Translate

Wednesday, March 25, 2015

Teori Kritis Kantian, Hegelian, Marxian, Freudian



Lahirnya Teori Kritis
Kelahiran teori kritik bermula pada kekecewaan para pengikut ajaran Karl Marx (Marxian) terhadap sahabat dekat Karl Marx, yaitu Engels. Kekecewaan mereka berakar pada interpretasi Engels dengan menyempitkan ajaran-ajaran Karl Marx menjadi sebuah sistem yang jelas, sederhana dan logis yang kemudian menjadi “Marxisme” resmi (Magnis Suseno, 2010). Penyempitan ajaran ini kemudian dianut oleh Lenin menjadi sebuah ideologi Komunisme (Marxisme-Leninisme).
Puncaknya, pada Perang Dunia I dan II mengakibatkan kesenjangan yang sangat mencolok terlihat dalam tatanan sosial masyarakat merupakan awal pintu lahirnya teori kritis. “ Pada era 196-an, muncul gerakan-gerakan mahasiswa radikal yang hal ini juga tidak lepas dari unsur kekerasan yang menyertainya” (Haryanto, 2012 : 231).
Meskipun dalam pemikiran teori kritik sangat radikal namun pada kenyataannya sangat tidak menghendaki adanya tindakan-tindakan radikalisme yang dilakukan oleh gerakan mahasiswa. Hal ini pulalah yang membuat mahasiswa pada waktu itu tidak sejalan dengan tokoh-tokoh teori kritis seperti Harbert Marcuse, Horkhaimer, dan Adorno. Mahasiswa menganggap ketiga tokoh penting itu sebagai “Spinner” (orang gila), dan mereka beranggapan bahwa kajian teoritik sosial yang dilakukan oleh Teori Kritik secara jelas menolak aktivisme revolusioner dan menganggap hanya mampu berjuang dalam tataran teoritis saja (Magnis Suseno, 2010).
Dibawah lembaga yang bernama Institut Fur Sozialforschung[1] para ahli memiliki tujuan untuk mengembangkan Marxisme dengan cara yang produktif. Upaya paling diutamakan dalam perjuangan untuk mengembangkan Marxisme adalah dengan memberikan ruang bagi kemungkinan pemaduan ilmu sosial dengan teori Marxis. “Dalam hubungan ini Teori Kritis mengutik ilmu-ilmu positif seperti ilmu ekonomi, sosiologi, teknologi, psikologi; tetapi juga filsafat (Magnis Suseno, 2010 : 166).
Teori kritik berkembang pesat pada masa kepemimpinan Horkheimer di Institut Fur Sozialforschung pada tahun 1931. “Apa yang menjadi keprihatinan Horkheimer waktu itu adalah bagaimana mengalihkan filsafat menjadi teori kritik masyarakat” (Haryanto, 2012 : 232). Filsafat harus bersifat praktis dan membawa perubahan sosial. Karya-karya tulisan para tokoh teori kritis pada masa kepemimpinan Horkheimer pada umumnya merupakan sebuah sintesis antara filsafat dan teori sosial dengan mengombinasikan sosiologi, psikologi, culture studies, dan ekonomi politik.
Dalam konteks fasisme dan komunisme, teori kritis lahir dengan maksud membuka seluruh selubung ideologis dan irrasionalisme yang telah melenyapkan kebebasan dan kejernihan berpikir manusia modern. Selanjutnya, bagi Adorno menyebut situasi ini sebagai Herrchaft (Dominasi Total). Tugas teori kritis sebagai teori emansipatoris adalah menelanjangi Herrchaft. (Budi Hardiman, 2003)
Keadaan Jerman yang dibawahi oleh pemerintahan Nazi mengalami cemarut permasalahan sosial, memaksa Horkheimer dan kawan-kawan bermigrasi dan mencari naungan baru bagi keberlanjutan produksi teori-teori kritisnya. Pada tahun 1934 mereka bermigrasi ke Amerika Serikat di Universitas Columbia. Pada masa pengungsiannya ini, Horkheimer dan Adorno mampu menciptakan karya bersama yang cukup penting pada masa itu, yaitu Dialektik der Aufklärung (Dialektika Pencerahan, 1947). (Budi Hardiman, 2003)
Pada tahun 1945, setelah usainya Perang Dunia II di Eropa Adorno dan Horkheimer kembali ke Jerman, Universitas Franfurt. Adorno menggantikan posisi Horkheimer sebagai pemimpin yang kemudian dikenal sebagai Mahzab Franfurt, dan Horkheimer diangkat menjadi rektor Universitas Franfurt pada tahun 1951.
Mahzab Franfurt berkembang pesat hingga lahir pada golongan mahasiswa yang terkenal dengan The New Left Movement antara tahun 60an hingga 70an. Dibalik ini pula terdapat tokoh yang kemudian oleh kalangan mahsiswa disebut sebagai “Nabi bagi Kiri Baru” melalui ceramah-ceramahnya dan buku yang diterbitkannya yang berjudul Onedimensional Man (Manusia satu Dimensi, 1964). (Budi Hardiman, 2003)
            Meredupnya kejayaan Mahzab Franfurt ini ditandai dengan banyaknya mahasiswa pada waktu itu yang mengadopsi teori-teori Mao, Che Guevara, dan Castro. Serta mulai banyak radikalisme dan anarkisme yang dilakukan oleh para mahasiswa yang sangat bertentangan dengan para pendiri Institut ini. Hingga pada puncaknya, tahun 1967 Adorno, Horkheimer dam Marcuse mengundurkan diri dari gerakan ini. Mahzab Frankfurt juga mulai ditinggalkan oleh para mahasiswa, karena bagi mereka Teori Kritis telah kehilangan praxisnya. (Budi Hardiman, 2003)
Manusia Modern dan Teori Kritis (Harbert Marcuse)
Harbert Marcuse merupakan tokoh revolusioner dan dianggap sebagai “nabi” oleh kelompok yang menamakan diri mereka sebagai kelompok “kiri baru” (The New Left). Marcuse merupakan sosok yang banyak digemari oleh para intekektual karena cara berpikirnya dan kritiknya terhadap masyarakat modern.
Pada tahun 30’an sampai 50’an masyarakat Barat terhipnotis oleh teknologi dan kapitalisme yang berkembang sejalan dengan ekonomi masyarakat Barat pada waktu itu. Pasca kalah perang dan kebangkrutan, masyarakat Barat berusaha membangun ekonominya kembali dengan bertumpu pada teknologi. Secara bersamaan dengan adanya krisis ekonomi pada masa itu, kapitalisme berkembang pesat. Kekritisan masyarakat seolah-olah lenyap dan mereka ternina bobokan oleh adanya kapitalisme dengan pola konsumtif yang tinggi.
Pasca tahun 60’an Marcuse muncul dan mengkritik yang bagi dirinya masyarakat modern adalah masyarakat yang tidak sehat. Marcuse melihat bahwa masyarakat modern adalah masyarakat berdimensi satu, segala kehidupan yang hanya diarahkan pada satu tujuan, yaitu Kapitalisme. Kapitalisme menurutnya berhasil menyingkirkan dan menindas dimensi-dimensi lain yang tidak sepakat dan bertentangan dengan sistem kapitalisme. Dampak lain dari adanya kapitalisme ini membuat masyarakat menjadi pasif dan reseptif.
Pemikiran Marcuse terhadap masyarakat modern nampak pada masing-masing segi kehidupan masyarakat, yaitu segi sosial-ekonomi, sosial-politik dan sosial-budaya. Pertama, dalam segi sosial-ekonomi Marcuse melihat bahwa Kapitalisme mampu membuat masyarakat lebih sejahtera. Adanya sistem ini membuat masyarakat tak perlu lagi bekerja dengan banyak keringat, meningkatnya produktivitas perusahaan secara bersamaan akan meningkatkan taraf hidup masyarakat dan buruh-buruhnya.
Namun demikian, teknologi tidak menciptakan sistem yang mempermudah para pekerjanya menjadi lebih menyingkat waktu kerjanya. Sebaliknya, demi memenuhi kebutuhan pasar dan meningkatkan produktivitas,  maka dibutuhkan pula waktu yang lebih dan panjang untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Demi mendukung produktivitas tersebut, maka mereka menciptakan manajemen ekonomi yang rapi dan melakukan ekspansi di negara-negara dunia ke tiga.
Disisi lain, menurut Marcuse teknologi merupakan kepentingan individu yang dipaksakan kepada massa yang dikenal saat ini sebagai alat perbudakan baru. Teknologi juga dimanfaatkan sebagai manipulasi kebutuhan. Marcuse membagi kebutuhan menjadi dua macam, yaitu kebutuhan semu dan kebutuhan sebenarnya. Kebutuhan semu merupakan pemuasan terhadap kebutuhan-kebutuhan semu, semisal kepemilikan terhadap mobil mewah, perabotan rumah yang mewah, dsb. Kebutuhan semu ini menurut Marcuse tidak timbul dari dirinya sendiri, namun dipaksakan dari pengaruh luar (hanya ingin karena melihat orang juga mengkonsumsi barang tersebut). Bagi masyarakat kebutuhan ini dipenuhi untuk mendapatkan kebahagiaan, yang bagi Marcuse kebahagiaan ini merupakan kebahagiaan semu.
Kedua, dalam segi sosial-politik. Bagi Marcuse masyarakat industri modern merupakan masyarakat yang totaliter. Tidak hanya sebatas pengaturan yang bersifat teroristik, namun juga pengaturan non-terorisrtik atas ekonomi. Dalam pengaturan poitik yang bersifat teroristik para kapitalisme menggunakan peran kekuasaanya dalam proses produksi. Menurut Marcuse, dalam masyarakat industri modern terdapat “Rasionalitas teknologis” yang digunakan sebagai alat penindasan. Seolah-olah masyarakat mempunyai hak untuk bebas, kritis dan mampu untuk menjadi lawan politik (oposisi) bagi sistem yang ada. Namun demikian, hal tersebut hanya dijadikan sebagai penawaran semu kepada masyarakat yang sesungguhnya terdapat batas-batasan untuk bebas dan menjadi oposisi, yaitu demi kemajuan sistem yang ada, kapitalisme.
Dalam masyarakat industri modern juga terlihat seolah-olah memiliki nilai toleransi bagi masyarakat, yang dibuktikan melalui adanya kebebasan dan hak-hak individu. Namun bagi Marcuse toleransi tersebut hanyalah toleransi palsu. Bagi Marcuse toleransi yang diterapkan oleh masyarakat industri modern hanyalah toleransi menerima secara pasif tindakan-tindakan pemerintah dan masyarakat pada umumnya.
Baginya, negara industri hanya memadukan kemakmuran dan ancaman perang. Industri senjata-senjata perang menjadi alasan untuk menegakkan hak azasi manusia, namun disisi lain sebagai alibi demi kemakmuran rakyat. Industri hanya digunakan sebagai politik kotor kepentingan-kepentingan pribadi maupun kelompok dan mengesampingkan manusia-manusia yang menderita.
Ketiga, dalam segi sosial-budaya. Marcuse mengungkap satu-dimensionalita dalam segi sosial-budaya, ini terbagi menjadi seni/sastra, bahasa, dan filsaat. Salah satunya adalah seni atau sastra, hakekatnya merupakan sebuah media nilai yang digunakan masyarakat untuk mengungkapkan alienasinya dari masyayarakat atau alam, bahkan pula digunakan sebagai ungkapan ketidakbahagiaan terhadap alam dan masyarakat. Namun dalam masyarakat industri modern, nilai-nilai dalam seni/sastra yaitu mengutamakan nilai seni, hilang. Sebaliknya, seni/sastra hanya dijadikan obyek perdagangan dengan mengutamakan nilai tukar dibanding dengan nilai seni. Hal tersebut terjadi karena telah ditutup oleh rasionalitas teknologis yang mendasarkan pada realisme dan pragmatisme.
Manusia Modern dan Teori Kritis (Max Horkheimer)
Max Horkheimer merupakan tokoh Mahzab Frankfurt generasi pertama yang menjadi idola teori kritis. Teori kritik sendiri lahir dan dikembangkan dari berbagai ilmu yang berusaha menunjukan persamaan dan perbedaan antara pengetahuan tradisional dan pengetahuan kritis.
            Pada tahun 1931, ketika Horkheimer menjabat sebagai direktur Institut fur Sozialforschung teori kritik berkembang pesat. Fokus kajian Horkheimer pada waktu itu ditunjukan dengan memunculkan artikel yang berjudul Traditionalle und Kritische Theorie (Teori Tradisional dan Teori Kritis) pada tahun 1957 yang mengkaji lebih dalam mengenai kajian Teori Kritis.
            Dalam kacamata kajiannya, Horkheimer melihat bahwa masyarakat modern yang cenderung mengarah kepada positivism atau menganut dan menerapkan ilmu-ilmu alam, empiris-analitis digolongkan dalam kategori “Teori Tradisional”. Baginya, Teori Tradisional memiliki cita-cita, yaitu: menciptakan suatu sistem ilmiah yang menyeluruh yang meliputi segala bidang keahlian atau dengan kata lain, para pendukung teori ini bermaksud menciptakan unified science. Teori Tradisional ini menggunakan dua metode yaitu, metode deduktif dan induktif; oleh Husserl Teori tradisional dianggap menjadi ‘sistem tertutup”. Artinya, Teori Tradisonal ini tidak hanya mampu memaparkan fakta belaka, namun juga mampu memanipulasi obyek melalui teknologi. (Budi Hardiman, 2003)
Selanjutnya, Horkheimer menunjukan adanya tiga pengandaian dasar yang membuat Teori Tradisional menjadi sebuah “ideologi”. (Hardiman, 2003) Pertama, Teori Tradisional ahistoris dan asosial. Artinya, Teori Tradisional ini mengklaim dirinya sendiri mandiri dan sangat membedakan dirinya dengan kegiatan masyarakat sehari-hari (bebas dari kepentingan).
            Kedua, Teori Tradisional melihat obyek yang ingin diketahui pengetahuan bersifat netral. Artinya, teori merupakan deskripsi murni tentang fakta, yang merupakan pengetahuan demi pengetahuan. Dalam hal ini teori bersifat tak berubah, beku, dan mati. Ketiga, Teori Tradisional dapat dipisahkan dari praxis, proses penelitian dari tindakan-tindakan etis, dan pengetahuan dari kepentingan. Lanjut, menurut Horkheimer menarik kesimpulan sementara bahwa teori tradisional bersifat ideologis dan menjaga status quo masyarakat yang pada dasarnya menindas.
            Dalam kritiknya terhadap Teori Tradisional, Horkheimer berpendapat bahwa seharusnya teori tidak bersifat netral, ahistoris dan lepas dari praxis, melainkan sebaliknya, bersifat “kritis”. Kritis disini dimaksudkan memakai dialektika tertentu yang kemudian mengarahkan kepada masa depan atau “dialektika terbuka”.
            Melanjutkan kritiknya terhadap Teori Tradisional, Horkheimer menjelaskan bahwa terdapat empat karakteristik Teori Kritis. Pertama, Teori Kritis bersifat historis. Artinya, teori kritis dikembangkan melalui keadaan dan situasi masyarakat konkret pada waktu itu. Kedua, teori kritis juga kritis terhadap dirinya sendiri. Artinya, Teori Kritis mampu memberikan evaluasi, kritik dan refleksi terhadap dirinya sendiri.
            Ketiga, Teori Kritis memiliki kecurigaan terhadap masyarakat aktual. Melalui kritik-ideologi Marx, Teori Kritis berusaha membongkar kedok-kedok ideologis untuk menutupi manipulasi dan ketimpangan dalam masyarakat. Keempat, Teori Kritis tidak memisahkan dirinya dari hal-hal yang bersifat praxis, yang merupakan praktisisasi sang pemikir kritik dalam sejarah. Bagi Horkheimer, ketidaknetralan Teori Kritis itu terletak pada keberpihakannya terhadap praxis sejarah tertentu. Diharapkan dengan adanya Teori Kritis ini terdapat perjuangan-perjuangan teori yang bersifat emansipatoris.
Kritik Ideologi (Jurgen Habermas)
Setelah redupnya perkembangan para teoritikus generasi pertama, tidak kemudian membuat Mahzab Frankfurt kehilangan arah kajiannya terhadap perjuangannya mengkritisi teori-teori Marxian. Muncullah Jurgern Habermas, pasca perang dunia II dan pada tahun-tahun yang sama didirakannya kembali Institut Frankfurt di Jerman setelah kembalinya para cendekiawan dari Amerika.
Habermas dari pemikir-pemikir sebelumnya, yaitu Horkheimer dan Adorno mencoba melanjutkan penglihatannya terhadap kajian ranah perjuangan emnasipatoris. Habermas memulainya dengan mengkritisi yang sekaligus menjadi usaha pokoknya mengenai penelitian terhadap hubungan antara ilmu pengetahuan dan kekuasaan, yang berangkat dari gaya berpikir Teori Kritis, bahwa di belakang selubung objektivisme ilmu-ilmu tersembunyi kepentingan-kepentingan kekuasaan. (Magnis Suseno, 2010)
Ilmu pengetahuan sejatinya tidak pernah lepas dari kepentingan-kepentingan subjektiv. Habermas membedakan antara tiga macam ilmu pengetahuan (Magnis Suseno, 2010 : 183). Pertama, ilmu-ilmu empiris-analitis. Ilmu ini mencakup pada hukum-hukum yang pasti, sehingga melalui hukum yang pasti ini manusia dapat menyesuaikan diri dan dapat memanfaatkan alam demi kebutuhannya. Habermas menilai bahwa melalui hukum-hukum ini, apa yang biasanya dinilai sebagai hasil pengamatan melalui dasar inderawi bukanlah sebuah pengamatan, melainkan sebuah pengorganisasian inderawi yang secara teknis melaui proses-proses secara tidak langsung diobjektifkan.
            Kedua, ilmu historis-hermeneutis. Ilmu-ilmu ini menorganisasikan objeknya (sejarah melalui interaksi bahasa) di bawah kepentingan peluasan inter subjektivitas. Tujuannya adalah penangkapan makna dengan peningkatan saling pengertian dengan tujuan tindakan bersama.
            Ketiga, ilmu-ilmu tindakan. Habermas menilai bahwa kepentingan internal ilmu ini adalah pembebasan dengan lingkungan kekuasaan. Ilmu ini menggunakan metode refleksi kritis atas sejarah subjek manusia.
Dari pembedaan ketiga ilmu tersbut, habermas berpendapat bahwa ilmu tidak hanya tidak bebas nilai atau bebas kepentingan, melainkan sebaliknya hanya dapat terbentuk dalam medium sebuah kepentingan. Selanjutnya habermas juga berbicara tentang kepentingan “transendental”. “Penemuan kunci Habermas terletak dalam distingsi antara ilmu empiris-analitis di satu pihak dan ilmu komunikasi dilain pihak. Tipuan ideologis usaha ilmu-ilmu tidak terletak dalam kepentingan trandensental pada umumnya, melainkan dalam kekuasaan mutlak metode empiris-analitis terhadap seluruh bidang ilmu-ilmu.” (Magnis Suseno, 2010 : 185)
            Dengan demikian ilmu pengetahuan pada dasarnya tidak akan pernah lepas dari adanya kepentingan dengan tujuan kekuasaan. Menjadi semacam ideologi yang melekat dan medapatkan legitimasi oleh masyarakat jika pengetahuan itu dipahami secara subjektif tanpa adanya kritik ideologi tehadap selubung kepentingan untuk melanggengkan sebuah kekuasaan.

Komunikasi Sebagai Alternatif Rasionalitas Modern (Jurgen Habermas)
Penglihatan Habermas terhadap penindasan yang tak lepas dari pengaruh Marxian namun juga meninggalkan dengan maksud memperjuangkan emansipatoris, menilai bahwa secara esensial teori adalah alat untuk kebebasan manusia yang besar, yang berkembang dalam jumlah tingkat-tingkat yang berbeda dan karenanya menarik kita keluar dari dominasi dan perbudakan. (Haryanto, 2012)
            Habermas dalam menganalisis kapitalisme modern tidak seperti Karl Marx dengan obsesinya untuk memperjuangkan masyarakat tanpa kelas. “Bagi Habermas kapitalisme merupakan suatu tahap perkembangan masyarakat yang berjalan secara evolusioner” (Haryanto, 2012 : 252). Adanya dominasi teknologi membuat masyarakat semakin terbelenggu untuk lepas dari kekangan Kapitalisme modern.
            Peran negara sebagai sentral sangat menentukan jalannya ekonomi dan aspek-aspek kehidupan sosial lainnya. Menurutnya, kapitalisme modern ditandai dengan meningkatnya efisiensi, perhitungan dan prediksi, dimana intervensi negara dan akibat pertumbuhan dari nalar instrumental semakin mengabaikan aspekk spiritual. “Habermas melihat massa depan kehidupan modern sebagai masa depan kehidupan yang kaku”. (Haryanto, 2012 : 253)
            Dalam mengatasi rumitnya kehidupan modern yang dikuasai oleh Kapitalisme modern, Habermas memberikan dan sekaligus menaruh perhatian besar pada fungsi bahasa dalam komunikasi interpersonal. Melalui kesepakatan dan pengakuan besama, komunikasi dapat terjalin dengan interaksi yang di dalamnya terdapat unsur simbolik, menurut bahasa, dan mengikuti norma-norma. Dengan adanya sistem komunikasi yang terbuka dan bebas, diharapkan umat manusia dapat mempertahankan sebuah ruang yang bebas dari diktator dan pemaksaan.



Aplikasi Teori dalam Konteks Realitas Sosial
            Dari ringkasan teori yang sedikit telah dijelaskan di atas, terdapat konteks sosial yang mampu disandingkan dan diadu dengan pemaparan konsep dan teori oleh Herbert Marcuse khususnya realitas sosial yang terjadi di Indonesia.
            Grand theory yang diusung oleh Marcuse mengenai satu-dimensionalita menajadi sangat logis bila dituangkan dalam kasus-kasus sosial di Indonesia. Salah satunya adalah mengenai tingkat konsumsi masyarakat Indonesia yang sangat tinggi. Jakarta sebagai Ibukota Indonesia menjadi barometer kehidupan diantara kota-kota dan daerah lainnya. Terbukti dengan meningkatnya angka urbanisasi setiap tahunnya membuat Kota Jakarta menjadi pusat trend gaya hidup masyarakat Indonesia pada umumnya.
            Lebih khusus lagi mengenai gaya hidup dan pola konsumtif warga Jakarta terutama kendaraan pribadi sebagai kepemilikan yang memiliki prestise, kebih khusus lagi kendaraan-kendaraan mewah/premium. Menurut data statistik (         Simamora, 15 Maret 2012), penjualan mobil mewah di Jakarta Utara meningkat 52 persen pada tahun 2011. Berdasarkan data pendaftaran kendaraan di Kepolisian, di tahun 2011 setiap bulan terjual 65 unit mobil premium di belahan Utara Jakarta, naik dari tahun 2010 yang rata-rata terjual 43 unit perbulan.
            Menjadi sebuah bukti nyata mengenai keadaan sosial masyarakat yang konsumtif terhadap barang-barang mewah, yang bagi Marcuse merupakan kebutuhan semu. Masyarakat yang membeli kendaraan mewah tersebut dilakukan bukan karena kebutuhan yang hakiki sebagai manusia. Melainkan hanya keinginan yang dipaksakan dari luar dirinya, yaitu pengaruh-pengaruh lingkungannya. Kebahagiaan yang didapatkan juga bukan kebahagiaan yang sebenarnya, melainkan hanya sebatas kebahagiaan palsu. Masyarakat yang demikian menurut Marcuse hanya mengejar libidinal (dorongan nafsu) akan agresif pada barang-barang yang selanjutnya bagi Marcuse hal ini disebut sebagai ‘Kodrat Kedua’.
            Lanjut menurut Marcuse, ketika masyarakat yang konsumtif terhadap mobil-mobil mewah ini tidak dapat dipenuhi secara ‘biologis, maka yang terjadi adalah frustasi yang membayang-bayangi hidupnya. Hal ini selebihnya mau tidak mau akan bergantung pada pasar. Marcuse menjelaskan bahwa masyarakat yang seperti ini secara langsung mendukung sistem (kapitalisme) yang ada dan menentang sikap terhadap perubahan yang akan keluar dari sistem tersebut dan merenggut kebebasan dalam menjalankan sistem-sistem kapitalisme.

DAFTAR PUSTAKA
Magnis Suseno, Franz. (2010), Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Kanisius: Yogyakarta
Haryanto, Sindung. (2012). Spektrum Teori Sosial: Dari Klasik Hingga Postmodern. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
Budi Hardiman, Fransisco. (1993), Kritik Ideologi, Menyingkap Kepentingan Pengetahuan Bersama Jurgen Habermas, Buku Baek: Yogyakarta
Simamora, Johan. (15 Maret 2012). Penjualan Mobil Mewah di Jakarta Utara Naik 52 Persen. Diperoleh melalui website berita, http://koranbaru.com/penjualan-mobil-mewah-di-jakut-naik-52-persen/

Oleh
Badrul Fatih Misel Muali
0911210003


[1] Insitut ini didirikan oleh Felix Weil pada tahun 1923  dibawah naungan Universitas Frankfurt, Jerman dengan direktur pertamanya adalah Carl Grunberg. Anggota dan tokoh yang tergabung dalam institut ini adalah Frederich Pollock (ahli ekonomi), Carl Grunberg (Direktur pertama Institut), Max Horkheimer (Filsuf, sosiolog, psikolog dan direktur sejak 1930), Karl Wittfogel (sejarahwan), Theodor W. Adorno ( filsuf, sosiolog, musikolog), leo Lowenthal (sosiolog), Walter Benyamin (Kritikus sastra), Herbert  Marcuse (filsuf), Franz Neumann (ahli hukum), Erich Fromm (psikolog sosial), Otto Kircheimer (ahli politik), Henryk Grossmann (ahli ekonomi dan politik), Arkadij Gurland (ahli ekonomi dan sosiolog). (Hardiman, 2003 : 33)

No comments:

Post a Comment