VIVA.co.id - Tidak banyak yang tahu tentang latar
belakang Mary Jane Fiesta Veloso, terpidana mati asal Filipina yang tertangkap
tangan membawa narkoba jenis heroin seberat 2,62 kilogram di bandara Yogyakarta
beberapa tahun lalu. Sebagai terpidana mati, Dia kini harus menghitung hari
sebelum menghadapi juru tembak di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan.
Komisioner Komnas Perempuan, Yunyanti Chuzaifah,
sempat beberapa kali bertemu dengan Mary, dan menemukan bahwa dia adalah korban
mafia perdagangan orang dan mafia narkoba internasional.
Berikut adalah kisah pilu Mary Jane seperti
diutarakan Yunyanti yang sempat menitikkan air mata, di kantornya, Gedung
Komnas Perempuan, Menteng, Jakarta, Jum'at 24 April 2015.
Mary Jane, perempuan kelahiran 10 Januari 1985,
berasal dari keluarga miskin di Provinsi Nueva Ecija, Filipina. Ayah dan ibunya
bekerja sebagai penjual minuman keliling dan pengumpul barang bekas. Mary
menempuh pendidikam hanya sampai kelas 1 SMP.
Pada tahun 2000, menikah di usia 16 dan memiliki 2
orang anak. Kemudian berpisah dari suaminya karena sang suami tidak bekerja dan
senang berjudi serta mabuk-mabukan.
Untuk memenuhi kebutuhan, Mary pernah menjalani
berbagai pekerjaan seperti penjual es lilin, pisang goreng dan telur balot,
namun tetap tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarganya.
Pada tahun 2009, Mary sempat bekerja di Dubai
sebagai PRT. Namun ia hanya bekerja 10 bulan karena mengalami percobaan
perkosaan oleh sesama pekerja satu majikan, akibatnya dia mengalami trauma
berat dan sempat dirawat selama 1 bulan di Rumah Sakit.
April 2010, Mary direkrut secara illegal oleh
tetangga suaminya, bernama Kristina untuk bekerja di Malaysia sebagai PRT.
Selanjutnya dia terbang dan masuk ke Malaysia dengan visa turis.
Sesampai di Malaysia, Kristina memberikan tas koper
untuk tempat pakaian, yang tanpa sepengatuhuannya telah dimasukkan Heroin. Mary
sempat bertanya mengapa tas berat? Kristin mengatakan tas koper baru memang
berat. Dia langsung percaya karena baru pertama kalinya dia memiliki tas koper.
Kristina meminta Mary untuk ke Indonesia menemui
temannya. Dia menjanjikan setelah seminggu di Indonesia, Mary kembali ke
Malaysia dan mulai bekerja di majikan baru.
25 April 2010, Mary tertangkap tangan di Bandara
International Adi Sucipto Yogyakarta, di dalam tasnya ditemukan heroin sebers
2,6 Kg.
Selama proses hukum, Mary didampingi penasehat hukum
yang ditunjuk Polda DIY, namun hanya bertemu saat persidangan. Selama
pemeriksaan dan penyidikan, Mary didampingi penerjemah bahasa Inggris, namun
sepanjang proses tersebut Mary tidak memahami apa yang dituduhkan padanya
karena dia tidak bisa berbahasa Inggris. Dia hanya bisa berbahasa asli Tanah
Airnya, Tagalog.
Belakangan diketahui penerjemah yang ditunjuk bukan
yang tersumpah melainkan hanyalah seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Bahasa Asing
di Yogyakarta.
Pada tahap akhir persidangan, majrlis hakim bertanya
pada Mary, "Are you regret?", ia langsung menjawab "No".
Lantaran keterbatasan bahasa Inggrisnya, dia mengira maksud pertanyaan hakim
adalah "Apakah kamu mengakui perbuatanmu?" karenanya dia menjawab
tidak.
Selanjutnya, Oktober 2010, Majelis Hakim PN Sleman
memvonis Mary hukuman mati. Sempat mengajukan kasasi, PK dan grasi, namun
keduanya ditolak.
Saat ini, Mary sudah dipindahkan dari Yogyakarta ke
Nusakambangan pada Jumat pagi, 24 April 2015. Dia menempati ruang isolasi di
Lapas Besi Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. (ren)