Lahirnya Teori Kritis
Kelahiran teori
kritik bermula pada kekecewaan para pengikut ajaran Karl Marx (Marxian)
terhadap sahabat dekat Karl Marx, yaitu Engels. Kekecewaan mereka berakar pada
interpretasi Engels dengan menyempitkan ajaran-ajaran Karl Marx menjadi sebuah
sistem yang jelas, sederhana dan logis yang kemudian menjadi “Marxisme” resmi (Magnis
Suseno, 2010). Penyempitan ajaran ini kemudian dianut oleh Lenin menjadi sebuah
ideologi Komunisme (Marxisme-Leninisme).
Puncaknya, pada
Perang Dunia I dan II mengakibatkan kesenjangan yang sangat mencolok terlihat
dalam tatanan sosial masyarakat merupakan awal pintu lahirnya teori kritis. “
Pada era 196-an, muncul gerakan-gerakan mahasiswa radikal yang hal ini juga
tidak lepas dari unsur kekerasan yang menyertainya” (Haryanto, 2012 : 231).
Meskipun dalam
pemikiran teori kritik sangat radikal namun pada kenyataannya sangat tidak
menghendaki adanya tindakan-tindakan radikalisme yang dilakukan oleh gerakan
mahasiswa. Hal ini pulalah yang membuat mahasiswa pada waktu itu tidak sejalan
dengan tokoh-tokoh teori kritis seperti Harbert Marcuse, Horkhaimer, dan
Adorno. Mahasiswa menganggap ketiga tokoh penting itu sebagai “Spinner” (orang gila), dan mereka
beranggapan bahwa kajian teoritik sosial yang dilakukan oleh Teori Kritik
secara jelas menolak aktivisme revolusioner dan menganggap hanya mampu berjuang
dalam tataran teoritis saja (Magnis Suseno, 2010).
Dibawah lembaga
yang bernama Institut Fur Sozialforschung[1]
para ahli memiliki tujuan untuk mengembangkan Marxisme dengan cara yang
produktif. Upaya paling diutamakan dalam perjuangan untuk mengembangkan
Marxisme adalah dengan memberikan ruang bagi kemungkinan pemaduan ilmu sosial
dengan teori Marxis. “Dalam hubungan ini Teori Kritis mengutik ilmu-ilmu
positif seperti ilmu ekonomi, sosiologi, teknologi, psikologi; tetapi juga
filsafat (Magnis Suseno, 2010 : 166).
Teori kritik
berkembang pesat pada masa kepemimpinan Horkheimer di Institut Fur Sozialforschung pada tahun 1931. “Apa yang menjadi
keprihatinan Horkheimer waktu itu adalah bagaimana mengalihkan filsafat menjadi
teori kritik masyarakat” (Haryanto, 2012 : 232). Filsafat harus bersifat
praktis dan membawa perubahan sosial. Karya-karya tulisan para tokoh teori kritis
pada masa kepemimpinan Horkheimer pada umumnya merupakan sebuah sintesis antara
filsafat dan teori sosial dengan mengombinasikan sosiologi, psikologi, culture studies, dan ekonomi politik.
Dalam konteks
fasisme dan komunisme, teori kritis lahir dengan maksud membuka seluruh
selubung ideologis dan irrasionalisme yang telah melenyapkan kebebasan dan
kejernihan berpikir manusia modern. Selanjutnya, bagi Adorno menyebut situasi
ini sebagai Herrchaft (Dominasi
Total). Tugas teori kritis sebagai teori emansipatoris adalah menelanjangi Herrchaft. (Budi Hardiman, 2003)
Keadaan Jerman yang
dibawahi oleh pemerintahan Nazi mengalami cemarut permasalahan sosial, memaksa
Horkheimer dan kawan-kawan bermigrasi dan mencari naungan baru bagi
keberlanjutan produksi teori-teori kritisnya. Pada tahun 1934 mereka bermigrasi
ke Amerika Serikat di Universitas Columbia. Pada masa pengungsiannya ini,
Horkheimer dan Adorno mampu menciptakan karya bersama yang cukup penting pada
masa itu, yaitu Dialektik der Aufklärung (Dialektika
Pencerahan, 1947). (Budi Hardiman, 2003)
Pada tahun 1945,
setelah usainya Perang Dunia II di Eropa Adorno dan Horkheimer kembali ke
Jerman, Universitas Franfurt. Adorno menggantikan posisi Horkheimer sebagai
pemimpin yang kemudian dikenal sebagai Mahzab Franfurt, dan Horkheimer diangkat
menjadi rektor Universitas Franfurt pada tahun 1951.
Mahzab Franfurt
berkembang pesat hingga lahir pada golongan mahasiswa yang terkenal dengan The New Left Movement antara tahun 60an
hingga 70an. Dibalik ini pula terdapat tokoh yang kemudian oleh kalangan
mahsiswa disebut sebagai “Nabi bagi Kiri Baru” melalui ceramah-ceramahnya dan
buku yang diterbitkannya yang berjudul Onedimensional
Man (Manusia satu Dimensi, 1964). (Budi Hardiman, 2003)
Meredupnya kejayaan Mahzab
Franfurt ini ditandai dengan banyaknya mahasiswa pada waktu itu yang mengadopsi
teori-teori Mao, Che Guevara, dan Castro. Serta mulai banyak radikalisme dan
anarkisme yang dilakukan oleh para mahasiswa yang sangat bertentangan dengan
para pendiri Institut ini. Hingga pada puncaknya, tahun 1967 Adorno, Horkheimer
dam Marcuse mengundurkan diri dari gerakan ini. Mahzab Frankfurt juga mulai
ditinggalkan oleh para mahasiswa, karena bagi mereka Teori Kritis telah
kehilangan praxisnya. (Budi Hardiman,
2003)
Manusia Modern dan Teori Kritis (Harbert Marcuse)
Harbert Marcuse
merupakan tokoh revolusioner dan dianggap sebagai “nabi” oleh kelompok yang
menamakan diri mereka sebagai kelompok “kiri baru” (The New Left). Marcuse
merupakan sosok yang banyak digemari oleh para intekektual karena cara
berpikirnya dan kritiknya terhadap masyarakat modern.
Pada tahun 30’an
sampai 50’an masyarakat Barat terhipnotis oleh teknologi dan kapitalisme yang
berkembang sejalan dengan ekonomi masyarakat Barat pada waktu itu. Pasca kalah
perang dan kebangkrutan, masyarakat Barat berusaha membangun ekonominya kembali
dengan bertumpu pada teknologi. Secara bersamaan dengan adanya krisis ekonomi
pada masa itu, kapitalisme berkembang pesat. Kekritisan masyarakat seolah-olah
lenyap dan mereka ternina bobokan oleh adanya kapitalisme dengan pola konsumtif
yang tinggi.
Pasca tahun 60’an
Marcuse muncul dan mengkritik yang bagi dirinya masyarakat modern adalah
masyarakat yang tidak sehat. Marcuse melihat bahwa masyarakat modern adalah
masyarakat berdimensi satu, segala kehidupan yang hanya diarahkan pada satu
tujuan, yaitu Kapitalisme. Kapitalisme menurutnya berhasil menyingkirkan dan
menindas dimensi-dimensi lain yang tidak sepakat dan bertentangan dengan sistem
kapitalisme. Dampak lain dari adanya kapitalisme ini membuat masyarakat menjadi
pasif dan reseptif.
Pemikiran Marcuse
terhadap masyarakat modern nampak pada masing-masing segi kehidupan masyarakat,
yaitu segi sosial-ekonomi, sosial-politik dan sosial-budaya. Pertama, dalam
segi sosial-ekonomi Marcuse melihat bahwa Kapitalisme mampu membuat masyarakat
lebih sejahtera. Adanya sistem ini membuat masyarakat tak perlu lagi bekerja
dengan banyak keringat, meningkatnya produktivitas perusahaan secara bersamaan
akan meningkatkan taraf hidup masyarakat dan buruh-buruhnya.
Namun demikian,
teknologi tidak menciptakan sistem yang mempermudah para pekerjanya menjadi
lebih menyingkat waktu kerjanya. Sebaliknya, demi memenuhi kebutuhan pasar dan
meningkatkan produktivitas, maka
dibutuhkan pula waktu yang lebih dan panjang untuk mendapatkan keuntungan yang
sebesar-besarnya. Demi mendukung produktivitas tersebut, maka mereka
menciptakan manajemen ekonomi yang rapi dan melakukan ekspansi di negara-negara
dunia ke tiga.
Disisi lain,
menurut Marcuse teknologi merupakan kepentingan individu yang dipaksakan kepada
massa yang dikenal saat ini sebagai alat perbudakan baru. Teknologi juga
dimanfaatkan sebagai manipulasi kebutuhan. Marcuse membagi kebutuhan menjadi
dua macam, yaitu kebutuhan semu dan kebutuhan sebenarnya. Kebutuhan semu
merupakan pemuasan terhadap kebutuhan-kebutuhan semu, semisal kepemilikan
terhadap mobil mewah, perabotan rumah yang mewah, dsb. Kebutuhan semu ini
menurut Marcuse tidak timbul dari dirinya sendiri, namun dipaksakan dari
pengaruh luar (hanya ingin karena melihat orang juga mengkonsumsi barang
tersebut). Bagi masyarakat kebutuhan ini dipenuhi untuk mendapatkan
kebahagiaan, yang bagi Marcuse kebahagiaan ini merupakan kebahagiaan semu.
Kedua, dalam segi
sosial-politik. Bagi Marcuse masyarakat industri modern merupakan masyarakat
yang totaliter. Tidak hanya sebatas pengaturan yang bersifat teroristik, namun
juga pengaturan non-terorisrtik atas ekonomi. Dalam pengaturan poitik yang
bersifat teroristik para kapitalisme menggunakan peran kekuasaanya dalam proses
produksi. Menurut Marcuse, dalam masyarakat industri modern terdapat
“Rasionalitas teknologis” yang digunakan sebagai alat penindasan. Seolah-olah
masyarakat mempunyai hak untuk bebas, kritis dan mampu untuk menjadi lawan
politik (oposisi) bagi sistem yang ada. Namun demikian, hal tersebut hanya
dijadikan sebagai penawaran semu kepada masyarakat yang sesungguhnya terdapat
batas-batasan untuk bebas dan menjadi oposisi, yaitu demi kemajuan sistem yang
ada, kapitalisme.
Dalam masyarakat
industri modern juga terlihat seolah-olah memiliki nilai toleransi bagi
masyarakat, yang dibuktikan melalui adanya kebebasan dan hak-hak individu.
Namun bagi Marcuse toleransi tersebut hanyalah toleransi palsu. Bagi Marcuse
toleransi yang diterapkan oleh masyarakat industri modern hanyalah toleransi
menerima secara pasif tindakan-tindakan pemerintah dan masyarakat pada umumnya.
Baginya, negara
industri hanya memadukan kemakmuran dan ancaman perang. Industri senjata-senjata
perang menjadi alasan untuk menegakkan hak azasi manusia, namun disisi lain
sebagai alibi demi kemakmuran rakyat. Industri hanya digunakan sebagai politik
kotor kepentingan-kepentingan pribadi maupun kelompok dan mengesampingkan
manusia-manusia yang menderita.
Ketiga, dalam segi
sosial-budaya. Marcuse mengungkap satu-dimensionalita dalam segi sosial-budaya,
ini terbagi menjadi seni/sastra, bahasa, dan filsaat. Salah satunya adalah seni
atau sastra, hakekatnya merupakan sebuah media nilai yang digunakan masyarakat
untuk mengungkapkan alienasinya dari masyayarakat atau alam, bahkan pula
digunakan sebagai ungkapan ketidakbahagiaan terhadap alam dan masyarakat. Namun
dalam masyarakat industri modern, nilai-nilai dalam seni/sastra yaitu
mengutamakan nilai seni, hilang. Sebaliknya, seni/sastra hanya dijadikan obyek
perdagangan dengan mengutamakan nilai tukar dibanding dengan nilai seni. Hal
tersebut terjadi karena telah ditutup oleh rasionalitas teknologis yang
mendasarkan pada realisme dan pragmatisme.
Manusia Modern dan Teori
Kritis (Max Horkheimer)
Max Horkheimer
merupakan tokoh Mahzab Frankfurt generasi pertama yang menjadi idola teori
kritis. Teori kritik sendiri lahir dan dikembangkan dari berbagai ilmu yang
berusaha menunjukan persamaan dan perbedaan antara pengetahuan tradisional dan
pengetahuan kritis.
Pada tahun 1931, ketika Horkheimer
menjabat sebagai direktur Institut fur
Sozialforschung teori kritik berkembang pesat. Fokus kajian Horkheimer pada
waktu itu ditunjukan dengan memunculkan artikel yang berjudul Traditionalle und Kritische Theorie (Teori
Tradisional dan Teori Kritis) pada tahun 1957 yang mengkaji lebih dalam
mengenai kajian Teori Kritis.
Dalam kacamata kajiannya, Horkheimer
melihat bahwa masyarakat modern yang cenderung mengarah kepada positivism atau menganut dan menerapkan
ilmu-ilmu alam, empiris-analitis digolongkan dalam kategori “Teori
Tradisional”. Baginya, Teori Tradisional memiliki cita-cita, yaitu: menciptakan
suatu sistem ilmiah yang menyeluruh yang meliputi segala bidang keahlian atau
dengan kata lain, para pendukung teori ini bermaksud menciptakan unified science. Teori Tradisional ini
menggunakan dua metode yaitu, metode deduktif dan induktif; oleh Husserl Teori
tradisional dianggap menjadi ‘sistem tertutup”. Artinya, Teori Tradisonal ini
tidak hanya mampu memaparkan fakta belaka, namun juga mampu memanipulasi obyek
melalui teknologi. (Budi Hardiman, 2003)
Selanjutnya,
Horkheimer menunjukan adanya tiga pengandaian dasar yang membuat Teori
Tradisional menjadi sebuah “ideologi”. (Hardiman, 2003) Pertama, Teori
Tradisional ahistoris dan asosial. Artinya, Teori Tradisional ini mengklaim
dirinya sendiri mandiri dan sangat membedakan dirinya dengan kegiatan
masyarakat sehari-hari (bebas dari kepentingan).
Kedua, Teori Tradisional melihat
obyek yang ingin diketahui pengetahuan bersifat netral. Artinya, teori
merupakan deskripsi murni tentang fakta, yang merupakan pengetahuan demi
pengetahuan. Dalam hal ini teori bersifat tak berubah, beku, dan mati. Ketiga,
Teori Tradisional dapat dipisahkan dari praxis,
proses penelitian dari tindakan-tindakan etis, dan pengetahuan dari
kepentingan. Lanjut, menurut Horkheimer menarik kesimpulan sementara bahwa
teori tradisional bersifat ideologis dan menjaga status quo masyarakat yang pada dasarnya menindas.
Dalam kritiknya terhadap Teori
Tradisional, Horkheimer berpendapat bahwa seharusnya teori tidak bersifat
netral, ahistoris dan lepas dari praxis,
melainkan sebaliknya, bersifat “kritis”. Kritis disini dimaksudkan memakai
dialektika tertentu yang kemudian mengarahkan kepada masa depan atau
“dialektika terbuka”.
Melanjutkan kritiknya terhadap Teori
Tradisional, Horkheimer menjelaskan bahwa terdapat empat karakteristik Teori
Kritis. Pertama, Teori Kritis bersifat historis. Artinya, teori kritis
dikembangkan melalui keadaan dan situasi masyarakat konkret pada waktu itu.
Kedua, teori kritis juga kritis terhadap dirinya sendiri. Artinya, Teori Kritis
mampu memberikan evaluasi, kritik dan refleksi terhadap dirinya sendiri.
Ketiga, Teori Kritis memiliki
kecurigaan terhadap masyarakat aktual. Melalui kritik-ideologi Marx, Teori
Kritis berusaha membongkar kedok-kedok ideologis untuk menutupi manipulasi dan
ketimpangan dalam masyarakat. Keempat, Teori Kritis tidak memisahkan dirinya
dari hal-hal yang bersifat praxis,
yang merupakan praktisisasi sang pemikir kritik dalam sejarah. Bagi Horkheimer,
ketidaknetralan Teori Kritis itu terletak pada keberpihakannya terhadap praxis sejarah tertentu. Diharapkan
dengan adanya Teori Kritis ini terdapat perjuangan-perjuangan teori yang
bersifat emansipatoris.
Kritik Ideologi (Jurgen Habermas)
Setelah redupnya
perkembangan para teoritikus generasi pertama, tidak kemudian membuat Mahzab
Frankfurt kehilangan arah kajiannya terhadap perjuangannya mengkritisi teori-teori
Marxian. Muncullah Jurgern Habermas, pasca perang dunia II dan pada tahun-tahun
yang sama didirakannya kembali Institut Frankfurt di Jerman setelah kembalinya
para cendekiawan dari Amerika.
Habermas dari
pemikir-pemikir sebelumnya, yaitu Horkheimer dan Adorno mencoba melanjutkan
penglihatannya terhadap kajian ranah perjuangan emnasipatoris. Habermas
memulainya dengan mengkritisi yang sekaligus menjadi usaha pokoknya mengenai
penelitian terhadap hubungan antara ilmu pengetahuan dan kekuasaan, yang berangkat
dari gaya berpikir Teori Kritis, bahwa di belakang selubung objektivisme
ilmu-ilmu tersembunyi kepentingan-kepentingan kekuasaan. (Magnis Suseno, 2010)
Ilmu pengetahuan
sejatinya tidak pernah lepas dari kepentingan-kepentingan subjektiv. Habermas
membedakan antara tiga macam ilmu pengetahuan (Magnis Suseno, 2010 : 183).
Pertama, ilmu-ilmu empiris-analitis. Ilmu ini mencakup pada hukum-hukum yang
pasti, sehingga melalui hukum yang pasti ini manusia dapat menyesuaikan diri
dan dapat memanfaatkan alam demi kebutuhannya. Habermas menilai bahwa melalui
hukum-hukum ini, apa yang biasanya dinilai sebagai hasil pengamatan melalui
dasar inderawi bukanlah sebuah pengamatan, melainkan sebuah pengorganisasian
inderawi yang secara teknis melaui proses-proses secara tidak langsung
diobjektifkan.
Kedua, ilmu historis-hermeneutis.
Ilmu-ilmu ini menorganisasikan objeknya (sejarah melalui interaksi bahasa) di
bawah kepentingan peluasan inter subjektivitas. Tujuannya adalah penangkapan
makna dengan peningkatan saling pengertian dengan tujuan tindakan bersama.
Ketiga, ilmu-ilmu tindakan. Habermas
menilai bahwa kepentingan internal ilmu ini adalah pembebasan dengan lingkungan
kekuasaan. Ilmu ini menggunakan metode refleksi kritis atas sejarah subjek
manusia.
Dari pembedaan ketiga
ilmu tersbut, habermas berpendapat bahwa ilmu tidak hanya tidak bebas nilai
atau bebas kepentingan, melainkan sebaliknya hanya dapat terbentuk dalam medium
sebuah kepentingan. Selanjutnya habermas juga berbicara tentang kepentingan
“transendental”. “Penemuan kunci Habermas terletak dalam distingsi antara ilmu
empiris-analitis di satu pihak dan ilmu komunikasi dilain pihak. Tipuan
ideologis usaha ilmu-ilmu tidak terletak dalam kepentingan trandensental pada
umumnya, melainkan dalam kekuasaan mutlak metode empiris-analitis terhadap
seluruh bidang ilmu-ilmu.” (Magnis Suseno, 2010 : 185)
Dengan demikian ilmu pengetahuan
pada dasarnya tidak akan pernah lepas dari adanya kepentingan dengan tujuan
kekuasaan. Menjadi semacam ideologi yang melekat dan medapatkan legitimasi oleh
masyarakat jika pengetahuan itu dipahami secara subjektif tanpa adanya kritik
ideologi tehadap selubung kepentingan untuk melanggengkan sebuah kekuasaan.
Komunikasi Sebagai Alternatif Rasionalitas Modern (Jurgen
Habermas)
Penglihatan Habermas
terhadap penindasan yang tak lepas dari pengaruh Marxian namun juga
meninggalkan dengan maksud memperjuangkan emansipatoris, menilai bahwa secara
esensial teori adalah alat untuk kebebasan manusia yang besar, yang berkembang
dalam jumlah tingkat-tingkat yang berbeda dan karenanya menarik kita keluar
dari dominasi dan perbudakan. (Haryanto, 2012)
Habermas dalam menganalisis
kapitalisme modern tidak seperti Karl Marx dengan obsesinya untuk
memperjuangkan masyarakat tanpa kelas. “Bagi Habermas kapitalisme merupakan
suatu tahap perkembangan masyarakat yang berjalan secara evolusioner”
(Haryanto, 2012 : 252). Adanya dominasi teknologi membuat masyarakat semakin
terbelenggu untuk lepas dari kekangan Kapitalisme modern.
Peran negara sebagai sentral sangat
menentukan jalannya ekonomi dan aspek-aspek kehidupan sosial lainnya.
Menurutnya, kapitalisme modern ditandai dengan meningkatnya efisiensi,
perhitungan dan prediksi, dimana intervensi negara dan akibat pertumbuhan dari
nalar instrumental semakin mengabaikan aspekk spiritual. “Habermas melihat
massa depan kehidupan modern sebagai masa depan kehidupan yang kaku”.
(Haryanto, 2012 : 253)
Dalam mengatasi rumitnya kehidupan
modern yang dikuasai oleh Kapitalisme modern, Habermas memberikan dan sekaligus
menaruh perhatian besar pada fungsi bahasa dalam komunikasi interpersonal.
Melalui kesepakatan dan pengakuan besama, komunikasi dapat terjalin dengan
interaksi yang di dalamnya terdapat unsur simbolik, menurut bahasa, dan
mengikuti norma-norma. Dengan adanya sistem komunikasi yang terbuka dan bebas,
diharapkan umat manusia dapat mempertahankan sebuah ruang yang bebas dari
diktator dan pemaksaan.
Aplikasi Teori dalam Konteks Realitas Sosial
Dari ringkasan teori yang sedikit
telah dijelaskan di atas, terdapat konteks sosial yang mampu disandingkan dan
diadu dengan pemaparan konsep dan teori oleh Herbert Marcuse khususnya realitas
sosial yang terjadi di Indonesia.
Grand
theory yang diusung oleh Marcuse mengenai satu-dimensionalita menajadi
sangat logis bila dituangkan dalam kasus-kasus sosial di Indonesia. Salah
satunya adalah mengenai tingkat konsumsi masyarakat Indonesia yang sangat
tinggi. Jakarta sebagai Ibukota Indonesia menjadi barometer kehidupan diantara
kota-kota dan daerah lainnya. Terbukti dengan meningkatnya angka urbanisasi
setiap tahunnya membuat Kota Jakarta menjadi pusat trend gaya hidup masyarakat
Indonesia pada umumnya.
Lebih khusus lagi mengenai gaya
hidup dan pola konsumtif warga Jakarta terutama kendaraan pribadi sebagai
kepemilikan yang memiliki prestise, kebih khusus lagi kendaraan-kendaraan
mewah/premium. Menurut data statistik ( Simamora,
15 Maret 2012), penjualan mobil mewah di Jakarta Utara meningkat 52 persen pada
tahun 2011. Berdasarkan data pendaftaran kendaraan di Kepolisian, di tahun 2011
setiap bulan terjual 65 unit mobil premium di belahan Utara Jakarta, naik dari
tahun 2010 yang rata-rata terjual 43 unit perbulan.
Menjadi sebuah bukti nyata mengenai
keadaan sosial masyarakat yang konsumtif terhadap barang-barang mewah, yang
bagi Marcuse merupakan kebutuhan semu. Masyarakat yang membeli kendaraan mewah
tersebut dilakukan bukan karena kebutuhan yang hakiki sebagai manusia.
Melainkan hanya keinginan yang dipaksakan dari luar dirinya, yaitu
pengaruh-pengaruh lingkungannya. Kebahagiaan yang didapatkan juga bukan
kebahagiaan yang sebenarnya, melainkan hanya sebatas kebahagiaan palsu.
Masyarakat yang demikian menurut Marcuse hanya mengejar libidinal (dorongan
nafsu) akan agresif pada barang-barang yang selanjutnya bagi Marcuse hal ini disebut
sebagai ‘Kodrat Kedua’.
Lanjut menurut Marcuse, ketika
masyarakat yang konsumtif terhadap mobil-mobil mewah ini tidak dapat dipenuhi
secara ‘biologis, maka yang terjadi adalah frustasi yang membayang-bayangi
hidupnya. Hal ini selebihnya mau tidak mau akan bergantung pada pasar. Marcuse
menjelaskan bahwa masyarakat yang seperti ini secara langsung mendukung sistem
(kapitalisme) yang ada dan menentang sikap terhadap perubahan yang akan keluar
dari sistem tersebut dan merenggut kebebasan dalam menjalankan sistem-sistem
kapitalisme.
DAFTAR PUSTAKA
Magnis Suseno, Franz. (2010), Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Kanisius: Yogyakarta
Haryanto, Sindung. (2012). Spektrum Teori Sosial: Dari Klasik Hingga Postmodern. Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media
Budi Hardiman, Fransisco. (1993), Kritik Ideologi, Menyingkap Kepentingan Pengetahuan Bersama Jurgen
Habermas, Buku Baek: Yogyakarta
Simamora, Johan. (15 Maret 2012). Penjualan Mobil Mewah di Jakarta Utara Naik 52 Persen. Diperoleh
melalui website berita, http://koranbaru.com/penjualan-mobil-mewah-di-jakut-naik-52-persen/
Oleh
Badrul Fatih Misel
Muali
0911210003
[1] Insitut ini
didirikan oleh Felix Weil pada tahun 1923
dibawah naungan Universitas Frankfurt, Jerman dengan direktur pertamanya
adalah Carl Grunberg. Anggota dan tokoh yang tergabung dalam institut ini
adalah Frederich Pollock (ahli ekonomi), Carl Grunberg (Direktur pertama
Institut), Max Horkheimer (Filsuf, sosiolog, psikolog dan direktur sejak 1930),
Karl Wittfogel (sejarahwan), Theodor W. Adorno ( filsuf, sosiolog, musikolog),
leo Lowenthal (sosiolog), Walter Benyamin (Kritikus sastra), Herbert Marcuse (filsuf), Franz Neumann (ahli hukum),
Erich Fromm (psikolog sosial), Otto Kircheimer (ahli politik), Henryk Grossmann
(ahli ekonomi dan politik), Arkadij Gurland (ahli ekonomi dan sosiolog).
(Hardiman, 2003 : 33)
No comments:
Post a Comment