Teori Kritis dalam Studi Ilmu Hubungan Internasional
Critical Theory in the Study of International Relations
Teori-teori Kritis pada awalnya merujuk pada
serangkaian pemikiran mereka yang tergabung dalam sebuah institut penelitian di
Universitas Frankfurt, tahun 1920an, yang kemudian dikenal sebagai Die
Frankfurter Schule atau Frankfurt School. Pemikiran mereka banyak memperoleh
inspirasi dari, atau didasarkan atas, pemikiran tokoh-tokoh seperti Georg
Hegel, Max Weber, Emmanuel Kant, Sigmund Freud, dan terutama sekali – serta
tidak bisa dilepaskan dari – konsepsi pemikirab Karl Marx (lihat a.l., Alvesson
dan Skolberg, 2000).
Bagaimana Penerapan Teori Kritis dalam Studi Ilmu Hubungan Internasional? dan Contoh-contoh kasus apa saja dalam Hubungan Internasional yang bisa dijelaskan oleh Teori Kritis? bisa klik di sini
Bagaimana Penerapan Teori Kritis dalam Studi Ilmu Hubungan Internasional? dan Contoh-contoh kasus apa saja dalam Hubungan Internasional yang bisa dijelaskan oleh Teori Kritis? bisa klik di sini
Namun mazhab Frankfurt telah berkembang dinamis
melalui beberapa generasi pemikiran, dan memproduksi sejumlah varian pemikiran,
sehingga secara keseluruhan memperlihatkan bahwa mazhab ini bukan merupakan
suatu kesatuan pemikiran yang monolitik.
Hingga kini sekurangnya, Frankfurt School telah
mencakup 3 (tiga) generasi pemikiran. Yang pertama, yang seringkali disimpulkan
dalam label “school of Western Marxism” (Held, 1980; hal. 13) dipelopori oleh
tokoh-tokoh seperti Theodor Adorno, Max Horkheimer, dan Herbert Marcuse. Tokoh
psikoanalis, Erich Fromm dan Sigmund Freud juga dinilai sebagai bagian dari
generasi pertama Teori-teori
Kritis (lihat Dant, 2003; Held, 1980). Kematian
Adorno dan Horkheimer dinilai banyak kalangan ilmuwan sebagai salah satu faktor
yang telah mengakhiri era Frankfurt School, sekaligus merupakan akhir dari
pemikiran teori-teori kritis sebagai suatu bentuk pemikiran Marxisme. Sebab,
sdetelah itu perkembangan pemikiran tokoh- tokoh mazhab kian menjadi sedemikian
“kabur” — dan semakin terpisah dari, atau tidak terkait dengan, gerakan-gerakan
politik Marxist (lihat a.l., Bottomore, 2002; hal. 54 – 55).
Generasi kedua, antara lain telah mencuatkan
nama-nama seperti Jurgen Habermas. Karya-karya pemikiran Habermas dengan jelas
menunjukkan adanya perbedaan epistemologis yang cukup mendasar dibanding
konsepsi yang dimiliki para pendahulunya, meskipun tetap mempertahankan tradisi
serta cirinya sebagai bagian dari teori kritis. Konsepsi Habermas tentang
communicative rationality contohnya, dapat dinilai sebagai perpecahan
epistemologi dengan philosophy of consciousness yang digunakan generasi pertama
Frankfurt School, seperti Horkheimer, Adorno, atau Marcuse.
Sementara itu, generasi ketiga, merujuk pada
tokoh-tokoh seperti Axel Honeth (lihat a.l., Rush, 2000; hal. 1.). Namun kini
lingkup teori-teori kritis telah makin meluas, mencakup – ataupun menjadi dasar
rujukan – analisis kritis dari pakar seperti Jacques Lacan (psikoanalisis),
Roland Barthes (semiotik and linguistik), Peter Golding, Janet Wasko, Noam
Chomsky, Douglas Kellner (ekonomi-politik media), hingga berbagai tokoh dalam
topik masalah gender, etnisitas dan ras, postkolonialisme, dan hubungan
internasional.
Karenanya, kini sering dibedakan pengertian antara
Critical Theories dan critical theories. Yang pertama merujuk pada teori-teori
mereka yang tergabung dalam Frankfurt School, sedangkan yang kedua mewakili
pengertian yang lebih umum.
Bahkan dijumpai sejumlah kepustakaan yang memasukkan pemikiran-pemikiran tokoh posmodernis, seperti Baudrillard dan Foucault, ke dalam kategori paradigma Teori-teori Kritis.
Bahkan dijumpai sejumlah kepustakaan yang memasukkan pemikiran-pemikiran tokoh posmodernis, seperti Baudrillard dan Foucault, ke dalam kategori paradigma Teori-teori Kritis.
Uraian dalam bagian ini memang lebih banyak merujuk
pada aspek yang – dengan segala keterbatasan pengetahuan penulis -- kurang
lebih bisa dinilai sebagai karakteristik umum pemikiran mazhab Frankfurt
School; sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan Frankfurt School
sebagai suatu maszhab yang monolitik. Selain itu jelas juga jauh dari maksud
membuat gambaran yang mewakili teori-teori kritis dalam pengertian yang lebih
umum.
Tujuan Teori-teori Kritis
Para tokoh Frankfurt School membedakan teori kritis
dengan “teori ilmiah” dalam mainstream methodology yang positivistik (atau
“tradisional”). Perbedaan tersebut, perlu pula dipahami sebagai kritik
teori-teori kritis terhadap positivisme.
Perbedaan epistemologis tersebut menciptakan
perbedaan mendasar lainnya antara Teori-teori Kritis dengan teori-teori
positivistik, yakni perbedaan mengenai tujuan dari teori itu sendiri. “Teori
ilmiah”, dalam positivisme atau “traditional science” merupakan bagian dari sistem deduktrif yang antara
lain melibatkan suatu proses yang dikenal sebagai hypothetico-deductive method.
Teori dalam pengertian tradisional bertujuan untuk
melakukan eksplanasi tentang, dan prediksi terhadap, suatu fenomena sosial.
Dalam pengertian tersebut teori bisa didefinisikan seperti yang dikemukakan
Kerlinger (1985; hal. 9):
“. . . a set of interrelated constructs (concepts),
definitions, and propositions that present a systematic view of phenomenon by
specifying relations among variables, with the purpose of explaining and
predicting phenomena”
Atau seperti yang dirumuskan oleh Wallace (1979; hal
90): “Theories . . . explain empirical generalizations that are already known,
and they predict empirical generalizations that are still unknown”.
Eksplanasi dalam teori-teori tradisional hampir
secara spesifik mengambil bentuk sebagai suatu causal explanation (lihat
Littlejohn, 2005; hal. 22) dimana sejumlah fenomena saling dihubungkan dalam
rantai kausalitas (sebab – akibat). Berdasarkan definisi itu, suatu teori yang
memiliki kemampuan melakukan eksplanasi dan prediksi terhadap suatu fenomena
sosial, dinilai memiliki kegunaan instrumental, antara lain untuk mengelola
atau mengontrol suatu fenomena sosial sebagaimana dikehendaki. “Kekuatan” atau
kegunaan sebuah teori ilmiah dengan demikian ditentukan oleh predictive power
dan explanative power teori tersebut.
Di lain pihak, dalam paradigma teori-teori kritis,
teori merupakan suatu kritik untuk mengungkap kondisi yang sebenarnya dibalik
suatu “realitas semu” atau “kesadaran palsu” yang teramati secara empirik:
“Theory is not a deductive system of interconnected
axioms and laws, but a critique that reveals true conditions behind virtual
reality, false consciousness and beliefs. (Golding and Murdock, dalam Graham
1992; pp. 15-32).
Dengan kata lain, teori-teori kritis berusaha
melakukan eksplanasi, namun eksplanasi dalam pengertian lain, yakni ekplanasi
tentang adanya kondisi-kondisi yang dinilai palsu, semu, atau tidak benar
(seperti “false class consciousness”). Tujuannya tak lain untuk pencerahan, emansipasi manusia, agar para
pelaku sosial menyadari adanya pemaksaan tersembunyi, atau hegemoni (lihat
a.l., Horkheimer, dalam Bohman, 2005;1). Dalam perkembangannya, tujuan serta
kepentingan yang menjadi motivasi teori-teori kritis dapat disimpulkan lebih
spesifik lagi, antara lain melalui pernyataan Kellner (1990; 22) sebagai
berikut:
“Critical theory promotes attempts to achieve
liberation from forces of domination and class rule . . . Critical theory is
motivated by interest in progressive social change, in promoting values such as
democracy, freedom, individuality, happiness, and community”
Lebih dari itu, teori-teori kritis bertujuan
melakukan transformasi, atau perobahan sesuai dengan kepentingan para pelaku
sosial yang menjadi subjek teori. Suatu teori kritis ditujukan bagi sekelompok
agents, demi penyadaran diri mereka dalam proses emansipasi dan pencerahan.
Suatu proses emansipasi dan pencerahan merupakan transisi dari sebuah tahap awal
(initial stage) dimana para agents memiliki “kesadaran palsu” (false consciousness), mengalami
dominasi atau hegemoni, dan eksploitasi, menuju suatu tahap akhir (final stage)
yang dikehendaki, dimana mereka terbebas, serta bisa mengaktualisasikan diri
(Geuss, 1981; hal. 52-52).
Dari segi tujuan melakukan transformasi tersebut,
teori-teori kritis sebenarnya juga melakukan eksplanasi, tetapi bukan dalam
pengertian causal explanation, melainkan practical explanation (lihat
Littlejohn, 2005; hal. 22), yakni menjelaskan tindakan apa yang perlu dilakukan
untuk melakukan transformasi dari suatu kondisi awal menuju suatu kondisi akhir
yang dikehendaki. Itu sekaligus berarti explanatory power yang dimiliki
teori-teori kritis harus dipahami berbeda dari apa yang difahami para ilmuwan
teori-teori “tradisional”.
Dari segi tujuan teori-teori kritis, maka prediksi
bukan pula merupakan tujuan dari berteori. Dengan kata lain, predictive power
bukan merupakan tolok ukur untuk menilai kekuatan suatu teori kritis. Hal ini
penting disadari. Sebab, teori-teori kritis seringkali dikritik dan dinilai
telah gagal, akibat tidak mampu membuat prediksi, atau karena situasi yang
“diramalkan” tidak terbukti. Sementara di lain pihak, tidak tepat bila
pemikiran Marcuse, contohnya, dinilai telah membuat semacam prediksi, yang
mengatakan bahwa bourgareeois art akan berakhir. Yang sebenarnya ia lakukan
adalah “mengantisipasi” berakhirnya bourgeois art tersebut karena hal itu
merupakan suatu demand or requirement of rationality. Artinya, Marcuse
sebenarnya memperlihatkan apa yang harus dipenuhi demi terciptanya suatu
kondisi tertentu. Analisis Marcuse tersebut jelas berbeda dengan analisis
prediktif, contohnya seperti yang dilakukan Benjamin, ketika membuat sebuah
deskripsi suatu proses dimana seni akhirnya akan kehilangan aura-nya (Habermas,
sebagaimana dikutip Geuss,1981; hal. 57).
Dimensi tujuan praktis teori-teori kritis, dengan
demikian juga lebih bersifat normatif, yang secara sadar dilekatkan dengan
suatu filosofi moral tertentu. Misi normatif tersebut hanya mungkin dipenuhi
melalui suatu interplay antara seperangkat norma- norma filosofi sosial dengan
ilmu-ilmu sosial.
No comments:
Post a Comment