Ketika Tangan Manusia Bertingkah
Pagi
hari ayam mulai berkokok, meski matahari belum nampak tetapi sinarnya telah
menerangi desaku. Yah, desaku memang dikelilingi oleh perbukitan, di
sekelilingnya tampak tebing-tebing menjulang tinggi. Ku coba untuk membuka
mata, tapi seolah-olah mata enggan untuk membukanya. Biasanya memang ketika
mati lampu, dan hari mulai pagi secara refleks ketika terbangun dari tidurnya,
mata akan sulit untuk membukakan kelopaknya. Pada saat itu desaku memang
mengalami mati lampu, akupun sebenarnya tidak begitu banyak bertanya-tanya pada
ibuku yang sudah terbangun guna mempersiapkan sarapan pagi. Wajar, tadi malam
habis hujan lebat sehingga aku tidak menghiraukan mengapa mati lampu terjadi.
Setelah siap, saya melangkahkan kaki untuk berangkat sekolah. Saya adalah siswa
kelas 1 SD di Sekolah Dasar Negeri 2 Donosari. Dengan menempuh perjalanan
sekitar 15 menit, saya akhirnya sampai di sekolah yang terletak di kaki sebuah
bukit, orang di sini sering menyebutnya dengan Gunung Sari. Namun, sekolah kali
ini nampak berbeda, karena tidak ada aktivitas belajar mengajar. Salah satu
guru mengumumkan bahwa hari ini akan pulang lebih awal. Sebelum pulang kami
semua membersihkan ruang kelas dan sekolah. Saya membersihkan halaman sekolah
bersama teman-teman lain dengan menggunakan sapu lidi. Nampaknya hujan lebat
telah menggugurkan daun-daun yang berasal dari salah satu pohon yang berada
tepat di halaman sekolah.
Alasan
pulang sekolah lebih awal karena telah terjadi tanah longsor di desa sebelah, sebut
saja Desa Penusupan, memang tidak terlalu aku pedulikan. Hingga akhirnya
kewajiban membersihkan halaman sekolah telah selesai, siswa-siswa boleh pulang.
Sesampai di rumah, sayapun penasaran dengan bencana tanah longsor di Desa
Penusupan yang menimpa beberapa rumah warga. Lokasi terjadinya bencana longsor
tersebut berada di daerah perbatasan antara Desa Sidoagung, Desa Karang Jambu
dan Desa Donosari tersebut, sehingga banyak warga yang bergotong-royong
membantu evakuasi. Dengan penuh penasaran saya menuju lokasi, betapa
terkejutnya saya ketika melihat lokasi tersebut. Betapa tidak, empat rumah
luluh lantah tertimbun oleh tanah. Selain itu nampak warga yang tengah mencari
jenasah-jenasah yang tertimbun tanah longsor. Raut muka warga yang hadir
nampaknya berkerudung oleh kesedihan. Mereka tidak tega melihat apa yang telah
menimpa tetangga mereka.
Dengan
penuh penasaran, saya menyusuri beberapa kerumunan orang. Karena tidak
diperbolehkan ke Tempat Kejadian Perkara, saya memutuskan untuk menengok di
salah satu kerumunan warga yang sedang memandikan jenasah yang telah berhasil
dievakuasi. Ketika itu, saya melihat betapa tubuh sesosok mayat tersebut
dipenuhi oleh balutan-balutan tanah. Saat air membasahi tubuh sesosok mayat
yang berumur belasan tahun tersebut, tanah-tanah yang melekat di tubuhnya
sedikit demi sedikit telah menghilang. Memang suasana hari itu nampaknya
dirundung oleh hati yang sedih dan miris melihat apa yang terjadi. Inilah
momen-momen yang selalu ku ingat sampai sekarang.
Kejadian
tanah longsor di Desa Penusupan menjadi miris sekali ketika melihat upaya yang
telah dilakukan oleh desa ini untuk melakukan penghijauan. Perlu diketahui
bahwa Desa Penusupan merupakan salah satu sesa yang berhasil melakukan
penghijauan di Indonesia, bahkan memanangkan kejuaraan tingkat nasional sebagai
Desa yang berhasil melakukan penghijauan. Ironis bukan?. Tapi ingat bahwa suatu
peristiwa terjadi pasti ada penyebabnya.
Keberhasilan
Desa ini mencapai ranking tertinggi sebagai desa yang berhasil melakukan
penghijauan ternyata membuat warganya terlena. Alih-alih ingin memperoleh
pendapatan yang berlebih, membuat beberapa warga memilih untuk melakukan
penebangan pohon yang kurang memperhatikan kondisi lingkungan sekitar. Ditambah
lagi dengan merosotnya harga cengkih pada waktu itu membuat sebagian besar
warga memilih untuk menggantinya dengan pohon pinus dan jati. Namun sayang
seribu sayang, bukit yang dulu hijau justru berubah menjadi kering karena hanya
ditumbuhi oleh semak-semak belukar dan rumput. Terlebih lagi aksi pembabatan lahan
justru belum menghasilkan pohon-pohon dewasa. Ketika datang hujan, beban
akar-akar pohon yang tersisa semakin berat untuk menampung resapan air, hingga
akhirnya akar-akar dari pohon tidak mampu menahan air yang melimpah dan berujung
pada terjadinya tanah longsor.
Berikut foto-foto bencana longsor di Desa Penusupan, Kecamatan Sruweng, Kebumen 5 Oktober 2001
No comments:
Post a Comment