Translate

Monday, December 1, 2014

Securitization: Sekuritisasi dalam Hubungan Internasional


Sekuritisasi (Securitization)

Pengertian Sekuritisasi atau Securitization
Mengutip dari Huysman, sekuritisasi atau dalam bahasa Inggris securitization adalah teknik yang digunakan oleh pemerintah menggunakan tekanan-tekanan dengan  kekerasan yang diharapkan mampu menghasilkan ketakutan masyarakat. Sekuritisasi tersebut kemudian menghasilkan  hilangnya keteraturan di dalam rutinitas masyarakat yang telah ada, dengan memanfaatkan “ancaman” terhadap masyarakat tersebut. Huysman sebagai seorang penganut perspektif kritis (critical theory) di dalam hubungan internasional merasa bahwa teori sekuritisasi ini tidak sesuai dengan semangat dari perspektif kritis lainnya dalam hal meluaskan ide-ide mengenai keamanan. Huysman berargumentasi bahwa teori yang terdapat di dalam Ilmu Hubungan Internasional tentu tidak akan pernah lepas dari nilai-nilai yang dianut oleh pembuat dari teori tersebut, karena teori tersebut nantinya memang akan ikut membentuk realita yang ada.
Dukung Jokowi dalam Person of The Year by Majalah TIME Person of The Year 2014

Studi Kasus Sekuritisasi
Sekuritisasi akan bermasalah karena adanya ekspansi agenda keamanan yang disebabkan oleh sekuritisasi ini bisa disalahgunakan, di mana masalah-masalah yang sebenarnya bisa diselesaikan secara politis dan melalui cara cara yang demokratis, kemudian dilakukan dengan cara apa yang disebut “hiper politisasi” sehingga menjadi isu keamanan, di mana kemudian penggunaan peraturanpun tidak berlaku ketika telah disekuritisasi. Untuk membuktikan mengenai masalah tersebut, kita dapat mengambil contoh dari hiper sekuritisasi yang terjadi dalam kasus di Siprus, dimana di wilayah tersebut terdapat konflik etnik antara etnik Turki dan etnik Yunani yang terdapat di wilayah tersebut. Konflik yang terjadi antara kedua wilayah tersebut telah terjadi sekian lama, dan kemudian Matthew Schwartz menganalisa permasalahan tersebut dan mendapat kesimpulan sementara bahwa konflik tersebut terjadi dikarenakan adanya hiper sekuritisasi yang terjadi di antara kedua kelompok etnis tersebut.
Pada kasus tersebut, yang menjadi objek yang disekuritisasi adalah identitas dari kedua masyarakat tersebut,di mana Schwarts menganalisis bahwa dengan adanya sekuritisasi, menjadikan kedua kelompok tersebut sangat paranoid, bahkan menolak adanya gangguan sekecil apapun terhadap identitas kelompok masing-masing, sehingga mereka melakukan apa saja, bahkan melanggar aturan untuk melindungi identitas mereka. Konflik antara etnik Turki dan Yunani tersebut kemudian semakin berlarut-larut dan tidak menemukan titik temu. Hal ini seakan mengkonfirmasi kritik  dari Bill McSweeney, yang menyatakan bahwa meluasnya keamanan hingga mencapai keamanan identitas berpotensi untuk memperluas agenda-agenda yang akan membahayakan secara politis, karena kemudian akan digunakan untuk tujuan-tujuan politis, terutama untuk memenangkan tujuan politisnya.
Meluasnya agenda keamanan menjadi hal yang tidak diinginkan, berbahaya, sehingga aplikasi dari teori sekuritisasi akan menjadi hal yang sangat tidak diinginkan. Kedua, membuat munculnya pertanyaan terhadap isu sebenarnya dari keamanan. Konsep security atau keamanan diartikan terlalu luas sehingga dipertanyakan kembali apa isu security/keamanan itu sebenarnya?.Untuk mengklarifikasi hal tersebut, diambil berupa masalah yaitu bagaimana pengungsi dan imigran dapat dipresentasikan sebagai suatu masalah keamanan/security. Contoh pertama adalah kasus pengungsi dari komunitas suku Tutsi Rwanda yang dipaksa untuk diasingkan dan setelah tahun 1959 berubah menjadi satu pasukan militan yang berjuang untuk melawan rezim Rwanda. Konsep keamanan/security disini sebagai pengertian tradisional dari keamanan/security nasional dimana pengungsi merupakan suatu ancaman bersenjata terhadap rezim politik dan kedaulatannya. Contoh kedua: di Amerika Serikat dan Eropa beberapa menganggap imigran muslim sebagai suatu ancaman budaya. Mereka diinterpretasikan sebagai representasi dari suatu peradaban yang suka berkompetisi, dimana nilai dan kebiasaannya mengancam peradaban Barat. Analisis tipe ancaman seperti ini lebih sulit untuk diartikan dalam konsensus kajian tradisional. Ancaman ini jelas bukanlah tipe militer.Fokusnya terletak pada ekspresi dari nilai yang ada di kehidupan sehari-hari seperti pemotongan hewan kurban, pemakaian jilbab dan sebagainya. Kehidupan sehari-hari dari masyarakat dan kedaulatan dari suatu negara tidaklah terancam. Ini lebih merupakan suatu hal yang disebut dengan  homoginitas pre-supposed cultural homogeneity daripada masyarakat barat yang merasa tertantang oleh para imigran.
Levy mendukung Buzan dan Waever dengan mengatakan bahwa merupakan suatu hal yang sulit untuk menjustifikasi migrasi dan pengungsi sebagai suatu ancaman dari luar yang utama. Memang argumen utama dari perluasan isu keamanan menjadi ancaman non-mliter seperti pemanasan global dan migrasi serta objek yang merujuk pada negara  yang diancam seperti kemanusiaan, identitas budaya, dan individu seperti yang dikatakan Walt bahwa  bagaimana menentukan koherensi intelektual daripada suatu kajian ilmu pengetahuan tersebut agar dapat diterima. Walt pun turut menambahkan dengan mengatakan bahwa para pendukung dari perluasan konsep sekuriti ini sebagai sesuatu hal yang tidak dipersalahkan  karena agenda mereka yang mungkin berujung pada penentuan secara politik tersedianya pengetahuan tentang perang  : “… the fact that other hazards exist does not mean that the danger of war hasbeen eliminated. … Indeed, given the cost of military forces and the risks of modern war, it would be irresponsible for the scholarly community to ignorethe central questions that form the heart of the security studies field.”
Menurut pandangan ini, penentuan fokus dari perang pada kajian studi sekuriti akan menjadi beresiko mengalami suatu dampak merugikan pada pengaturan masalah perang dalam politik internasional dikarenakan oleh banyaknya isu-isu baru yang dicoba untuk disekuritisasikan. Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa fokus utama dari isu sekuriti pun kembali dipertanyakan karena kemunculan isu-isu baru yang disekuritisasikan.Ketiga, perihal moral selama sekuritisasi dilakukan. Teori sekuritisasi tidak memiliki suatu dasar normatif untuk menentukan apakah suatu isu masuk menjadi salah satu kajian sekuriti atau tidak. Seperti apa yang dikatakan oleh aliran Copenhagen School bahwa sekuritisasi merupakan teori yang  morally wrong ” sedangkan desekuritisasi sebagai suatu proses yang morally right . Contoh dari kasus moralitas ini adalah dalam isu lingkungan. Floyd dalam bukunya mengatakan bahwa teori sekuritisasi khususnya pada isu lingkungan mendasarkandirinya pada consequentialism . Consequentialism adalah suatu teori yang mengajarkan cara untuk menentukan apakah suatu keputusan merupakan keputusan tepat yang telah diputuskansuatu agen dengan melihat konsekuensi relevan yang dihasilkan dari keputusan tersebut “to look at the relevant effects of the decision on the world. 
Dukung Jokowi dalam Person of The Year by Majalah TIME Person of The Year 2014
Para consequentalist  ini mengartikan moralitas dalam artian semua yang menghasilkan konsekuensi yang baik namun tidak menjelaskan apa konsekuensi baik ini, bagaimana caram engetahui suatu konsekuensi itu baik atau indikator yang dapat menentukannya. Ambiguitas ini pun merupakan salah satu dampak dari teori sekuritisasi yang perlu dijelaskan lebih lanjut oleh para consequentalist .
Review ini telah menyajikan analisis menyeluruh mengenai apa, siapa, bagaimana, dan dampak dari teori sekuritisasi yang dibahas oleh Buzan, Waever, dan de Wilde. Kesimpulan dari review ini adalah bahwa proses sekuritisasi memiliki dampak detrimental bagi survival pihak yang diancam maupun yang mengancam. Hal ini menjadi tidak sesuai dengan tujuan awal dari proses sekuritisasi sendiri yang adalah untuk mencari keamanan dan mengurangi kemungkinanancaman. Karena itu, kemunculan isu-isu baru yang ingin disekuritisasi justru menjadi sebuah paradoks dalam ilmu Hubungan Internasional.

No comments:

Post a Comment