Sekuritisasi (Securitization)
Pengertian
Sekuritisasi atau Securitization
Mengutip
dari Huysman, sekuritisasi atau
dalam bahasa Inggris securitization adalah teknik yang
digunakan oleh pemerintah menggunakan tekanan-tekanan dengan kekerasan yang diharapkan mampu menghasilkan
ketakutan masyarakat. Sekuritisasi tersebut kemudian menghasilkan hilangnya keteraturan di dalam rutinitas masyarakat
yang telah ada, dengan memanfaatkan “ancaman” terhadap masyarakat
tersebut. Huysman sebagai seorang penganut perspektif kritis (critical theory) di dalam hubungan internasional
merasa bahwa teori sekuritisasi ini tidak sesuai dengan semangat dari
perspektif kritis lainnya dalam hal meluaskan ide-ide mengenai keamanan.
Huysman berargumentasi bahwa teori yang terdapat di dalam Ilmu Hubungan
Internasional tentu tidak akan pernah lepas dari nilai-nilai yang dianut oleh
pembuat dari teori tersebut, karena teori tersebut nantinya memang akan ikut
membentuk realita yang ada.
Dukung Jokowi dalam Person of The Year by Majalah TIME Person of The Year 2014
Studi
Kasus Sekuritisasi
Sekuritisasi
akan bermasalah karena adanya ekspansi agenda keamanan yang disebabkan oleh
sekuritisasi ini bisa disalahgunakan, di mana masalah-masalah yang sebenarnya
bisa diselesaikan secara politis dan melalui cara cara yang demokratis,
kemudian dilakukan dengan cara apa yang disebut “hiper politisasi” sehingga
menjadi isu keamanan, di mana kemudian penggunaan peraturanpun tidak berlaku
ketika telah disekuritisasi. Untuk membuktikan mengenai masalah tersebut, kita dapat
mengambil contoh dari hiper
sekuritisasi yang terjadi dalam kasus di Siprus, dimana di wilayah tersebut
terdapat konflik etnik antara etnik Turki dan etnik Yunani yang terdapat di
wilayah tersebut. Konflik yang terjadi antara kedua wilayah tersebut telah
terjadi sekian lama, dan kemudian Matthew Schwartz menganalisa permasalahan
tersebut dan mendapat kesimpulan sementara bahwa konflik tersebut terjadi dikarenakan
adanya hiper sekuritisasi yang
terjadi di antara kedua kelompok etnis tersebut.
Pada
kasus tersebut, yang menjadi objek yang disekuritisasi adalah identitas dari
kedua masyarakat tersebut,di mana Schwarts menganalisis bahwa dengan adanya
sekuritisasi, menjadikan kedua kelompok tersebut sangat paranoid, bahkan
menolak adanya gangguan sekecil apapun terhadap identitas kelompok masing-masing,
sehingga mereka melakukan apa saja, bahkan melanggar aturan untuk melindungi
identitas mereka. Konflik antara etnik Turki dan Yunani tersebut kemudian semakin
berlarut-larut dan tidak menemukan titik temu. Hal ini seakan mengkonfirmasi
kritik dari Bill McSweeney, yang menyatakan bahwa meluasnya keamanan
hingga mencapai keamanan identitas berpotensi untuk memperluas agenda-agenda
yang akan membahayakan secara politis, karena kemudian akan digunakan
untuk tujuan-tujuan politis, terutama untuk memenangkan tujuan politisnya.
Meluasnya
agenda keamanan menjadi hal yang tidak diinginkan, berbahaya, sehingga
aplikasi dari teori sekuritisasi akan menjadi hal yang sangat tidak diinginkan.
Kedua, membuat munculnya pertanyaan terhadap isu sebenarnya dari keamanan.
Konsep security atau keamanan diartikan terlalu luas sehingga dipertanyakan
kembali apa isu security/keamanan itu sebenarnya?.Untuk mengklarifikasi hal tersebut,
diambil berupa masalah yaitu bagaimana pengungsi dan imigran dapat dipresentasikan
sebagai suatu masalah keamanan/security. Contoh pertama adalah kasus pengungsi
dari komunitas suku Tutsi Rwanda yang dipaksa untuk diasingkan dan setelah
tahun 1959 berubah menjadi satu pasukan militan yang berjuang untuk
melawan rezim Rwanda. Konsep keamanan/security disini sebagai pengertian
tradisional dari keamanan/security nasional dimana pengungsi merupakan suatu
ancaman bersenjata terhadap rezim politik dan kedaulatannya. Contoh kedua: di
Amerika Serikat dan Eropa beberapa menganggap imigran muslim sebagai suatu
ancaman budaya. Mereka diinterpretasikan sebagai representasi dari suatu peradaban
yang suka berkompetisi, dimana nilai dan kebiasaannya mengancam peradaban Barat.
Analisis tipe ancaman seperti ini lebih sulit untuk diartikan dalam konsensus
kajian tradisional. Ancaman ini jelas bukanlah tipe militer.Fokusnya terletak
pada ekspresi dari nilai yang ada di kehidupan sehari-hari seperti pemotongan hewan
kurban, pemakaian jilbab dan sebagainya. Kehidupan sehari-hari dari masyarakat dan
kedaulatan dari suatu negara tidaklah terancam. Ini lebih merupakan suatu hal
yang disebut dengan homoginitas pre-supposed cultural homogeneity daripada
masyarakat barat yang merasa tertantang oleh para imigran.
Levy
mendukung Buzan dan Waever dengan mengatakan bahwa merupakan suatu hal yang
sulit untuk menjustifikasi migrasi dan pengungsi sebagai suatu ancaman dari
luar yang utama. Memang argumen utama dari perluasan isu keamanan menjadi ancaman
non-mliter seperti pemanasan global
dan migrasi serta objek yang merujuk pada negara yang diancam seperti kemanusiaan,
identitas budaya, dan individu seperti yang dikatakan Walt bahwa bagaimana menentukan koherensi intelektual
daripada suatu kajian ilmu pengetahuan tersebut agar dapat diterima. Walt pun
turut menambahkan dengan mengatakan bahwa para pendukung dari perluasan
konsep sekuriti ini sebagai sesuatu hal yang tidak dipersalahkan karena
agenda mereka yang mungkin berujung pada penentuan secara politik
tersedianya pengetahuan tentang perang : “… the fact that other hazards exist does
not mean that the danger of war hasbeen eliminated. … Indeed, given the cost of
military forces and the risks of modern war, it would be irresponsible for
the scholarly community to ignorethe central questions that form the heart of
the security studies field.”
Menurut
pandangan ini, penentuan fokus dari perang pada kajian studi sekuriti akan menjadi
beresiko mengalami suatu dampak merugikan pada pengaturan masalah perang
dalam politik internasional dikarenakan oleh banyaknya isu-isu baru yang
dicoba untuk disekuritisasikan. Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa fokus
utama dari isu sekuriti pun kembali dipertanyakan karena kemunculan isu-isu
baru yang disekuritisasikan.Ketiga, perihal moral selama sekuritisasi
dilakukan. Teori sekuritisasi tidak memiliki suatu dasar normatif untuk
menentukan apakah suatu isu masuk menjadi salah satu kajian sekuriti atau
tidak. Seperti apa yang dikatakan oleh aliran Copenhagen School bahwa
sekuritisasi merupakan teori yang “morally wrong ” sedangkan desekuritisasi
sebagai suatu proses yang morally
right . Contoh dari kasus moralitas ini adalah dalam isu lingkungan.
Floyd dalam bukunya mengatakan bahwa teori sekuritisasi khususnya pada isu
lingkungan mendasarkandirinya pada consequentialism
. Consequentialism
adalah suatu teori yang mengajarkan cara untuk menentukan apakah suatu
keputusan merupakan keputusan tepat yang telah diputuskansuatu agen dengan melihat
konsekuensi relevan yang dihasilkan dari keputusan tersebut “to look at the relevant effects of the
decision on the world”.
Dukung Jokowi dalam Person of The Year by Majalah TIME Person of The Year 2014
Dukung Jokowi dalam Person of The Year by Majalah TIME Person of The Year 2014
Para
consequentalist ini mengartikan moralitas dalam artian semua yang
menghasilkan konsekuensi yang baik namun tidak menjelaskan apa konsekuensi baik
ini, bagaimana caram engetahui suatu konsekuensi itu baik atau indikator yang
dapat menentukannya. Ambiguitas ini pun merupakan salah satu dampak dari
teori sekuritisasi yang perlu dijelaskan lebih lanjut oleh para consequentalist .
Review
ini telah menyajikan analisis menyeluruh mengenai apa, siapa, bagaimana,
dan dampak dari teori sekuritisasi yang dibahas oleh Buzan, Waever, dan de
Wilde. Kesimpulan dari review ini adalah bahwa proses sekuritisasi memiliki
dampak detrimental bagi survival pihak yang diancam maupun yang mengancam.
Hal ini menjadi tidak sesuai dengan tujuan awal dari proses sekuritisasi
sendiri yang adalah untuk mencari keamanan dan mengurangi kemungkinanancaman.
Karena itu, kemunculan isu-isu baru yang ingin disekuritisasi justru menjadi
sebuah paradoks dalam ilmu Hubungan Internasional.
No comments:
Post a Comment