Translate

Sunday, March 15, 2015

Teori Kritis dalam Hubungan Internasional


Teori Kritis dalam Studi Ilmu Hubungan Internasional
Critical Theory in the Study of International Relations

 Teori-teori Kritis pada awalnya merujuk pada serangkaian pemikiran mereka yang tergabung dalam sebuah institut penelitian di Universitas Frankfurt, tahun 1920an, yang kemudian dikenal sebagai Die Frankfurter Schule atau Frankfurt School. Pemikiran mereka banyak memperoleh inspirasi dari, atau didasarkan atas, pemikiran tokoh-tokoh seperti Georg Hegel, Max Weber, Emmanuel Kant, Sigmund Freud, dan terutama sekali – serta tidak bisa dilepaskan dari – konsepsi pemikirab Karl Marx (lihat a.l., Alvesson dan Skolberg, 2000).

Bagaimana Penerapan Teori Kritis dalam Studi Ilmu Hubungan Internasional? dan Contoh-contoh kasus apa saja dalam Hubungan Internasional yang bisa dijelaskan oleh Teori Kritis? bisa klik  di sini

 Namun mazhab Frankfurt telah berkembang dinamis melalui beberapa generasi pemikiran, dan memproduksi sejumlah varian pemikiran, sehingga secara keseluruhan memperlihatkan bahwa mazhab ini bukan merupakan suatu kesatuan pemikiran yang monolitik.

 Hingga kini sekurangnya, Frankfurt School telah mencakup 3 (tiga) generasi pemikiran. Yang pertama, yang seringkali disimpulkan dalam label “school of Western Marxism” (Held, 1980; hal. 13) dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Theodor Adorno, Max Horkheimer, dan Herbert Marcuse. Tokoh psikoanalis, Erich Fromm dan Sigmund Freud juga dinilai sebagai bagian dari generasi pertama Teori-teori

Kritis (lihat Dant, 2003; Held, 1980). Kematian Adorno dan Horkheimer dinilai banyak kalangan ilmuwan sebagai salah satu faktor yang telah mengakhiri era Frankfurt School, sekaligus merupakan akhir dari pemikiran teori-teori kritis sebagai suatu bentuk pemikiran Marxisme. Sebab, sdetelah itu perkembangan pemikiran tokoh- tokoh mazhab kian menjadi sedemikian “kabur” — dan semakin terpisah dari, atau tidak terkait dengan, gerakan-gerakan politik Marxist (lihat a.l., Bottomore, 2002; hal. 54 – 55).
 Generasi kedua, antara lain telah mencuatkan nama-nama seperti Jurgen Habermas. Karya-karya pemikiran Habermas dengan jelas menunjukkan adanya perbedaan epistemologis yang cukup mendasar dibanding konsepsi yang dimiliki para pendahulunya, meskipun tetap mempertahankan tradisi serta cirinya sebagai bagian dari teori kritis. Konsepsi Habermas tentang communicative rationality contohnya, dapat dinilai sebagai perpecahan epistemologi dengan philosophy of consciousness yang digunakan generasi pertama Frankfurt School, seperti Horkheimer, Adorno, atau Marcuse.

 Sementara itu, generasi ketiga, merujuk pada tokoh-tokoh seperti Axel Honeth (lihat a.l., Rush, 2000; hal. 1.). Namun kini lingkup teori-teori kritis telah makin meluas, mencakup – ataupun menjadi dasar rujukan – analisis kritis dari pakar seperti Jacques Lacan (psikoanalisis), Roland Barthes (semiotik and linguistik), Peter Golding, Janet Wasko, Noam Chomsky, Douglas Kellner (ekonomi-politik media), hingga berbagai tokoh dalam topik masalah gender, etnisitas dan ras, postkolonialisme, dan hubungan internasional.

 Karenanya, kini sering dibedakan pengertian antara Critical Theories dan critical theories. Yang pertama merujuk pada teori-teori mereka yang tergabung dalam Frankfurt School, sedangkan yang kedua mewakili pengertian yang lebih umum.
Bahkan dijumpai sejumlah kepustakaan yang memasukkan pemikiran-pemikiran tokoh posmodernis, seperti Baudrillard dan Foucault, ke dalam kategori paradigma Teori-teori Kritis.
Uraian dalam bagian ini memang lebih banyak merujuk pada aspek yang – dengan segala keterbatasan pengetahuan penulis -- kurang lebih bisa dinilai sebagai karakteristik umum pemikiran mazhab Frankfurt School; sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan Frankfurt School sebagai suatu maszhab yang monolitik. Selain itu jelas juga jauh dari maksud membuat gambaran yang mewakili teori-teori kritis dalam pengertian yang lebih umum.



Tujuan Teori-teori Kritis
Para tokoh Frankfurt School membedakan teori kritis dengan “teori ilmiah” dalam mainstream methodology yang positivistik (atau “tradisional”). Perbedaan tersebut, perlu pula dipahami sebagai kritik teori-teori kritis terhadap positivisme.
Perbedaan epistemologis tersebut menciptakan perbedaan mendasar lainnya antara Teori-teori Kritis dengan teori-teori positivistik, yakni perbedaan mengenai tujuan dari teori itu sendiri. “Teori ilmiah”, dalam positivisme atau “traditional science” merupakan bagian dari sistem deduktrif yang antara lain melibatkan suatu proses yang dikenal sebagai hypothetico-deductive method.

 Teori dalam pengertian tradisional bertujuan untuk melakukan eksplanasi tentang, dan prediksi terhadap, suatu fenomena sosial. Dalam pengertian tersebut teori bisa didefinisikan seperti yang dikemukakan Kerlinger (1985; hal. 9):

 “. . . a set of interrelated constructs (concepts), definitions, and propositions that present a systematic view of phenomenon by specifying relations among variables, with the purpose of explaining and predicting phenomena”

 Atau seperti yang dirumuskan oleh Wallace (1979; hal 90): “Theories . . . explain empirical generalizations that are already known, and they predict empirical generalizations that are still unknown”.

 Eksplanasi dalam teori-teori tradisional hampir secara spesifik mengambil bentuk sebagai suatu causal explanation (lihat Littlejohn, 2005; hal. 22) dimana sejumlah fenomena saling dihubungkan dalam rantai kausalitas (sebab – akibat). Berdasarkan definisi itu, suatu teori yang memiliki kemampuan melakukan eksplanasi dan prediksi terhadap suatu fenomena sosial, dinilai memiliki kegunaan instrumental, antara lain untuk mengelola atau mengontrol suatu fenomena sosial sebagaimana dikehendaki. “Kekuatan” atau kegunaan sebuah teori ilmiah dengan demikian ditentukan oleh predictive power dan explanative power teori tersebut.

 Di lain pihak, dalam paradigma teori-teori kritis, teori merupakan suatu kritik untuk mengungkap kondisi yang sebenarnya dibalik suatu “realitas semu” atau “kesadaran palsu” yang teramati secara empirik:

 “Theory is not a deductive system of interconnected axioms and laws, but a critique that reveals true conditions behind virtual reality, false consciousness and beliefs. (Golding and Murdock, dalam Graham 1992; pp. 15-32).

Dengan kata lain, teori-teori kritis berusaha melakukan eksplanasi, namun eksplanasi dalam pengertian lain, yakni ekplanasi tentang adanya kondisi-kondisi yang dinilai palsu, semu, atau tidak benar (seperti “false class consciousness”). Tujuannya tak lain untuk pencerahan, emansipasi manusia, agar para pelaku sosial menyadari adanya pemaksaan tersembunyi, atau hegemoni (lihat a.l., Horkheimer, dalam Bohman, 2005;1). Dalam perkembangannya, tujuan serta kepentingan yang menjadi motivasi teori-teori kritis dapat disimpulkan lebih spesifik lagi, antara lain melalui pernyataan Kellner (1990; 22) sebagai berikut:

 “Critical theory promotes attempts to achieve liberation from forces of domination and class rule . . . Critical theory is motivated by interest in progressive social change, in promoting values such as democracy, freedom, individuality, happiness, and community”

 Lebih dari itu, teori-teori kritis bertujuan melakukan transformasi, atau perobahan sesuai dengan kepentingan para pelaku sosial yang menjadi subjek teori. Suatu teori kritis ditujukan bagi sekelompok agents, demi penyadaran diri mereka dalam proses emansipasi dan pencerahan. Suatu proses emansipasi dan pencerahan merupakan transisi dari sebuah tahap awal (initial stage) dimana para agents memiliki “kesadaran palsu” (false consciousness), mengalami dominasi atau hegemoni, dan eksploitasi, menuju suatu tahap akhir (final stage) yang dikehendaki, dimana mereka terbebas, serta bisa mengaktualisasikan diri (Geuss, 1981; hal. 52-52).

 Dari segi tujuan melakukan transformasi tersebut, teori-teori kritis sebenarnya juga melakukan eksplanasi, tetapi bukan dalam pengertian causal explanation, melainkan practical explanation (lihat Littlejohn, 2005; hal. 22), yakni menjelaskan tindakan apa yang perlu dilakukan untuk melakukan transformasi dari suatu kondisi awal menuju suatu kondisi akhir yang dikehendaki. Itu sekaligus berarti explanatory power yang dimiliki teori-teori kritis harus dipahami berbeda dari apa yang difahami para ilmuwan teori-teori “tradisional”.

 Dari segi tujuan teori-teori kritis, maka prediksi bukan pula merupakan tujuan dari berteori. Dengan kata lain, predictive power bukan merupakan tolok ukur untuk menilai kekuatan suatu teori kritis. Hal ini penting disadari. Sebab, teori-teori kritis seringkali dikritik dan dinilai telah gagal, akibat tidak mampu membuat prediksi, atau karena situasi yang “diramalkan” tidak terbukti. Sementara di lain pihak, tidak tepat bila pemikiran Marcuse, contohnya, dinilai telah membuat semacam prediksi, yang mengatakan bahwa bourgareeois art akan berakhir. Yang sebenarnya ia lakukan adalah “mengantisipasi” berakhirnya bourgeois art tersebut karena hal itu merupakan suatu demand or requirement of rationality. Artinya, Marcuse sebenarnya memperlihatkan apa yang harus dipenuhi demi terciptanya suatu kondisi tertentu. Analisis Marcuse tersebut jelas berbeda dengan analisis prediktif, contohnya seperti yang dilakukan Benjamin, ketika membuat sebuah deskripsi suatu proses dimana seni akhirnya akan kehilangan aura-nya (Habermas, sebagaimana dikutip Geuss,1981; hal. 57).
 Dimensi tujuan praktis teori-teori kritis, dengan demikian juga lebih bersifat normatif, yang secara sadar dilekatkan dengan suatu filosofi moral tertentu. Misi normatif tersebut hanya mungkin dipenuhi melalui suatu interplay antara seperangkat norma- norma filosofi sosial dengan ilmu-ilmu sosial.

No comments:

Post a Comment