuasaan di atas kekuasaan negara yang telah menjadi konsep pokok perspektif – perspektif besar yang ada sebelumnya. Kaum konstruktivis menganggap bahwa sebenarnya sifat anarki ini muncul dikarenakan adanya konektifitas antar negara yang berupa interaksi sehingga memunculkan kesamaan pemikiran untuk membentuk satu sistem pemahaman yang sama. Jadi dengan kata lain, sistem anarki yang ada bukanlah given, sistem anarki tak lain adalah sebuah sistem yang sengaja dikonstruksi oleh aktor – aktornya (Jackson & Sorensen 1999).


PENTING UNTUK DIPAHAMI BAHWA PLAGIARISME MERUPAKAN TINDAKAN KRIMINAL!!!
 Di dalam undang-undang nomor 19 tahun 2002 tentang hak cipta. sebagaimana undang-undang yang mengatur tersebut plagiat merupakan tindakan pidana .  dibawah ini jelas sekali undang-undang yang mengaturnya

Pasal 72 ayat (1) :



“Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)”.

No comments:

Post a Comment