Maleo, Burung Endemik Sulawesi Yang Masih Menyisakan Teka Teki
Indonesia merupakan negara mega biodiversity, tempat hidup aneka
spesies hewan dan tumbuhan, yang secara hipotesis terbagi antara garis
Wallacea dan Weber. Dua garis ini memisahkan wilayah geografis hewan
Asia dan Australasia. Bagian barat dari garis ini berhubungan dengan
spesies Asia, dan di timur kebanyakan berhubungan dengan spesies
Australia, serta kawasan peralihan diantaranya.
Salah satu keragaman spesies hewan khas ekosistem Wallacea adalah burung maleo (Macrocephalon maleo).
Banyak cerita yang beredar soal burung maleo antara lain bahwa burung
endemik Sulawesi ini merupakan burung anti poligami. Burung maleo akan
pisang setelah bertelur. Namun kondisi sesungguhnya perlu dibuktikan
secara ilmiah.
Salah seorang peneliti burung maleo, Mobius Tanari yang menyelesaikan
S3-nya di Institut Pertanian Bogor mengatakan selama tujuh tahun lebih
melakukan penelitian terhadap burung ini. Dan hingga kini belum
diketahui bagaimana burung maleo itu kawin.
“Apakah cara kita melakukan riset yang salah? Karena kan
katanya maleo itu monogami, tetapi ini juga perlu dibuktikan betulkah
maleo ini monogami. Saya coba tanya peneliti di lapangan alasannya
mereka sederhana, setiap maleo itu terbang itu pasti berpasangan. Ada
saatnya maleo datang sendiri. Asumsi mereka ketika dia datang sendiri
berarti pasangannya sudah mati. Sehingga mereka katakan maleo ini
monogami,” katanya.
Namun ia masih ragu bila maleo itu monogami, karena belum melihat
bagaimana burung itu kawin. Sampai saat ini belum ada peneliti yang bisa
menjawab asumsi burung endemik Sulawesi itu anti poligami.
Teka teki perkawinan itu, termasuk pingsannya burung maleo setelah
menikah, yang membuat Mobius terus meneliti burung bertonjolan kepala
besar ini..
“Ini (pingsanya maleo) juga perlu pembuktian. Burung maleo ketika mau
bertelur itu sudah diintai predator. Secara logika jika dia pingsan,
bukan hanya telurnya yang diincar tapi juga burung maleo-nya,” ujarnya.
Mobius berhasil mengetahui tentang penetasan telur maleo, setelah
pada tahun 2005-2006 ia melakukan uji coba pengeraman dengan temperatur
34 derajat celsius dan kelembaban 70, dengan keberhasilan 70 persen
telur menetas.
Peduli Maleo
Burung maleo merupakan burung endemik Sulawesi. Habitat burung nan
cantik dengan panjang sekitar 55 cm ini terdapat di beberapa tempat di
Pulau Sulawesi. Diantaranya adalah Desa Saluki, Kecamatan Gumbasa,
Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.
Burung dengan tonjolan atau jambul keras berwarna hitam ini
dilindungi melalui PP No.7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan
Satwa, dan masuk daftar burung dengan kategori endangered oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) dan daftar Appendix 1 dari Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES).
Dalam Buku “Konservasi Maleo Di Sulawesi”, disebutkan asal usul
burung khas kawasan wallacea ini masih belum jelas. Ada dua teori asal
usulnya yaitu bahwa nenek moyang maleo berasal dari Australia dan teori
kedua bahwa moyang maleo berasal dari Asia Tenggara sebelum tiba di
Australia. Namun persamaan kedua teori itu adalah moyang maleo telah
terisolasi di Australia untuk waktu yang lama dan telah berevolusi
menjadi burung yang tidak lagi mengerami telurnya sendiri. Maleo
kemudian menyebar ke Papua Nugini dan pulau-pulau di sekitar Indonesia
Timur.
Adalah Herman Sasia (42), salah seorang petugas polisi khusus Balai
Besar Taman Nasional Lore Lindu, yang peduli dengan maleo. Dia mencoba
menjaga populasi burung maleo dengan cara menyelamatkan telur-telurnya
dari predator seperti biawak dan juga perburuan manusia.
Telur-telur maleo itu dia coba selamatkan di sebuah tempat
penangkaran di dalam kawasan hutan lindung wilayah 1 Taman Nasional Lore
Lindu. Dan hingga kini kurang lebih sebanyak 800 anak burung maleo
hasil penetasan sudah dilepaskan kembali ke alamnya.
Burung seukuran ayam betina ini tidak mengerami telurnya, melainkan
menguburnya di dalam tanah maupun pasir. Telur berukuran rata-rata 11
cm, dengan berat 240 – 270 gram per butirnya, atau 5 – 8 kali lipat
lebih besar dari dari telur ayam.
Untuk menetaskan telur-telur maleo ini, dibutuhkan sumber panas bumi
yang cukup berkisar antara 32-35 derajat celsius. Butuh waktu antara
62-85 hari bagi telur untuk menetas. Setelah menetas, maleo mampu
langsung terbang dan bertahan hidup layaknya maleo dewasa.
Menurut Herman, burung maleo selalu membuat beberapa lubang tipuan untuk menyimpan telurnya, demi mengecoh para predator.
“Tapi kita sudah tahu mana lubang yang ada telurnya dan yang tidak.
Nanti telur-telur itu kita tetaskan di tempat penangkarannya,” ujarnya.
Herman yang sudah hampir 13 tahun mengurusi burung maleo ini sudah
paham betul prilaku burung nan cantik dan ancaman terhadap telurnya.
Kalau betinanya menyimpan telurnya, sang jantan pasti menemani. Dan
keduanya gantian berjaga. Kalau betina yang menggali tanah si jantan
pasti berjaga-jaga. Begitu pula sebaliknya.
Jerih payah Herman Sasia dan kepeduliannya terhadap burung maleo
akhirnya membuahkan hasil. Bapak tiga anak ini pada Juli 2014 lalu tak
menyangka mendapat Kalpataru, penghargaan tertinggi bidang lingkungan
hidup di Indonesia. Kepala Bidang Teknis Konservasi Balai Besar Taman
Nasional Lore Lindu, Ahmad Yani mengatakan mereka bangga atas prestasi
yang diterima Herman Sasia.
“Pada saat itu penghargaan diberikan langsung oleh Wakil Presiden
Boediono kepada Herman. Dan Herman merupakan satu-satunya penerima
Kalpataru di Sulawesi Tengah untuk kategori pengabdian lingkungan,” kata
Yani.
Karena ketekunan dan keseriusannya terhadap populasi maleo, Herman
kini banyak dikenal orang. Menurut Herman karena populasi maleo di
Saluki terus berkembang. Rencanannya pada September ini sejumlah pecinta
burung maleo dari Manado Sulawesi Utara akan beranjangsana ke Desa
Saluki untuk melihat lebih dekat burung maleo ini.
Perlindungan Telur
Di Sulawesi Utara, ada Iwan Hunowu (42), aktivis Wildlife Conservation Society (WCS), yang bertanggung jawab dalam program konservasi burung maleo di propinsi itu.
Interaksi Iwan dengan maleo berawal dari pendataan sarang burung itu
di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone,Gorontalo. Iwan yang aktif di
LSM konservasi sejak 1999 itu kemudian mempelajari perilaku bertelur
maleo dalam memilih sarang dengan membersihkan beberapa tempat
bertelurnya (nesting ground), dan sisanya dibiarkan alami ditumbuhi semak-semak.
“Dan ternyata burung maleo itu lebih suka dan memilih sarang yang
dibersihkan untuk meletakkan telurnya. Termasuk juga ada pohon
pelindung. Dari hasil pengamatan itu, nesting ground itu kita bersihkan secara berkala,” katanya.
Iwan memberdayakan satu hingga dua orang masyarakat setempat dibantu
polisi hutan untuk membersihkan sarang maleo. Selain itu, WCS membuat hatchery
berukuran 2×3 meter hingga 5×2 meter untuk meletakkan dan melindungi
telur-telur maleo itu dari ancaman predator. Setelah menetas, barulah
burung-burung itu dilepaskan ke alam.
“Sudah hampir 9000 anakan maleo yang kita lepas di alam,” kata alumi
Fakultas Pertanian Unsrat dengan spesialisasi di bidang agroferestry
ini.
Meski begitu, Iwan tak mengetahui apakah anakan burung maleo yang
telah dilepas ke alam selamat sampai dewasa. Dan apakah burung maleo
dewasa selamat di alam bebas serta akan kembali dalam satu atau dua
tahun, biarlah itu menjadi seleksi alam.
Source : Mongabay.co.id
Salam Blogger
No comments:
Post a Comment