Bagaimana
konsep anarki menurut perspektif Realis, Liberalis dan Konsrtuktivis?
Konsep
anarki menurut perspektif Realisme
Nicolo
Machiavelli dan Thomas Hobbes yang meyakini bahwa manusia pada dasarnya agresif
juga didkung oleh Morgenthau yang menyatakan bahwa satu-satunya cara untk
menciptakan perdamaian dalm situasi semacan itu adalah membuat negara-negara
bersiap-siap untuk berperang. Kesiapan berperang menimbulkan efek menakuti
(deterrence) sehingga dapat mengrungkan niat suatu negara untuk memulai
serangan. Mempertahankan kepentingan keamanan nasionalnya adalah dengan
meningkatkan military poer yang dimiliki suatu Setiap negara akan memaksimalkan
posisi kekuatan (power) relatifnya dibandingkan negara lainnya atau setidaknya
tercipta balance of power. Semakin besar keuntungan kekuatan militernya akan
semakin besar pula jaminan keamanan yang dimiliki negra tersebut. Dengan
demikian hubungan internasional merupakan sebuah arena “struggle of power” antar aktor negara dalam mencapai kepentingan
nasionalnya dalam suasana kompetisi dan konflik serta perang. Dengan kata lain
terjadinya peperangan adalah sesuatu yang tidak terhindarkan. Oleh karenanya
setiap aktor akan senantiasa mempertahankan eksistensinya melalui instrument
militer dalam kondisi self-help system
dimana setiap aktor negara harus menyandarkan kekuatan militernya untuk
melindungi keamanan nasionalnya. Menurut Realisme, sebagaimana telah disinggung
di atas satu-satunya instrument untk melindungi dan negara. Dalam hal ini
kuantitas dan kualitas level of arms
yang patut dimiliki oleh actor negara merupakan sebuah solusi rasional yang
harus disediakan oleh aktor negara. Namun hal ini juga akan semakin mendorong
situasi yang semakin anarkis yang akan mendorong terciptanya security dilemma.
Hierarki isu
internasional menurut kaum realis biasanya menempatkan aspek keamanan nasional
(national security) pada urutan pertama. Sehingga aspek militer dan isu-isu
politik yang berhubungan dengan keamanan nasional mendominasi perpolitikkan
dunia. Realis memusatkan perhatiannya pada potensi konflik yang ada di antara
aktor negara, dalam rangka memperhatikan atas menjaga stabilitas internasional,
mengantisipasi kemungkinan kegagalan upaya penjagaan stabilitas memperhitungkan
manfaat dari tindakan paksaan (force) sebagai salah satu cara penyelesaian
terhadap perselisihan dan memberikan perlindungan terhadap tindakan pelanggaran
wilayah perbatasan.
Menurut Kenneth Waltz
yang berhasil menciptakan pendekatan lama (Realisme, Morgenthau) diperbaharui
dengan dimasukkannya metode scientifik. Waltz meninggalkan asumsi konservatif
dari Realisme klasik yang menempatkan hakikat manusia sebagai sumber untuk
menjelaskan perilaku manusia dan memperjelas logika tentang powe politics
dengan fondasi yang lebih kuat pada struktur anarki. Neorealisme mempertegas
posisi realism yang tidak lagi merupakan suatu cara pandang
ethico-philosophical yang menekankan pada spekulasi dan refleksi tetapi cara
pandang yang mengutamakn ekspresi dalam bentuk teori yang positivis.
Pandangan anarki
realism juga didukung oleh E.H. Carr yang bersama-sama didukung oleh Herbert
Butterfield yang berusaha mempertahankan Realisme klasik. Carr mengklaim bahwa
politik dan moralitas adalah dua hal yang harus selalu dikombinasikan untuk
memahami Hubungan Internasional. Martin Wight, Hedley Bull, Adam Watson dan
John Vincent mencoba mempertahankan etik dalam hubungan internasional. Mereka
memperkenalkan pendekatan Rasionalisme berangkat dari cara pandang Realisme
dengan berupaya menjelaskan bagaimana negara-negara mengontrol “the quest for power” dalam konteks
anarkis.
Rasionalisme seperti diklaim Wight
menekankan bahwa tata internasional semestinya tidak taken for granted (kebenarannya diterima begitu saja). Tata
internasional merupakan suatu pencapaian yang masih rentan yang dapat
dihancurkan oleh kekuatan-kekuatan yang agresif.
Bagi kaum Realism dan Neorealis tatanan
apapun bersumber dari upaya-upaya negara untuk mengindikasikan kondisi perang
yang bagi realis tidak akan berakhir. Menurut Kenneth Wlatz dalam tatanan
internasional negara-negara dunia ketiga adalah negara-negara yang menerima
distribusi power yang tidak adil dari sistem internasional yang anarkis
tersebut. Diferensiasi kapabilitas power menempatakan negara-negara ini sebagai
negara yang banyak ditentukan oleh percaturan negara super power. Dari
deskripsi tersebut memunculkan interest bagi pemahaman tentang Realisme di negara-negara
dunia ketiga, terutama dikembangkan lebih khusus untuk mencari jalan keluar
dari sistem internasional atau mengambil keuntungan dari konteks ini. Misalnya
di India, munculnya Gerakan Non Blok merupakan pilihan penting untuk mementang
dominasi negara-negara super power. GNB dipandang sebagai langkah moral dalam
konteks dunia yang realis yang dalam sejarah India berkaitan erat dengan wujud
lain dari no-violent resistence.
Penolakan terhadap system internasional yang realis memacu perkembangan studi
Hubngan internasional yang sekalipun strategi politiknya Realisme, tetapi
melahirkan proposal bagi aksi moral.
Konsep
anarki menurut perspektif Liberalis
Kaim liberalis
meyakini hakikat manusia yang selalu baik dan kooperatif sehingga peperangan
dapat dihindarkan dengan penegakan aturan semata.
Kelompok liberal
berpandangan bahwa pola hubungan internasional tidak bersifat anarkis karena adanya
mekanisme yang mengatur hubungan antarnegara. Mekanisme tersebut mencakup hukum
internasional, organisasi internasional, dan praktik diplomasi.
Menurut Wodrow Wilson menganggap bahwa
harus ada sebuah institusi yang diharapkan mampu mencegah terjadinya konflik
dan mewujudkan perdamaian dunia. Menurut John Locke keberadaan negara itu akan
dibatasi oleh individu sehingga kekuasaan negara menjadi terbatas – hanya
sebagai “penjaga malam” atau hanya bertindak sebagai penetralisasi konflik. Ini
didasarkan pada nilai dasar liberalisme Treat
the Others Reason Equally. Dengan adanya pengakuan terhadap
persamaan manusia, dimana setiap orang mempunyai hak yang sama untuk
mengemukakan pendapatnya, maka dalam setiap penyelesaian masalah-masalah yang
dihadapi baik dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan kenegaraan
dilakukan secara diskusi dan dilaksanakan dengan persetujuan dimana hal ini
sangat penting untuk menghilangkan egoisme individu. Perang bukan tidak terhindarkan dan sering dapat dicegah dengan menghapuskan lembaga yang mendorongnya.
Perang adalah masalah internasional
yang memerlukan usaha kolektif atau multilateral dan bukannya usaha nasional saja, oleh sebab itulah masyarakat internasional harus mengakui usaha untuk
menghapus institusi yang mendorong
terjadinya perang.
Konsep
anarki menurut perspektif Konstruktivis
Pandangan anarki dalam sistem
Internasional “anarki adalah
hal yang diciptakan oleh negara-negara dari hal tersebut”. Yang dimaksudkannya
adalah bahwa struktur anarkis yang diklaim oleh para pendukung neo-realis sebagai
mengatur interaksi negara pada kenyataannya merupakan fenomena yang
secarasosial dikonstruksi dan direproduksi oleh negara-negara. Sebagai contoh,
jika sistem internasional didominasi oleh negara-negara yang melihat anarki sebagai
situasi hidup dan mati (diistilahkan oleh Wendt sebagai anarki “Hobbesian”)
maka sistem tersebut akan
dikarakterkan
dengan peperangan. Jika pada pihak
lain anarki dilihat sebagai dibatasi (anarki “Lockean”) maka sistem yang lebih
damai akan eksis. Anarki menurut pandangan ini dibentuk oleh interaksi negara, bukan diterima sebagai
aspek yang alami dan tidak mudah berubah dalam kehidupan internasional
seperti menurut pendapat para pakar HI non-realis.Para pendukung
pasca-positivis mengatakan bahwa fokus terhadap negara denganmengorbankan
etnisitas/ras/jender menjadikan konstrukstivisme sosial sebagai teori
positivisyang lain.Bagi Wendt, tidak ada logika anarki, tetapi anarki adalah
sebuah efek dari praktik pemikiran konstruktivis reguler “anarki adalah
sesuatu yang dibuat oleh negara”
Perspektif ketiga
datang dari kaum konstruktivis. Kaum konstruktivis berpendapat bahwa tingkah
laku negara sebenarnya dipengaruhi oleh banyak pandangan/hal-hal normatif dan
idealis. Mereka berpendapat bahwa identitas sosial suatu negara akan membentuk
tindakan dan kepentingan nasionalnya. Selain menggarisbawahi pentingnya hal-hal
normatif dan identitas sosial, konstruktivis juga menekankan pentingnya alasan
bertindak, yang terdiri dari alasan individual dan kolektif serta pembenaran
secara hukum. Berbagai alasan bertindak ini dikatakan mempunyai dimensi
internal dan eksternal, serta aspek pribadi dan publik. Namun kaum
konstruktivis menekankan, alasan bertindak yang disebutkan ini, bukanlah semata
merupakan kelayakan logis berupa pembenaran normatif dari suatu tindakan,
melainkan harus berupa argumentasi logis.
Konstruktivisme memberikan sumbangan untuk mengkaji
persoalan-persoalan bagaimana ide dan identitas tersebut berkembang dan
memberikan pemahaman bagi negara untuk merespon kondisi sekitarnya.
Konstruktivisme beranggapan bahwa perang terjadi akibat adanya pilihan secara
sadar dari suatu negara. Interaksi yang terjadi antar negara saling
mempengaruhi system internasional. Perang tetap dapat terjadi atas dasar
keputusan negara,sedangkan keputusanyang telah dibuat negara dipengaruhi oleh
identitas dan kepentingan yang dimiliki oleh negara tersebut. Faktor penyebab
perang datang dari berbagai aspek mulai dari ekonomi,politik dan sosial
Perspektif konstruktivisme juga menyajikan kritik mengenai
sistem anarki yang ada dalam sistem internasional. Namun pada dasarnya kritik
ini bukanlah untuk menentang konsep tidak adanya kekuasaan di atas kekuasaan
negara yang telah menjadi konsep pokok perspektif – perspektif besar yang ada
sebelumnya. Kaum konstruktivis menganggap bahwa sebenarnya sifat anarki ini
muncul dikarenakan adanya konektifitas antar negara yang berupa interaksi
sehingga memunculkan kesamaan pemikiran untuk membentuk satu sistem pemahaman
yang sama. Jadi dengan kata lain, sistem anarki yang ada bukanlah given,
sistem anarki tak lain adalah sebuah sistem yang sengaja dikonstruksi oleh
aktor – aktornya (Jackson & Sorensen 1999).
PENTING UNTUK DIPAHAMI BAHWA PLAGIARISME MERUPAKAN TINDAKAN KRIMINAL!!!
Di dalam undang-undang nomor 19 tahun 2002 tentang hak cipta. sebagaimana
undang-undang yang mengatur tersebut plagiat merupakan tindakan pidana . dibawah
ini jelas sekali undang-undang yang mengaturnya
Pasal
72 ayat (1) :
“Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau
denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah)”.
No comments:
Post a Comment