Translate

Monday, June 13, 2016

Bencana Longsor Penusupan, Sruweng

Ketika Tangan Manusia Bertingkah
            Pagi hari ayam mulai berkokok, meski matahari belum nampak tetapi sinarnya telah menerangi desaku. Yah, desaku memang dikelilingi oleh perbukitan, di sekelilingnya tampak tebing-tebing menjulang tinggi. Ku coba untuk membuka mata, tapi seolah-olah mata enggan untuk membukanya. Biasanya memang ketika mati lampu, dan hari mulai pagi secara refleks ketika terbangun dari tidurnya, mata akan sulit untuk membukakan kelopaknya. Pada saat itu desaku memang mengalami mati lampu, akupun sebenarnya tidak begitu banyak bertanya-tanya pada ibuku yang sudah terbangun guna mempersiapkan sarapan pagi. Wajar, tadi malam habis hujan lebat sehingga aku tidak menghiraukan mengapa mati lampu terjadi. Setelah siap, saya melangkahkan kaki untuk berangkat sekolah. Saya adalah siswa kelas 1 SD di Sekolah Dasar Negeri 2 Donosari. Dengan menempuh perjalanan sekitar 15 menit, saya akhirnya sampai di sekolah yang terletak di kaki sebuah bukit, orang di sini sering menyebutnya dengan Gunung Sari. Namun, sekolah kali ini nampak berbeda, karena tidak ada aktivitas belajar mengajar. Salah satu guru mengumumkan bahwa hari ini akan pulang lebih awal. Sebelum pulang kami semua membersihkan ruang kelas dan sekolah. Saya membersihkan halaman sekolah bersama teman-teman lain dengan menggunakan sapu lidi. Nampaknya hujan lebat telah menggugurkan daun-daun yang berasal dari salah satu pohon yang berada tepat di halaman sekolah.
            Alasan pulang sekolah lebih awal karena telah terjadi tanah longsor di desa sebelah, sebut saja Desa Penusupan, memang tidak terlalu aku pedulikan. Hingga akhirnya kewajiban membersihkan halaman sekolah telah selesai, siswa-siswa boleh pulang. Sesampai di rumah, sayapun penasaran dengan bencana tanah longsor di Desa Penusupan yang menimpa beberapa rumah warga. Lokasi terjadinya bencana longsor tersebut berada di daerah perbatasan antara Desa Sidoagung, Desa Karang Jambu dan Desa Donosari tersebut, sehingga banyak warga yang bergotong-royong membantu evakuasi. Dengan penuh penasaran saya menuju lokasi, betapa terkejutnya saya ketika melihat lokasi tersebut. Betapa tidak, empat rumah luluh lantah tertimbun oleh tanah. Selain itu nampak warga yang tengah mencari jenasah-jenasah yang tertimbun tanah longsor. Raut muka warga yang hadir nampaknya berkerudung oleh kesedihan. Mereka tidak tega melihat apa yang telah menimpa tetangga mereka.
            Dengan penuh penasaran, saya menyusuri beberapa kerumunan orang. Karena tidak diperbolehkan ke Tempat Kejadian Perkara, saya memutuskan untuk menengok di salah satu kerumunan warga yang sedang memandikan jenasah yang telah berhasil dievakuasi. Ketika itu, saya melihat betapa tubuh sesosok mayat tersebut dipenuhi oleh balutan-balutan tanah. Saat air membasahi tubuh sesosok mayat yang berumur belasan tahun tersebut, tanah-tanah yang melekat di tubuhnya sedikit demi sedikit telah menghilang. Memang suasana hari itu nampaknya dirundung oleh hati yang sedih dan miris melihat apa yang terjadi. Inilah momen-momen yang selalu ku ingat sampai sekarang.
            Kejadian tanah longsor di Desa Penusupan menjadi miris sekali ketika melihat upaya yang telah dilakukan oleh desa ini untuk melakukan penghijauan. Perlu diketahui bahwa Desa Penusupan merupakan salah satu sesa yang berhasil melakukan penghijauan di Indonesia, bahkan memanangkan kejuaraan tingkat nasional sebagai Desa yang berhasil melakukan penghijauan. Ironis bukan?. Tapi ingat bahwa suatu peristiwa terjadi pasti ada penyebabnya.
            Keberhasilan Desa ini mencapai ranking tertinggi sebagai desa yang berhasil melakukan penghijauan ternyata membuat warganya terlena. Alih-alih ingin memperoleh pendapatan yang berlebih, membuat beberapa warga memilih untuk melakukan penebangan pohon yang kurang memperhatikan kondisi lingkungan sekitar. Ditambah lagi dengan merosotnya harga cengkih pada waktu itu membuat sebagian besar warga memilih untuk menggantinya dengan pohon pinus dan jati. Namun sayang seribu sayang, bukit yang dulu hijau justru berubah menjadi kering karena hanya ditumbuhi oleh semak-semak belukar dan rumput. Terlebih lagi aksi pembabatan lahan justru belum menghasilkan pohon-pohon dewasa. Ketika datang hujan, beban akar-akar pohon yang tersisa semakin berat untuk menampung resapan air, hingga akhirnya akar-akar dari pohon tidak mampu menahan air yang melimpah dan berujung pada terjadinya tanah longsor.
Berikut foto-foto bencana longsor di Desa Penusupan, Kecamatan Sruweng, Kebumen 5 Oktober 2001

http://www.popcash.net/home/56215

http://www.popcash.net/register/56215

 

No comments:

Post a Comment