Translate

Tuesday, September 30, 2014

Demokrasi Terpeleset : Gonjang-Ganjing Demokrasi

Demokrasi yang Mati Suri

Oleh: Asep Purnama Bahtiar
Source: Suara Merdeka
KETIKA reformasi berjalan tertatih-tatih dan kemudian tidak berdaya menghadapi pembusukan politik (political decay), permainan hukum, dan praktik KKN yang tetap merajalela, maka harapan terwujudnya Indonesia baru yang demokratis menjadi sirna.
Kasus Akbar Tandjung (Ketua DPR dan Ketua Umum DPP Partai Golkar) yang divonis 3 tahun karena keterlibatannya dalam penyalahgunaan dana Bulog, semakin menambah buram cermin reformasi dan demokrasi di tanah air.
Kasus lain yang terjadi kurang lebih dua bulan lalu dan juga bersifat discredit terhadap gerakan reformasi dan demokrasi adalah penolakan Fraksi PDI-P, Fraksi Partai Golkar, dan Fraksi Persatuan Pembangunan serta gembosnya suara Fraksi PKB terhadap pembentukan Pansus Buloggate II. Padahal PKB sendiri sebelumnya merupakan partai pemrakarsa pembentukan Pansus Buloggate II pada Sidang Paripurna DPR (24 Oktober 2001).
Jadi aneh juga ketika pada saat-saat yang menentukan justru banyak anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa yang absen dengan berbagai alasan yang menimbulkan tanda tanya. Karena itu wajar jika kemudian muncul banyak isu dan dugaan adanya main mata antara partainya warga NU ini dengan partai-partai politik tertentu yang dulu menjadi seterunya.
Bagaimana tidak, partai-partai politik di lembaga legislatif dan orang-orangnya di lembaga eksekutif tidak berbuat banyak untuk menjalankan agenda reformasi dan menegakkan demokrasi. Sangat beralasan jika Arief Budiman menyebutkan, "Sekarang ini sudah jelas, partai-partai politik itu double standard. Komitmen mereka bukan pada pemberantasan korupsi tapi pada deal-deal kekuasaan" (Koran Tempo, 6/7).
Mengkritisi Demokrasi
Pernyataan Arief Budiman itulah yang baru-baru ini telah direpresentasikan oleh partai-partai politik yang menjadi aktor dan sutradara penolakan Pansus Buloggate II.
Realitas politik ini mengingatkan kepada peringatan David Held dalam tulisannya What Should Democracy Mean Today?, untuk mengkritisi demokrasi. Held menyebutkan beberapa alasan kenapa penilaian kritis terhadap keberadaan model-model demokrasi dan pencarian posisi-posisi alternatifnya menjadi penting.
Pertama, kita tidak dapat lari menghindari keterlibatan dalam politik, meskipun banyak orang berusaha untuk melakukannya. Kedua, jika kita mengikutsertakan problem-problem demokrasi, maka kita perlu melakukan refleksi mengapa bagi banyak orang fakta mengenai sesuatu merupakan sebuah statemen politik yang nyata hampir cukup untuk membawanya dengan serta-merta terhadap keburukan.
Ketiga, skeptisisme dan sinisme tentang politik tidak perlu merupakan fakta kehidupan politik yang tak dapat dielakkan. Keempat, kita tidak dapat dipuaskan dengan keberadaan model-model politik demokratis yang ada (dalam Human Societies, A Reader, ed. Anthony Giddens, 1992).
Dalam banyak hal tampaknya argumen Held tersebut relevan dengan situasi dan kondisi demokrasi di pentas politik Indonesia.
Memang disadari demokrasi tidak bisa memberikan garansi everything is okay dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di mana pun. Namun tanpa demokrasi, akses dan potensi untuk menata orde kehidupan yang lebih civilized dan humanis akan semakin tidak jelas lagi.
Karena itu sering dikatakan, demokrasi adalah alternatif terbaik dari khazanah sistem dan ideologi berbangsa dan bernegara yang buruk.
Dengan demikian, agenda mendesak yang perlu diselesaikan adalah bagaimana agar demokrasi yang tengah mati suri itu bisa bangkit dan hidup kembali secara wajar. Menyelamatkan demokrasi yang sedang mati suri itu merupakan sebuah agenda besar dan pekerjaan raksasa yang tidak mudah untuk dituntaskan, setidaknya karena dua hal.
Pertama, terkait dengan institusi-institusi demokrasi yang mandul dan elite-elite politik yang lebih suka memamerkan "nafsu"berkuasanya ketimbang memikirkan nasib rakyat dan kelangsungan hidup negeri ini yang masih kritis. Tanpa rasa malu dan tidak lagi peduli dengan fatsoen politik, orang-orang -yang katanya-terhormat itu malah terjebak dalam proyek trivial, seperti melengserkan pihak yang dianggap bukan sekutunya.
Kedua, timbulnya apatisme dan skeptisisme publik, yang akan turut membebani demokrasi untuk bangkit.Ketika demokrasi mati suri, sebetulnya masih tersisa harapan untuk membuatnya hidup kembali.
Dalam kasus seperti ini, paling tidak ada dua kemungkinan yang bisa diperoleh.
Pertama, jika demokrasi yang mati suri itu terus dibiarkan tergolek tanpa perawatan dan pengobatan, pada akhirnya ia akan mati sungguh. Demokrasi benar-benar telah mati.
Kedua, jika demokrasi yang mati suri itu dipelihara dan diberi terapi yang memadai, maka akan ada peluang untuk membuatnya hidup kembali, menjadi segar-bugar dan sehat-walafiat.
Konsolidasi Demokrasi
Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mengobati status demokrasi yang mati suri itu adalah dengan melakukan konsolidasi demokrasi. Menurut Philippe C. Schmitter, konsolidasi demokrasi dapat dikonseptualisasikan sebagai proses -atau proses-proses- yang mendasari kepercayaan dan penenteraman ulang dan, oleh karena itu, membuat jadi teratur, tidak tentu, dan menjadikan kompetisi untuk meraih jabatan dan pengaruh yang tepat masih dibatasi.
Konsolidasi demokrasi mencoba untuk melembagakan ketidakpastian dalam satu sub-bagian dari peran-peran politik dan arena-arena kebijakan, sementara di sisi yang lain sedang terjadi pelembagaan yang pasti (dalam The Changing Nature of Democracy, ed. Takashi Inoguchi, et al., 1998)
Pengertian konsolidasi demokrasi tadi terkesan janggal dan paradoks, karena memang seperti yang dikatakan sendiri oleh Schmitter, istilah tersebut rupanya merupakan oxymoronic (contradictio in terminis).
Namun demikian, karena sebagai suatu proses, maka dalam konsolidasi demokrasi terdapat banyak peluang dan jalan baru yang bisa disiasati agar demokrasi menjadi hidup dan dinamis kembali.
Dalam prakteknya konsolidasi demokrasi membutuhkan peran dan keberpihakan dari semua elemen bangsa. Baik yang namanya politisi, negarawan, penguasa, rakyat, dan sebagainya, semua perlu untuk ikut ambil bagian dan memainkan peran yang optimal guna membangun demokrasi yang solid dan kuat.
Peran kelembagaan secara struktural dan partisipasi publik tidak bisa diabaikan guna menghidupkan demokrasi. Ini bisa menjadi alternatif pertama.
Sejalan dengan pandangan ini, David Held menyebutkan: bagi demokrasi untuk memajukannya saat ini memiliki dua sisi fenomena yang perlu dipahami kembali. Di satu sisi, demokrasi harus diperhatikan dengan mempertimbangkan pembentukan ulang kekuasaan negara; dan di sisi lain dengan melakukan restrukturisasi civil society. Prinsip otonomi hanya dapat diperankan dengan adanya pengakuan terhadap proses demokratisasi ganda (double democratization) yang sangat diperlukan: transformasi yang berketergantungan dari dua sisi, yaitu negara dan civil society.
Bila alternatif pertama ini tidak bisa berjalan mulus dan saling mendukung, maka alternatif kedua adalah dengan penguatan peran dan partisipasi warga negara. Peran ini, dalam batas-batas tertentu, menafikan atau tidak ambil pusing dengan keberadaan elite-elite politik -yang suka semaunya memanipulasi demokrasi dan seenaknya mengatasnamakan rakyat- dan akan berperan bagi penguatan civil society.
Dalam bahasanya Lyman T. Sargent, keterlibatan warga negara dalam pembuatan keputusan politik merupakan karakteristik yang paling fundamental dalam sistem demokrasi. Pamungkas, untuk menata kembali demokrasi, maka keterlibatan dan partisipasi tersebut sangat dibutuhkan. Dengan konsolidasi demokrasi yang melibatkan partisipasi warga dan penguatan civil society, diharapkan demokrasi di tanah air tidak lagi mati suri.(18)

No comments:

Post a Comment